Lupa
Bahasa Sains Ahmad Mustafid ; Mahasiswa Magister Technische Universität
Kaiserslautern, Jerman |
KOMPAS, 27 Agustus 2021
Pengembangan
riset dan inovasi di Indonesia diharapkan mampu memperkuat sinergi dalam
ekosistem riset nasional melalui sains dan teknologi. Namun, ada yang luput
dari perhatian kita. Fondasi sains yang keropos. Masifnya
pemberitaan tentang riset dan inovasi di Indonesia sangat sering kita
dengarkan. Mulai dari pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
hingga jargon nasionalisme yang melekat bersamanya. Salah satu arah BRIN
adalah menciptakan ekosistem riset sesuai standar global yang terbuka,
inklusif, dan kolaboratif bagi semua pihak, baik itu akademisi, industri,
komunitas, maupun pemerintah. Iktikad
Indonesia untuk menciptakan ekosistem riset merupakan hal yang perlu disambut
baik. Ekosistem tersebut diharapkan bisa merangkul banyak pihak, tak
terkecuali masyarakat. Namun,
kita melupakan elemen penting dalam sains yang membuat pengeroposan itu
semakin masif. Elemen tersebut adalah bahasa sains. Bahasa sains Bahasa
adalah alat komunikasi dalam suatu bangsa atau komunitas. Bahasa dapat
menggambarkan peristiwa melalui tanda atau simbol. Semiotika. Untuk masuk ke
dalam suatu komunitas, kita perlu memahami bahasa, tanda, dan simbol-simbol
yang digunakan. Komunitas sains memiliki bahasanya sendiri dalam
berkomunikasi. Bahasa tersebut adalah matematika. Ilmuwan
dan insinyur sering mengagumi kemampuan matematika dalam menggambarkan
realitas dunia. Einstein adalah salah satu tokoh ilmuwan besar abad ke-20
yang sangat mengagumi kemampuan matematika. Siapa yang tidak kenal formula
E=mc2. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk menghitung energi dalam reaksi
fisi dan fusi nuklir. Lebih
lanjut ditekankan, sebagai bahasa yang digunakan antarsesama ilmuwan sains,
pemahaman terhadap matematika merupakan kunci untuk bisa ikut terlibat dalam
komunitas sains global. Celakanya, kita masih abai terhadap masalah tersebut. Hasil
survei (PISA, 2018) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains
pelajar kelas III SLTP di seluruh dunia mengungkapkan bahwa, dari 78 negara
yang disurvei, Indonesia hanya menempati peringkat ke-72. Adapun dalam
matematika, Indonesia ada di peringkat ke-7 dari bawah dengan skor 379
(rata-rata OECD 489). Data
tersebut menegaskan bahwa generasi muda kita ternyata masih jauh dalam
penguasaan sains dasar. Hal ini mencemaskan karena bagaimana bisa kita ikut
serta dalam mewarnai komunitas sains ke depan? Ditambah lagi, ikut
berkontribusi, membaca, berdialog, berinovasi ketika bahasanya saja tidak
mampu kita pahami. Matematika
umumnya justru menjadi momok bagi sebagian besar pelajar di Indonesia.
Padahal, dalam Jurnal npj Science of Learning dijelaskan bahwa ketakutan
terhadap matematika (math anxiety) secara luas berpotensi sebagai penghalang
di dalam kesuksesan STEM (science, technology, engineering and mathematics)
yang menjadi kunci pengembangan inovasi. Temuan
tersebut menunjukkan bahwa potensi Indonesia untuk mengembangkan inovasi yang
berkelanjutan di bidang sains dan teknologi menjadi berat. Untuk mempelajari
bahasa sains saja, kita umumnya mengidap fobia. Di
bangku sekolah dahulu, ketika mendengar kata matematika, lamunan kita
langsung tertuju pada angka dan hitung-hitungan yang rumit, padahal
matematika bukan hanya tentang itu. Matematika berbicara tentang konsistensi
logika berpikir manusia. Matematika dapat digunakan dalam membentuk pola
pikir kritis, sistematis, akurat, dan terarah. Selain
untuk melatih logika berpikir, matematika merupakan cabang dari ilmu bahasa.
Alam semesta dan manusia berkomunikasi menggunakan bahasa matematika. Air
mengalir, angin berembus, matahari memancarkan radiasi, virus bermutasi dapat
didekati menggunakan bahasa matematika. ”Matematika adalah bahasa yang
digunakan Tuhan untuk menulis alam semesta,” ujar Galileo Galilei. Matematika dan inovasi Banyak
tokoh matematika yang berinovasi dan menghasilkan produk yang diterima oleh
banyak orang. Sebut saja Sergey Brin, salah satu pendiri Google dan presiden
perusahaan induknya, Alphabet. Brin mengambil jurusan matematika dan ilmu
komputer di University of Maryland di College Park. Nama ”Google” sendiri
juga terinspirasi oleh istilah matematika ”googol”, yang berarti sepuluh
pangkat seratus. Nama lain yang juga prominen adalah Reed Hastings (Netflix)
dan Jeffrey R Immelt (General Electric). Ian
Goodfellow dan Yoshua Bengio merupakan tokoh di balik machine learning dan
artificial intelligence. Mereka menuliskan konsep tentang bagaimana teknologi
tersebut bekerja dalam bahasa dan notasi matematika. Misalnya
dalam teknologi pengenalan wajah (face recognition), bagaimana suatu gambar
atau video kemudian direpresentasikan dalam bentuk matriks matematika. Matriks
tersebut kemudian diproses oleh komputer yang sudah dilatih untuk mencari
pola (pattern) wajah manusia. Alhasil, komputer mampu menebak wajah
seseorang. Selain contoh tersebut, banyak sekali tokoh sains lainnya yang
mengomunikasikan ide, opini, dan gagasan mereka melalui bahasa matematis. Dalam
buku yang disusun para ilmuwan muda di Indonesia, ditemukan hanya terdapat
satu kata matematika di dalam isi dan dua kata matematika dalam glosariumnya.
Apakah kita memang lupa dengan matematika yang merupakan induk dari sains?
Semoga saya salah. Indonesia
memiliki banyak talenta muda dalam bidang matematika. Baru-baru ini,
mahasiswa Indonesia berhasil meraih 15 medali di ajang International
Mathematics Competition (IMC) 2021. IMC merupakan olimpiade internasional
bergengsi di bidang matematika yang digelar setiap tahun. Pada tahun ini, IMC
diikuti oleh 591 peserta yang berasal dari 54 negara. Prestasi
tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tunas-tunas muda yang siap
untuk tumbuh. Apabila tunas-tunas tersebut diberikan ruang dan fasilitas yang
mumpuni, bukan tidak mungkin Indonesia mampu menciptakan ekosistem dan ikut
serta dalam mewarnai komunitas sains. Meneropong inovasi Ketika
kita hendak bersama-sama meneropong inovasi bangsa dalam bidang sains dan
teknologi, semestinya kita juga perlu memahami bagaimana suatu komunitas
sains itu berkembang dan tumbuh. Oleh sebab itu, pemahaman dasar tentang
bahasa yang digunakan dalam sains untuk berkomunikasi merupakan aspek yang
penting. Inovasi yang berkelanjutan semestinya bisa dimulai dari perbaikan
pendidikan sains dasar yang mumpuni. Kita
punya warisan sejarah tentang inovasi bangsa, tetapi di sisi lain ada
kekecewaan yang mendalam. Orang pintar di negeri ini muncul dari waktu ke
waktu. Kita pernah diberi anugerah seorang presiden yang mampu merancang
pesawat terbang. Meskipun belum bisa bersaing di pasar Airbus dan Boeing,
sebagai bangsa yang masih relatif muda hal ini cukup membanggakan. Kini,
setelah 76 tahun berlalu, semestinya kita perlu refleksi bersama. Menilik
jejak pemanfaatan dan perkembangan teknologi di masa lalu, ada sejumlah hal
yang bisa menjadi bekal pengembangan selanjutnya. Industri strategis
sebenarnya dibuat untuk menjadi penghela perekonomian nasional dan menarik
Indonesia menjadi negara industri maju. Perekonomian
nasional sangat erat kaitannya dengan ekonomi masyarakat. Masyarakat
Indonesia merupakan manusia yang kreatif, gigih, giat, dan pantang menyerah
di tengah kondisi apa pun. Semestinya kita bukan hanya mengumpulkan
orang-orang pintar indonesia, tetapi juga melibatkan peran aktif masyarakat. Masyarakat
adalah partner riset dan inovasi, mereka bukan hanya sekadar obyek.
Menjadikan hasil riset semisal di bidang pertanian, perikanan, dan lainnya
sehingga lebih mudah dipahami dan digunakan oleh masyarakat juga merupakan
hal yang sangat penting. Keterlibatan
semua pihak untuk berani terjun ke masyarakat dan mendampingi masyarakat
dapat memutar jarum pandangan publik bahwa teknologi dan inovasi bukan hanya
milik segelintir kelompok elite tertentu saja, melainkan dibangun secara
bersama-sama. Hal ini diharapkan membuat masyarakat kita memiliki
kegandrungan terhadap sains, teknologi, teknik, dan ilmu pengetahuan. Kita
tidak perlu muluk-muluk berbicara soal teknologi canggih, tetapi bagaimana
terlebih dahulu mendampingi industri di masyarakat dengan pengetahuan dan
pemahaman. Bagaimana kita mengoptimalkan potensi yang sudah kita miliki,
seperti industri beras, gula, garam, dan kedelai, serta buah-buahan tropis,
secara efisien dengan adanya teknologi. Akumulasi di atas dapat mengurangi
mentalitas ketergantungan untuk selalu impor. Mentalitas
”kalo bisa beli, ngapain bikin” ditambah dengan kurangnya kemampuan
”berbahasa sains” merupakan musuh utama dari inovasi. Pembenahan ini adalah
kerja maraton bersama, bukan hanya kerja lima tahunan belaka. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/27/lupa-bahasa-sains/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar