”Quo
Vadis” Peternakan Unggas Rochadi Tawaf ; Dewan Pakar Pengurus Besar Perkumpulan
Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia dan Komite |
KOMPAS, 4 Agustus 2021
Kemelut
perunggasan sesungguhnya dimulai sejak diintroduksikannya broiler tahun 1970
dan booming-nya peternakan rakyat (back yard farming) 1980-an. Pada
Lokakarya Perunggasan Nasional tahun 1987, masyarakat peternak meminta
peninjauan kembali Keputusan Presiden No 50/1981 tentang pembinaan peternak.
Kemudian, tahun 1990-an terjadi kelebihan pasok day old chiken (DOC) dan
kelangkaan jagung karena kemarau panjang dan krisis moneter. Akibatnya,
bisnis perunggasan mengalami kontraksi kembali. Penyebab
utama, 60 persen sarana produksi usaha ini berasal dari impor. Di awal tahun
2000-an diintroduksi sistem agribisnis perunggasan. Sistem ini yang membuat
industri perunggasan tumbuh pesat. Kemelut
perunggasan di era sebelum 2009 adalah karena keberadaan peternakan rakyat
masih bisa berlindung pada UU No 6/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Tatkala terjadi perubahan UU PKH tahun
2009 dan diperbaiki pada tahun 2014, nomenklatur peternakan rakyat tidak
dikenal lagi. Dari semua kemelut itu hingga kini yang dirugikan adalah
peternakan rakyat. Selama
tiga tahun terakhir, fenomena yang terjadi adalah perkasanya bisnis industri
perunggasan dibandingkan peternak rakyat (peternak mandiri). Ini sebagai
akibat dari penentu kebijakan melakukan dikotomi terhadap keduanya. Kondisi
ini sebenarnya dampak dari diintroduksikannya sistem agribisnis dalam
industri perunggasan nasional 20 tahun lalu. Sesungguhnya
sistem ini akan menjadi tangguh jika integrasinya dari hulu ke hilir
dilakukan secara vertikal. Malangnya, peternak mandiri belum mampu memenuhi
tuntutan tersebut. Artinya, negara tidak mampu memberikan pelindungan dan
pelayanan ketersediaan sarana produksi kepada peternak mandiri sehingga
produknya menjadi tidak berdaya saing atau kalah bersaing dengan industri. Berbagai
upaya ditempuh untuk menyelesaikan kemelut itu, melalui beberapa kebijakan.
Misalnya, untuk mengatasi fluktuasi harga, melalui kebijakan penetapan harga
acuan (Permendag No 7/2020). Terkait
indikasi adanya kartel dalam pemasaran produk unggas, dilakukan sidang soal
ini di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Selanjutnya Permendag No
21/2018 tentang Ketentuan Impor Jagung untuk menjamin ketersediaan bahan baku
jagung. Untuk pola kemitraan, diterbitkan Permentan No 13/2017 tentang Kemitraan
Usaha Peternakan. Terkait
impor grand parent stock (GPS), diterbitkan Permentan No 32/2017 tentang
Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi. Terkait
cutting hatching egg, diterbitkan Surat Edaran Dirjen PKH No 18029/2020 dan No
19037/2020. Terkait afkir dini, diterbitkan Pementan No 26/2016. Semua
kebijakan itu baru menyentuh fenomena yang terjadi, belum sampai akar
masalah, yaitu terjadinya dikotomi dalam industri perunggasan. Seharusnya,
pemerintah mampu menghilangkan dikotomi itu dengan membangun industri
perunggasan yang tangguh. Cara-cara
penyelesaian masalah yang dilakukan selama ini ternyata tak mampu
menghentikan gejolak harga dan kerugian usaha yang diderita peternak mandiri.
Oleh karena itu, sangat wajar peternak mandiri menggugat pemerintah, dalam
hal ini Ditjen PKH, Menteri Pertanian, dan Presiden RI, sebesar Rp 5,4
triliun karena dianggap lalai melakukan pembinaan, pelindungan, bahkan
cenderung pembiaran terhadap kondisi usaha yang tak kondusif, yang merugikan
usaha peternak mandiri. Di
sisi lain para pengusaha industri peternakan unggas telah meraup keuntungan
usaha berlipat-lipat. Maka sepatutnya dipertanyakan: quo vadis peternakan
unggas? Industrialisasi perunggasan Bisnis
perunggasan merupakan usaha ternak yang lebih maju dibandingkan usaha ternak
lain. Inovasi teknologi budidaya sangat cepat diadopsi peternak. Atas dasar
tuntutan permintaan, peluang pasar, dan persaingan usaha yang terbuka, bisnis
ini telah berubah menjadi industri yang mampu tumbuh dan berkembang dengan
kuat. Di
sisi lain, peternak mandiri pun tumbuh dan berkembang mengikuti industrinya.
Namun, faktanya, mereka telah ditinggalkan oleh industrinya. Kini, peternak
mandiri jadi bulan-bulanan dalam sistem pasar bebas yang ada dan menderita kerugian
sangat signifikan. Dikotomi
industri dan peternak mandiri mestinya tak terjadi. Logikanya mereka dapat
hidup berdampingan membentuk industri perunggasan yang tangguh, bukan hanya
kuat. Tangguhnya
industri ini dicirikan dengan ketersediaan sarana produksi dan sumber daya
domestik yang mampu mendukung sistem agribisnis perunggasan nasional. Bukan
karena dukungan sarana produksi yang berbasis impor. Langkah
yang harus ditempuh adalah melalui korporatisasi peternakan mandiri. Bentuk
korporatnya bisa BUMDesa, koperasi, dan badan hukum usaha lain. Hal ini perlu
dilakukan dalam rangka melaksanakan tahap berikut, yaitu melalui bantuan
pemerintah, badan hukum usaha peternakan mandiri membeli saham industri
perunggasan skala besar (Tbk) di bursa saham. Jika
saham secara dominan dimiliki peternakan mandiri, tentu tak ada lagi dikotomi
kelembagaan dalam pengembangan industri perunggasan sehingga pembangunan
perunggasan dapat dinikmati semua pelaku bisnis, baik peternak mandiri maupun
industri, karena mereka satu perahu. Kebijakan perunggasan Dalam
jangka pendek, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui kehadiran/peran
negara, yang direprentasikan oleh Bulog/BUMN/BUMD di tengah anjloknya harga
ayam di peternak. Solusi ini sekaligus untuk mengatasi masalah tengkes dan
krisis daya beli akibat pandemi melalui program pemulihan ekonomi. Hal ini
pernah dilakukan Pemprov Jawa Barat dengan asosiasi peternak unggas. Dalam
jangka menengah, perlu dilakukan harmonisasi kebijakan yang kontraproduktif.
Misalnya, memperbaiki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Ditjen PKH (Permentan
No 43/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementan), karena tupoksi ini,
pemerintah tak punya kewajiban mengurus peternak agar sejahtera dengan bisnis
yang menguntungkan. Selain
itu, menjadikan komoditas unggas masuk dalam bahan pangan pokok dan barang
penting (bapokting) sehingga daging ayam dan telur dapat dijadikan cadangan
pangan nasional (Perpres No 71/ 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan
Bapokting). Dengan kebijakan ini, diharapkan kita akan memiliki GPS ayam
Indonesia yang selama ini 100 persen tergantung impor. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar