Pandemi
dan Digitalisasi Meuthia Ganie-Rochman ; Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia |
KOMPAS, 28 Agustus 2021
Selama
ini kita menggunakan istilah disrupsi untuk menjelaskan situasi perubahan
besar dalam organisasi ekonomi akibat teknologi informasi. Banyak
orang menggunakan kata disrupsi secara permukaan saja, tanpa terlalu memahami
artinya bagi pengorganisasian di masyarakat dan bagaimana itu menimbulkan
tekanan institusional. Disrupsi
digital bukan hanya kemunculan pola ekonomi baru yang berada di luar pola
yang selama ini ada. Disrupsi juga bisa berarti negatif, di mana terdapat
situasi tekanan institusional yang hebat. Institusi yang ada kehilangan
relevansi sekaligus kendali untuk melakukan pengaturan. Sebelum
pandemi, disrupsi digital sudah dianggap sesuatu yang datang dengan cepat:
kemajuan teknologi informasi menciptakan lahirnya logika ”data imperatif”, di
mana data menjadi mekanisme pengambilan keputusan dan menjalankan keputusan.
Namun, perkembangan digital sudah berlangsung puluhan tahun, dan teknologi
algoritma mengakselerasi data imperatif sejak belasan tahun belakangan ini. Pandemi
Covid-19 menciptakan banyak perubahan dalam institusi ekonomi dan institusi
lain. Kebutuhan masyarakat, gaya hidup, alokasi ekonomi, dan struktur
pertumbuhan berubah dengan cepat. Perubahan karena pandemi terjadi dalam
hitungan bulan, semua bermula dari sesuatu yang sangat manusiawi, yakni
kontak fisik. Dengan harus dihilangkan atau dikurangi kontak fisik, dengan
cepat terbentuk persoalan paradoksikal kesehatan-ekonomi. Pemerintah
menghadapi tekanan luar biasa untuk penyelamatan negara sehingga cenderung
cepat menggapai digitalisasi sebagai harapan jalan keluar. Namun, jalan
digital tanpa kesiapan organisasi dan institusi ekonomi bisa menggerogoti
daya tahan ekonomi. Ekonomi digital Penggunaan
digital dalam transaksi perdagangan naik tajam di seluruh dunia sejak
pandemi. Di Indonesia, tahun lalu transaksi keuangan digital perbankan meningkat
25-40 persen. (Kompas.com, 29/9/2020) Selain
peningkatan pembelian daring pada semua kategori barang, kurang dari setengah
tahun, terdapat kenaikan signifikan penggunaan platform bayar-kemudian
(paylater). Ini
menunjukkan bahwa perekonomian platform semakin menentukan dalam transaksi
ekonomi. Kenyataan ini menyadarkan banyak pihak, termasuk pemerintah, tentang
perlunya percepatan digitalisasi oleh pelaku ekonomi. Digitalisasi juga
dianggap jalan utama penyelamatan UMKM. Digitalisasi adalah hal mutlak saat
ini bagi pelaku ekonomi. Ini mirip telepon tahun 1970-an. Ada
beberapa elemen untuk kelancaran transaksi ekonomi (Khana dan Palepu, 2005),
yaitu (a) analis informasi dan advisor tentang penjual dan pembeli; (b)
promosi tentang keberadaan dan kualitas klien; (c) pemberi informasi tentang
kredibilitas; (d) agregator dan distributor yang mempertemukan kepentingan
sehingga terjadi skala ekonomi yang menguntungkan; (e) fasilitator transaksi;
(f) penyelesaian sengketa dalam pertukaran ekonomi. Penggunaan
jasa, perdagangan barang, dan keuangan saat ini semakin banyak mengandalkan
digital dalam memenuhi lima pertama dari kebutuhan tersebut. Digitalisasi
memudahkan orang untuk menyelesaikan lima dari enam persoalan dalam
pertukaran ekonomi ini. Digitalisasi
menghasilkan platform yang didirikan perusahaan yang menguasai teknologi
informasi, untuk mengatur pertukaran. Namun, pada saat yang sama, platform
ini jugalah yang justru bisa menimbulkan ketimpangan ekonomi jika negara tak
dapat mengaturnya. Pertama,
meski teknologi informasi bisa diakses secara luas, tetap saja orang/
perusahaan dengan sumber daya yang besarlah yang mampu men-sistemisasi
informasi tertentu. Merekalah
yang mampu membuat jaringan yang membuat big data bukan hanya semakin luas
dengan menyatukan pusat-pusat data, misalnya data pola konsumsi, pekerjaan,
dan struktur ekonomi wilayah. Mereka juga bisa memperdalam data, misalnya
pendapatan, umur, dan pola konsumsi. Setelah
akses big data, teknologi algoritma digunakan untuk menyeleksi dan
menampilkan informasi sebagai suatu keputusan. Data ini dapat digunakan untuk
meramalkan investasi seperti apa yang menguntungkan di masa depan. Baru-baru
ini TV Deutche Welle membuat laporan soal kekuasaan Amazon dalam mengenali
dan mengarahkan kebutuhan konsumen per individu. Amazon melakukannya dengan
rekonstruksi kekayaan datanya atas semua orang yang hidup di masyarakat
digital. Perusahaan
dengan platform pada awalnya seperti membuang uang dengan terus-menerus
investasi sampai jumlah fantastis. Namun, selama beberapa tahun mereka tidak
hanya mengumpulkan data, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis dalam dua
cara. Cara
pertama adalah melebarkan kerja sama dengan berbagai penyedia jasa (restoran,
tempat pijat, ekspedisi, kesehatan, kecantikan, dan lain-lain). Dengan
jaringan semacam ini, konsumen tak perlu ke mana-mana karena semua kebutuhan
ada di situ. Sepintas,
ini merupakan kemudahan, tapi jaringan semacam ini akan menghasilkan hanya
satu-dua pemain. Pesaing baru akan susah masuk. The winner takes all. Penguasaan
yang kedua adalah bahwa perusahaan platform yang membesar akan membangun
segala kebutuhan yang melancarkan bisnisnya. Ini adalah proses solidifikasi
sistem, di mana perusahaan platform tidak banyak bergantung pada pihak lain
dalam banyak hal, seperti barang modal, badan pemberi peringkat,
organisasi/bisnis perantara, dan sistem pembayaran sendiri. Bahkan
organisasi seperti Alibaba memiliki ”akademi” sendiri untuk menopang
tumbuhnya gagasan baru bagi bisnis platform mereka. Bisnis platform yang
lahir lebih dulu dan bermodal kuat akan membeli perusahaan-perusahaan
rintisan (start up) untuk melengkapi komponen bisnis menggurita mereka. Ketiga,
perusahaan platform raksasa sebenarnya menguasai lima mekanisme dalam pasar.
Di ekonomi konvensional, kelima fungsi ini dijalankan oleh organisasi lain,
termasuk negara. Mereka menciptakan ukuran sendiri tentang kinerja dengan
penghargaannya, relatif independen dari ukuran kredibilitas, dan punya
mekanisme sendiri untuk mengefisienkan diri. Ekonomi digital dalam pembangunan
ekonomi Daron
Acemoglu, seorang ahli ekonomi politik terkemuka, menulis di Project
Syndicate (5/6/2020) tentang bentuk-bentuk pemerintahan pascapandemi
Covid-19, dengan salah satunya adalah negara menyerahkan pengaturan publik
kepada perusahaan teknologi. Negara
sendiri tidak mampu mengontrol perusahaan tersebut. Pemerintah tidak memiliki
sumber daya yang cukup untuk memahami potensi ataupun kapasitas perusahaan
demikian. Digitalisasi
tampak bisa menyelesaikan masalah paradoks kesehatan-ekonomi dengan
meniadakan kontak fisik. Karena itu, tidak heran, sebagian orang bersemangat
mengatakan bahwa digitalisasi UMKM akan menyelamatkan perekonomian Indonesia.
Namun, penyediaan/pengembangan digitalisasi baru sebagian dari pemecahan
masalah jika dilihat secara makroekonomi. UMKM
kita sebagian besar berada pada sektor perdagangan dan jasa/pengadaan makanan
minuman, bidang yang tidak membutuhkan keahlian banyak. Mereka hadir bersifat
individual, menunjukkan lemahnya jaringan dalam struktur industri. Sektor
ini mudah dimasuki sehingga menjadi sangat padat saat pandemi menghilangkan
banyak pekerjaan. Kompetisi menjadi sangat tinggi. Dengan
strategi digitalisasi, tidak menyelesaikan masalah ketahanan ekonomi
Indonesia. UMKM terlalu padat di sektor yang ”mudah masuk dan mudah mati”.
Digitalisasi seperti pedang bermata dua: selain mempermudah presentasi ke
pasar, sistem penilaian digital akan memungkinkan terjadinya
”penggumpalan/akselerasi” kredibilitas. Segera
terjadi penyingkiran terhadap yang lain, semata karena mekanisme pemberian
nama baik dan nama buruk atas para pelaku UMKM. Dengan demikian, klaim
perusahaan platform perdagangan daring harus dilihat secara hati-hati. Meskipun
partisipasi ”UMKM” yang ”pedagang” tampak jumlahnya fantastis, kenyataannya
hanya sebagian yang dapat menambang manfaat dari presentasi di platform.
Sebagian cukup besar lainnya kemungkinan sangat ringkih dan hanya hadir
sementara. UMKM
dengan sektor pengolahan, yang persentasenya secara signifikan lebih kecil,
menghadapi persoalan bahan baku. Selain itu, mereka membutuhkan bantuan
teknologi sederhana yang akan memperbaiki produksi mereka selangkah demi
selangkah. Bantuan
institusional dari negara seperti pemberian kesempatan terlibat dalam
perekonomian modern dan formal (tanpa selalu harus menjadi badan formal)
adalah sesuatu yang harus dilakukan secara sangat sistematis. Digitalisasi
digunakan dalam kerangka meningkatkan pelibatan dalam jaringan, bahkan
merekonstruksi jaringan ekonomi itu sendiri. Namun,
pandemi juga menghadirkan kesempatan perbaikan standar UMKM. Dengan munculnya
berbagai kebutuhan baru karena pandemi—alat kesehatan, pasokan makanan,
ekspedisi—pemerintah daerah berkesempatan melibatkan UMKM dalam jaringan.
Bukan hanya untuk dapat menyerap produk dan jasa mereka, melainkan sekaligus
juga memperbaiki standar produksi dan pelayanan, seperti standar nutrisi,
jaringan bahan baku, dan tata kelola distribusi. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/28/pandemi-dan-digitalisasi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar