Prospek
Hubungan Antaragama di Arab Saudi dan Indonesia Sumanto Al Qurtuby ; Direktur Nusantara Institute, Staf pengajar
di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi |
KOMPAS, 4 Agustus 2021
Di
saat Indonesia sedang mengalami ujian dan tantangan serius mengenai
pembangunan relasi antar dan intraumat beragama belakangan ini, Arab Saudi
justru menunjukkan perkembangan menarik dan menggembirakan yang patut
diapresiasi. Ujian
dan tantangan serius terkait pembangunan relasi antar dan intraumat beragama
di Indonesia itu sendiri menyeruak akibat munculnya gelombang kelompok
militan-konservatif agama dan elite sektarian, sejak tumbangnya Orde Baru. Selama
ini, oleh masyarakat dan lembaga internasional (misalnya, "International
Religious Freedom Report" yang dikeluarkan secara berkala oleh
Pemerintah Amerika Serikat), negara-kerajaan terbesar dan adidaya di kawasan
Teluk dan Arab Timur Tengah ini dinilai negatif dan sangat buruk dalam hal
pembangunan relasi dan dialog antar dan intraumat beragama. Mereka juga
dinilai buruk dalam hal perlakuan terhadap kelompok minoritas agama, termasuk
minoritas Muslim, misalnya warga Syiah. Meskipun, realitasnya tidak selalu
demikian. Buruknya
penilaian masyarakat internasional itu didasari sejumlah hal. Misalnya, di
kawasan Timur Tengah, Arab Saudi adalah satu-satunya negara yang tidak
membolehkan pembangunan tempat-tempat ibadah non-Muslim. Kebebasan ekspresi
beragama atau merayakan ritual agama di ruang publik bagi masyarakat
non-Muslim sangat dibatasi dan dikenakan sanksi berat (dipenjara atau
dideportasi) jika ada pelanggaran. Padahal,
populasi masyarakat non-Muslim cukup besar di Arab Saudi. Mereka adalah para
ekspatriat atau warga imigran yang bekerja di berbagai sektor, kebanyakan di
sektor “ekonomi informal”. Tercatat lebih dari 33 persen dari total jumlah
penduduk di Arab Saudi adalah warga migran. Mereka datang dari berbagai
negara di Afrika, Asia (khususnya Asia Selatan dan Asia Tenggara), atau Timur
Tengah sendiri. Dari
segi agama, para pekerja migran ini sangat plural bukan hanya Muslim saja,
tetapi juga Protestan, Katolik, Hindu dan lainnya. Menurut estimasi Global
Religious Futures Project, diperkirakan ada lebih dari 1,4 juta umat
Kristiani yang berasal dari berbagai negara: Lebanon, Mesir, Filipina,
Suriah, atau negara-negara di Afrika. Ada juga umat Kristiani dari
negara-negara Barat yang bekerja sebagai tenaga profesional. Karena
tidak ada bangunan tempat ibadah khusus, mereka menjalankan ritual
peribadatan di rumah masing-masing atau di Bahrain, negara tetangga dekat
Arab Saudi di ujung timur yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat. Penting
untuk diketahui, meskipun tidak ada bangunan fisik tempat ibadah non-Muslim
serta pelarangan pelaksanaan ibadah di tempat-tempat umum, bukan berarti Arab
Saudi “apati” dan tidak melakukan “engagement” dengan masyarakat non-Muslim. Terbukti
di bidang ketenagakerjaan di sektor pendidikan, industri, dan usaha mereka
banyak menerima atau menyerap tenaga kerja dari kalangan non-Muslim maupun
warga Syiah. Di universitas tempat saya mengajar saat ini juga banyak sekali
staf dan dosen non-Muslim maupun Syiah. Terobosan historis Berkaitan
dengan relasi antarumat agama ini, sejak beberapa tahun terakhir telah
terjadi perubahan penting di Arab Saudi. Tokoh penting yang menjadi pelopor
atau perintis (pioneer) di balik upaya pembangunan hubungan harmonis
antaragama (Muslim-non-Muslim) maupun intra-agama (Sunni-Syiah) adalah
mendiang Raja Abdullah (wafat 2015) yang dikenal sangat moderat dan pro
terhadap reformasi dan perubahan positif atas aneka masalah sosial, budaya,
dan agama di Arab Saudi. Berbagai
upaya reformasi atau pembaruan sosial-keagamaan yang ia rintis, kelak
dilanjutkan oleh adiknya, Raja Salman, beserta Putra Mahkota Muhammad Bin
Salman (MBS). Beberapa
terobosan historis yang sangat penting yang dilakukan oleh Raja Abdullah
dalam hal upaya merajut hubungan harmoni dengan umat non-Muslim maupun warga
Syiah dan Sunni non-Hanbali adalah sebagai berikut. Pada
tahun 2007, Raja Abdullah bertemu dengan Paus Benediktus XVI di Vatikan.
Setahun kemudian ia mengundang sekitar 500 tokoh agama dari berbagai negara
untuk mengadakan pertemuan antaragama di Makkah. Raja Abdullah (bersama
pemimpin dari Austria dan Spanyol) juga turut mensponsori pendirian King
Abdullah International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue
yang berpusat di Vienna. Pula,
Raja Abdullah memprakarsai pendirian King Abdulaziz Center for National
Dialogue (majlis al-hiwar al-watani), sebuah forum “dialog nasional” di Arab
Saudi yang melibatkan berbagai kalangan, termasuk para tokoh Syiah moderat
dan ulama non-Hanbali. Upaya
membangun relasi harmonis antaragama yang digagas oleh Raja Abdullah itu
kemudian dilanjutkan, diperkuat, dan diekstensifkan oleh Raja Salman dan MBS
yang gencar melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, khususnya dari
kalangan Kristiani, baik Katolik maupun Protestan, baik di Arab Saudi maupun
negara-negara lain seperti Mesir, Inggris, Amerika Serikat, dan sebagainya. Misalnya,
tahun 2017, Raja Salman dan MBS menerima kunjungan pemimpin tertinggi Gereja
Maronite Lebanon, Patriach Bechara Boutros Al-Rahi, beserta rombongan.
Kemudian, tahun 2018, Raja Salman dan MBS mengadakan pertemuan di Riyadh
dengan Kardinal Jean-Louis Tauran (beserta delegasi), presiden Pontifical
Council for Interfaith Dialogue (PCID), Vatikan. PCID,
kini dipimpin oleh Miguel Angel Ayuso Guixot yang ahli di bidang studi
sejarah Islam dan Timur Tengah, merupakan lembaga penting Gereja Katolik yang
dibentuk oleh Vatikan untuk mempromosikan dialog antaragama sesuai dengan
spirit Konsili Vatikan II (khususnya deklarasi "Nostra Aetate")
agar tercipta perdamaian global serta spirit saling memahami dan menghormati
antara umat Katolik dan non-Katolik di jagat raya ini. Lalu,
pada tahun 2019, Raja Salman dan MBS kembali melakukan pertemuan dengan para
tokoh kristiani dari Gereja Evangelis Amerika Serikat yang dipimpin oleh Joel
Rosenberg. Bukan hanya di Arab Saudi, MBS dalam kunjungan ke Amerika Serikat,
Inggris, Mesir dan lainnya juga sering menyempatkan untuk bertemu dengan para
tokoh Kristen. Di era pandemi Covid-19 ini, Arab Saudi juga menggelar
beberapa kali konferensi virtual antaragama. Santer
beredar kabar kalau berbagai pertemuan dengan para tokoh Kristen (Katolik,
Maronite, Koptik, Anglikan, Evangelis, dan sebagainya) tersebut bukan hanya
sekadar “formalitas persahabatan”. Lebih
jauh, pertemuan-pertemuan tesebut juga untuk membangun dialog antaragama yang
lebih konkret agar upaya pemerintah membangun, mengubah, atau mentransformasi
Arab Saudi menjadi negara-kerajaan yang modern, moderat, dan terbuka menjadi
lebih solid, mendapat dukungan masyarakat internasional, dan semakin
komprehensif. Bukan
hanya di wilayah perekonomian, sains, teknologi, kebudayaan, atau emansipasi
perempuan saja, tetapi juga sektor keagamaan. Moderasi beragama Sejak
beberapa tahun terakhir, pemerintah memang gencar melakukan kampanye “Islam
wasatiyah” atau “Islam garis tengah” (baca, Islam moderat) yang tidak
“ekstrem kiri” maupun “ekstrem kanan”. Keseriusan pemerintah dalam upaya
melakukan “moderasi beragama” atau mewujudkan “Islam moderat” itu ditandai
dengan berbagai program dan kebijakan fundamental. Di
antaranya, seperti mengubah kurikulum pendidikan (khususnya buku ajar agama),
menghapus lembaga “polisi syariat” yang selama ini menjadi “momok”
masyarakat, serta merestrukturisasi fungsionaris institusi penting keislaman
seperti para imam dan khatib masjid maupun para ulama yang duduk di Majelis
Hay’at Kibar al-Ulama. Semua
diganti dengan para klerik atau ulama yang berhaluan moderat dan berwawasan
inklusif. Para penceramah dan guru agama yang berhaluan radikal-militan juga
“ditertibkan” supaya tidak menyebar dan mewabah di masyarakat. Kini,
desas-desus beredar kabar, hasil pembicaraan dan pertemuan dengan para tokoh
Kristiani tersebut, kalau pemerintah membolehkan wilayahnya untuk dibangun
gereja agar 1,4 juta umat kristiani di Arab Saudi bisa leluasa menjalankan
ibadah. Dulu
sebetulnya pernah ada gereja di Jazirah Arabia yang kini masuk wilayah Arab
Saudi seperti gereja tua di Jubail yang dibangun di abad keempat Masehi
(dikenal dengan sebutan Gereja Jubail atau Kanisat al-Jubail). Ada pula
sumber yang mengatakan kalau di Jeddah ada sebuah Gereja Anglikan yang
dibangun oleh orang-orang Inggris seabad silam. Kawasan
Najran di Arabia selatan juga dulu dikenal sebagai pusat umat Kristiani, dan
bahkan Nabi Muhammad diriwayatkan pernah membangun persahabatan dengan para
tokoh Kristen Najran. Jadi, kalau Pemerintah Saudi memutuskan untuk
membolehkan pembangunan gereja, itu sebetulnya mempunyai landasan historis
yang kokoh. Kalau
pembangunan gereja (atau tempat ibadah non-Muslim lain) bisa dilakukan, maka
akan menjadi “peristiwa historis” yang luar biasa. Dampak globalnya, Arab
Saudi akan semakin didukung oleh komunitas internasional dalam upaya untuk
memodernkan negaranya dan memoderasikan masyarakatnya. Pelajaran penting Ada
sejumlah pelajaran penting yang bisa dipetik dari Arab Saudi bagi pemerintah
dan masyarakat Indonesia. Antara lain, upaya mewujudkan relasi antaragama
yang toleran dan harmonis itu akan susah terwujud jika banyak bertebaran
kelompok agama militan-konservatif yang closed-minded serta elite politik
yang berwawasan dan berperilaku sektarian dan etnosentris di berbagai lini
kehidupan. Oleh
karena itu, pemerintah dan elemen masyarakat perlu mewaspadai secara serius
dan kemudian menangani dengan tegas, cermat, dan saksama fenomena
berkembangnya kelompok konservatif, militan, intoleran, sektarian, dan
etnosentris di Indonesia. Kelompok
ini perlu “diruwat” dan “ditertibkan” seperti yang dilakukan oleh Arab Saudi.
Jika tidak, mereka bisa menjadi “batu penghalang” (stumbling block) bagi
pemerintah dalam upaya merealisasikan jargon “moderasi beragama” dan
mewujudkan Indonesia sebagai negara moderat, toleran, dan pluralis di
kemudian hari. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar