Senjakala
Narasi Besar dan Munculnya Local Genius Al-Zastrouw ; Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA
Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta |
WATYUTINK, 9 September 2021
Melihat
fenomena yang muncul di dunia akhir-akhir ini menandakan sedang terjadi
senjakala narasi-narasi besar yang bisa meruntuhkan kekuatan besar dunia.
Idealitas konsep humanisme liberal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebebasan manusia, kesetaraan, anti diskriminasi kini seolah hilang disapu
badai sektarian dan gerakan intoleran. Demokrasi, HAM dan toleransi seolah
ambyar seiring dengan datangnya gelombang kerusuhan, anarki dan kemarahan.
Bahkan negara super power Amerika Serikat yang dikenal sebagai kampium
demokrasi dan polisi dunia, seolah tidak berdaya menghadapi gelombang aksi
massa dengan isu rasial. Di
belahan dunia lain, klaim-klaim modernisme sebagai solusi segala persoalan
hidup juga mengalami deklinasi. Sains dan teknologi, sebagai anak kandung
modernisme, yang selama ini diklaim sebagai sarana menciptakan kesejahteraan,
kemakmuran dan kehidupan yang serba mudah dan nikmat ternyata menimbulkan
arus balik yang mengancam kehidupan manusia, seperti terlihat pada munculnya
krisis lingkungan karena eksploitasi alam, krisis kemanusiaan (alienasi,
depresi, trafficking dan sebagainya). Selain
itu, propaganda kemajuan sains dan teknologi yang bisa menjadi alat pelindung
diri bagi manusia ternyata lumpuh menghadapi serangan mahluk halus yang tidak
kasat mata, yaitu virus Covid-19. Kecanggihan senjata militer yang bisa
menghancurkan dunia, kecanggihan sains dan teknologi kesehatan yang konon
mampu mendeteksi penyakit sampai ke akar-akarnya kelihatan tidak berdaya
menghadapi penyebaran wabah virus Corona. Bahkan para ahli virus yang sudah
hampir 70 tahun melakukan penelitian terhadap virus Corona tampak kedodoran
membendung pandemi Covid-19. Hal ini tampak jelas pada sikap negara-negara
maju di Eropa dan Amerika yang gagap dan aburadul menangani para pasien
Covid-19. Senjakala
narasi besar ini tidak hanya melanda modernisme dengan sains dan
teknologinya, tetapi juga narasi-narasi besar yang muncul dari agama (Islam).
Klaim-klaim para agamawan yang menyatakan agama sebagai penyelamat manusia,
bisa menciptakan kebahagiaan dunia akhirat, mewujudkan kedamaian dan
ketenteraman hidup ternyata juga melahirkan kenyataan yang berseberangan.
Alih-alih mewujudkan klaim yang selalu dipropagandakan tersebut, yang ada
justru agama menjadi legitimasi untuk menciptakan permusuhan, menebar
kebencian dan fitnah yang bisa memancing timbulnya konflik dan pertikaian.
Bahkan muncul perilaku manusia yang tega membunuh sesamanya atas nama agama.
Dan anehnya, realitas seperti ini justru muncul di negara-negara yang
mengklaim diri sebagai negara Islam atau yang mayoritas Islam; Suriah, Iraq,
Iran, Arab Saudi, Libya, Sudan, Afganistan dan sebagainya. Gerakan ini
dimotori oleh kaum fundamentalis-puritan yang menganggap narasi mereka adalah
sebagai agama, sehingga narasi yang berbeda dengan mereka akan dilindas
karena dianggap sebagai musuh agama. Kelompok
terakhir ini juga gagal menghadapi serangan wabah Covid-19. Klaim-klaim
mereka bahwa Corona adalah tentara Allah yang hanya menyerang orang yang
tidak beriman, virus tidak akan menyerang orang yang beribadah dan
sejenisnya, ternyata tidak terbukti. Data menunjukkan, kegiatan agama yang
memancing kerumunan ternyata juga menjadi sarana penyebaran virus, seperti
terlihat pada kasus misa umat Nasrani di Korsel, pertemuan Jamaah Tablig,
pesantren Temboro. Bahkan negara-negara yang mayoritas Islam dan mengkalim
diri sebagai negara Islam tidak lepas dari serangan wabah Covid-19. Sehingga
tempat yang paling suci bagi umat Islam; Makkah dan Madinah harus ditutup
karena pandemi Covid-19. Sebenarnya
kritik atas narasi besar modernisme ini sudah dikakukan oleh beberapa pemikir
modern, seperti terlihat pada gagasan postmodernisme yang dimotori oleh
Jean-Francois Lyotard, Michael Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard,
dan Fedrick Jameson. Pemikiran Postmodernisme ini bercorak dekonstruktif,
relatif, dan pluralis ini secara tegas menolak klaim-klaim narasi besar
modernisme. Kritik yang tajam atas modernisme, terutama yang terkait dengan
kapitalisme, juga dilakukan oleh para pemikir madzahab Franfurt yang dimotori
oleh tiga serangkai Theodore Adorno, Marx Hokheimer dan Herbert Markus.
Manurut para pemikir Madzhab Frankfurt, Kapitalisme modern sudah menggunakan
topeng humanis untuk menutupi sikapnya yang eksploitatif terhadap alam dan
manusia (Valentinus Saeng, 2012). Melalui seni dan kebudayaan manusia dijebak
sehingga terpenjara dalam pemujaan terhadap idola yang membuat mereka menjadi
pasif, lemah, dan rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi. Hal tersebut
merupakan keberhasilan konspirasi kapitalisme lewat budaya populer (Hardiman
2003: 34). Sedangkan
para pemikir teori kritis yang dimotori oleh Jurgen Habermas menyatakan
perkembangan teknologi, yang seharusnya membuat masyarakat modern menjadi
lebih kritis, justru malah membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir
kritis. Berbagai inovasi di bidang teknologi justru digunakan oleh para
pemilik modal untuk menjinakkan masyarakat. Teori kritis memandang budaya
masyarakat modern sebagai sesuatu yang palsu yang diciptakan untuk mengatur
dan menjinakkan masyarakat (Ritzer, George, 2010; 284-86). Kritik
terhadap narasi besar agama (Islam) yang memunculkan kejumudan dan melahirkan
teologi kekerasan juga sudah dilakukan oleh pemikir Islam sebagaimana
terlihat pada pemikiran Islam progresif levolusioner Hassan Hanafi melalui
karyanya Minal Aqidah Ila Tsaurah (Dari Dogma ke Revolusi) dan al-Yasarul
Islam (Kiri Islam), Abudullah Ahmad an-Na’im melalui konsep Dekonstruksi
Syariah, Ibn Abid Al-Jabiri, melalui Kiritik Nalar Arab, Abdurrahman Wahid
melalui pemikirannya tentang humanisme Islam dan beberapa pemikir kritis
progresif lainnya. Namun
kritik narasi besar modernisme dan agama itu sepertinya tidak dihiraukan oleh
kaum modernis sekuler maupun kaum agamis fundamentalis-puritan. Merek terus
mengumadangkan narasi-narasi besar tersebut dengan klaimnya masing-masing. Di
era milenial ini gerakan mereka semakin masif dan ofensif, sekalipun telah
menimbulkan berbagai krisis di berbagai aspek kehidupan. Sampai akhirnya
muncul wabah Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia. Keberadaan
pandemi Covid-19 telah meluluhlantakkan tatanan sosial budaya yang selama ini
dikendalikan dan dikuasai oleh narasi besar modernisme dan agama. Relasi
sosial, gaya hidup, tata cara peribadatan, standar kesalehan dan berbagai
aspek kehidupan terpaksa direkonstruksi dan di tata ulang. Hiperrealitas yang
diciptakan oleh kaum modernis dan kelompok puritan hancur. Mall dan pabrik
yang menjadi simbol masyarakat modern kapaitalis sepi. Beribadah secara
berkerumun yang selama ini dianggap sebagai syiar agama berhenti. Manusia
dipaksa menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan tata kehidupan baru yang
dikenal dengan istilah new normal. Pandemi
Corona tidak hanya menuntut adanya kebiasaan baru, tetapi juga norma-norma
dan standar baru dalam kehidupan. Misalnya, syiar agama tidak lagi ditentukan
semata-mata oleh jumlah massa yang berkerumun saat melaksanakan ritual agama,
ekonomi dan bisnis tidak hanya diukur dari keuntungan material semata dan
sebagainya. Pendeknya ada perubahan radikal dalam perilaku bisnis, ekonomi
dan ekspresi keagamaan. Era
senjakala narasi-narasi besar karena pandemi Covid-19 yang memaksa manusia
membangun tananan baru merupakan momentum tepat untuk menggali kecerdasan
lokal (local genius) dan kearifan lokal (local wisdom) yang selama ini
terpinggirkan dan dipandang pejoratif karena desakan modernisme dan
puritanisme agama. Berbagai macam tradisi dan sistem pengetahuan lokal bisa
digali untuk dijadikan acuaan dan bahan baku (resources) untuk menjawab
persoalan yang tidak lagi mampu dijawab oleh narasi besar agama maupun
modernisme. Salah
satu hal yang bisa ditunjuk adalah tradisi cuci kaki dan tangan sebelum masuk
rumah. Zaman dahulu bangsa Nusantara selalu menyediakan gentong berisi air
yang ditaruh di suatu bilik khusus di samping kiri rumah yang disebut dengan
“pakiwan”. Bilik ini berfungsi sebagai tempat mencuci kaki dan tangan ketika
seseorang mau memasuki rumah sehabis bepergian. Tradisi ini dihilangkan
karena dianggap mengandung mitos, takhayul dan tidak praktis. Tradisi yang sarat
makna seperti ini jumlahnya sangat banyak di negeri ini. Jika digali,
dieksplorasi dan dilakukan saintifikasi maka akan bisa menjadi jawaban atas
narasi besar yang sudah memasuki era senjakala. Demikian
juga yang terkait dengan jamu dan obat-obatan yang bersumer dari tanaman.
Semua dihilangkan karena dianggap tidak sesuai dengan standar kesehatan,
padahal hal itu sudah terbukti secara faktual selama berabad-abad bisa
menyembuhkan penyakit. Namun karena tidak sesuai standar medis, tidak bisa
dijelaskan secara saintifik dan ilmiah maka hanya dianggap mitos dan sugesti.
Akibatnya khazanah pengobatan herbal non kimiawi ini hilang dilindas
obat-obatan kimia produk modern. Kalau
tumbuh-tumbuhan yang bisa menjadi bahan tersebut dianggap belum memenuhi
standar ilmiah dan saintifik untuk dijadikan obat, mestinya dilakukan upaya
saintifikasi dan penelitian bukan malah ditinggalkan. Ketika obat-obatan
kimia tidak mampu menjawab krisis kesehatan dan menimbulkan kontra indikasi
yang membahayakan manusia, maka sudah selayaknya menggali berbagai potensi
tanaman obat yang secara tradisional belum bisa dijelaskan secara saintifik
namun secara faktual memiliki khasiat dan manfaat yang nyata. Era
new normal pada hakekatnya adalah momentum untuk mendialogkan khazanah
tradisi dan sistem pengetahuan lokal dengan narasi besar modernisme dan agama
agar tercipta tatanan kehidupan dengan budaya baru yang bersumber dari local
wisdom dan local genius. Sudah bukan waktunya membenturkan narasi besar
dengan narasi kecil yang bersifat lokal, keduanya harus digali dan
dikembangkan dan dibangun hubungan yang komplementer bukan kontradisktif
sebagaimana yang terjadi saat ini. Dalam
konteks ini dibutuhkan kreativitas dan kearifan yang tinggi. Karena ini
merupakan kerja kebudayaan yang tidak saja memerlukan kecerdasan nalar tetapi
juga kepekaan nurani. Dan di era pandemi Covid-19 inilah momentum yang tepat
untuk melakukannya. ● Sumber : https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Senjakala-Narasi-Besar-dan-Munculnya-Local-Genius |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar