Sihir
Peradaban Kota Sungai Nirwono Joga ; Pusat Studi Perkotaan |
KOMPAS, 4 Agustus 2021
Setiap
27 Juli diperingati sebagai Hari Sungai Nasional, sebagai bentuk kepedulian
terhadap upaya pelestarian sungai (air) sumber kehidupan kota dan kita. Angan-angan
sungai yang lestari asri ini jangan kira lama menawan atau dibelai pedestrian
yang nyaman. Secara historis dengan garis hidup sungai untuk perdagangan,
produksi, dan perjalanan, sungai-sungai kota menjadi sarat polusi. Sebab
sekian abad ia resah, sampah, limbah, hingga buang hajat telah mengeruhkan
hati (air sungai), menciptakan banjir saat hujan. Tingkat erosi yang tinggi
membawa lumpur yang membuat sungai cepat mendangkal, meluberkan air
membanjiri permukiman di sekitar. Permukiman
kumuh menjamur berpuluh-puluh tahun di kanan-kiri bantaran telah menyesakkan
badan sungai. Tiada panorama berkilauan tanda peradaban kota sungai yang dulu
diagungkan lambang kejayaan dan kemakmuran. Jiwa metropolitan kota pun lelah,
tiada inspirasi dari sungai. Maka
sihir dilaksanakan untuk mengubah semua jadi elegan, menciptakan sungai
memukau agar warga terpukau. Tidak perlu gengsi untuk meniru demi
meningkatkan mutu kehidupan kota. Sungai harus dikembalikan lagi menjadi
simbol kemakmuran dan kesejahteraan, basis peradaban kota yang tak
terbanding. Membangun
peradaban kota sungai berjabat erat dengan kebudayaan masyarakatnya.
Pencapaian peradaban sungai yang tinggi di bidang kebudayaan, kesusastraan, arsitektur
bangunan, dan lansekap kota mewujud dalam bentuk syair, pantun, seni musik,
seni corak dan ragam hias pada tenunan dan bangunan banyak yang tentang dan
terilhami ekosistem sungai. Sejumlah
kota dunia bekerja keras untuk membuat sungainya ”hidup” kembali,
menghubungkan tepi sungai yang terabaikan dengan orang-orang dan bangunan
yang mengelilinginya. Inisiatif kesehatan lingkungan telah membersihkan
sungai secara besar-besaran dari segala macam sumber pencemaran. Biro arsitek
Studio Octopi tengah merancang kolam renang terapung (Thames Baths, 2013) di
Sungai Thames, London, sebagai bagian dari revitalisasi sungai, membangun
filter air alami (bisa dipanaskan di musim dingin), dan zona regenerasi
ekologis sungai. Hal
sama juga dilakukan di Sungai Charles di Boston yang berhasil bertransformasi
dari sungai tercemar menjadi sungai terbersih di Amerika Serikat dan tengah
menyiapkan taman renang terapung (Charles River Conservancy, 2017). Sebuah
kelompok bernama + Pool (2014) tengah merencanakan untuk membuat kolam
terapung di Sungai Timur, New York, yang memiliki kemampuan untuk menyaring
air yang tercemar, menyediakan tempat publik untuk berenang, dan membantu
membersihkan sungai di waktu yang sama. Pemerintah
kota Melbourne dengan Sungai Yarranya mendidik masyarakat tentang arti
pentingnya pelestarian sungai bagi keberlanjutan kehidupan kota. Berbagai
komunitas masyarakat didorong untuk mengembangkan wisata susur sungai,
mengamati burung dan satwa liar ekosistem tepian sungai, wisata kayak,
bersepeda, hingga barbeku bersama keluarga di tepi sungai. Terbaru yang
sempat menjadi viral adalah penataan
di Sungai Hudson berupa pulau kecil layang yang di atasnya dibangun taman
terapung sebagai ikon terbaru kota New York yang diresmikan pada 21 Mei lalu. Jejak kejayaan kota sungai Di
Tanah Air, kita juga memiliki jejak panjang kejayaan kota-kota sungai, tetapi
kini mulai sirna dan terabaikan. Tengoklah kota Palembang dengan Sungai
Musinya, Pontianak dan Sungai Kapuas, Samarinda dan Sungai Mahakam,
Banjarmasin dan Sungai Barito, Jakarta dan Sungai Ciliwung. Mereka semakin
berjauhan, sebaliknya banjir semakin mengakrabi. Padahal
dari total 514 kota/kabupaten, sekitar 300 kota/kabupaten dibangun dekat
sumber air, baik berupa danau, daerah aliran sungai, maupun pertemuan muara
sungai dan pantai. Kelangsungan kehidupan kota sungai sangat tergantung pada
kemampuan manusia menjaga keberadaan air sungai beserta ekosistem tepian
sungai. Pemerintah
diharapkan mampu mengendalikan perubahan tata guna lahan daerah aliran sungai
dari hulu ke hilir, melakukan konservasi/reboisasi hutan lindung
(bukit/pegunungan), merevitalisasi hutan kota (perkotaan), serta merestorasi
hutan mangrove (pesisir pantai) untuk mengamankan kawasan keresapan air. Selaras
dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun
2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau,
penetapan garis sempadan sungai harus mempertimbangkan karakteristik
geomorfologi, rencana tata ruang kota, kondisi sosial budaya masyarakat
setempat, serta ketersediaan jalan akses bagi peralatan, bahan, dan sumber
daya manusia untuk melakukan kegiatan operasi, pengawasan dan pemeliharaan. Pemerintah
perlu merevitalisasi sungai, memperlebar dan memperdalam agar kapasitas daya
tampung air sungai optimal. Permukiman di tepian bantaran sungai direlokasi
secara bertahap dengan penuh kemanusiawian, kepastian, dan kelayakhunian.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerja sama bahu-membahu
melakukannya. Penanganan parsial tidak akan berhasil karena sungai tak
mengenal batas wilayah. Dan sihir peradaban kota sungai pun tak akan mewujud.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar