Mendayung
di Antara Kesehatan dan Ekonomi Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlanggal; PhD Ekonomi-Politik Murdoch University |
KOMPAS, 28 Agustus 2021
Keselamatan
warga adalah hukum tertinggi atau salus
populi suprema lex. Adagium politik republikanisme awal warisan Republik
Romawi kuno ini sangat penting menjadi pedoman saat negara kita menghadapi
gempuran besar virus Covid-19. Pada
ruang publik kita, penerjemahan adagium ini dalam penanganan virus korona
secara kritis kerap diterjemahkan dalam pandangan negara harus mempertaruhkan
sebesar-besarnya bagi kesehatan warga dan mengesampingkan inisiatif kebijakan
ekonomi. Meski
demikian, realitas sosial tidak sesederhana yang dibayangkan. Ibarat saat
kita berjalan dengan kaki kanan dan kaki kiri, aspek kesehatan warga dan
ekonomi bangsa adalah dua sisi yang harus dipertimbangkan bersama-sama untuk
merawat daya hidup warga. Apabila
merujuk pada catatan dari Worldometer, jumlah warga terpapar Covid-19 di
Indonesia per Jumat, 27 Agustus 2021, yang memperlihatkan angka 4.043.736
warga terpapar dengan angka kesembuhan 3.669.966 jiwa dan angka kematian
130.182 jiwa, tentu kita menghadapi persoalan kesehatan warga yang serius. Sebelumnya,
data per 16 Juli 2021 masih memperlihatkan angka warga terpapar 2.726.803
kasus, dengan angka kesembuhan 2.176.412 jiwa dan angka kematian 70.192 jiwa. Menurut
laporan Bank Dunia 2021, Indonesia turun dari negara berpendapatan menengah
atas pada 2020 menjadi negara berpendapatan menengah bawah pada 2021 dengan
pendapatan per kapita 3.870 dollar AS per tahun. Menghadapi
persoalan di atas, keseimbangan untuk menjaga kesehatan warga dan pemulihan
ekonomi nasional akan menjadi ukuran daya tahan negara. Keseimbangan yang
berbekal pada navigasi akal sehat, yakni etika keadilan, pengelolaan sumber
daya yang seimbang, dan strategi kebijakan terencana dan transparan. Kesemuanya
bertujuan untuk memulihkan kepercayaan warga. Tampilnya ukuran-ukuran triadic
navigasi akal sehat di atas menjadi relevan saat masuk dalam problem konkret
dalam ilustrasi kasus-kasus secara spesifik, seperti dilema antara vaksin
gratis dan vaksin gotong royong maupun reorientasi ekonomi nasional di tengah
kondisi krisis. Vaksinasi berkeadilan Salah
satu kontroversi yang sedang kita saksikan saat ini adalah terkait penanganan
virus Covid-19, terkait dilema antara pilihan kebijakan vaksin gotong royong
vis a vis kebijakan vaksinasi gratis. Vaksinasi gotong royong adalah
vaksinasi berbayar yang beban pembiayaannya diserahkan kepada perusahaan
untuk memvaksinasi para pekerjanya. Salah
satu arus utama argumen publik yang mengecam kebijakan vaksin gotong royong
dan mengedepankan vaksinasi massal secara gratis adalah tak sepantasnya
negara mengambil keuntungan komersial dengan membebani warga yang tengah
menghadapi serangan virus untuk membayar vaksin. Manifestasi
etika keadilan dalam kebijakan vaksin semestinya dengan tidak menyetarakan
perlakuan bagi kalangan yang memiliki kemakmuran berlebih (sektor bisnis)
dengan mereka yang berada pada kondisi rentan secara ekonomi. Etika
keadilan yang menjadi navigasi kebijakan adalah bahwa bagi mereka yang mampu,
terutama kalangan mampu dari sektor bisnis, sudah seharusnya membayar vaksin
untuk mencegah penyebaran virus Covid-19, dan fasilitas vaksinasi gratis
diberikan sepenuhnya untuk memenuhi hak-hak kesehatan dari warga yang kurang
mampu. Apabila
kalangan yang memiliki kemakmuran lebih mengambil opsi vaksinasi gotong
royong, mereka sudah menunjukkan sikap solidaritasnya, dengan memberikan
fasilitas vaksin gratis kepada saudaranya warga negara yang kurang beruntung. Informasi
terkini mengabarkan, sejak Desember 2020 sampai saat ini pemerintah telah
mendatangkan sekitar 370 juta dosis vaksin dan masih berusaha mendapatkan
tambahan pasokan vaksin hingga mencapai total 430 juta dosis. Sementara
estimasi anggaran untuk program distribusi vaksin, menurut Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati, lebih dari Rp 74 triliun. Apabila
kita mempertimbangkan navigasi alokasi sumber daya secara tepat, anggaran
dapat dialokasikan kepada program lain yang tidak kalah mendesaknya, seperti
meredistribusikan lebih masif program swab test kepada seluruh lapisan
masyarakat dan membentuk infrastruktur untuk perawatan pasien Covid-19 di
berbagai wilayah Nusantara. Kalkulasi
di atas berlaku dengan syarat vaksinasi gratis harus berkualitas dan
pelaksanaannya segera dan merata. Reorientasi ekonomi Ketika
kita menghadapi gempuran Covid-19, daya tahan kita sebagai bangsa diserang,
baik secara ekonomi maupun kesehatan secara simultan. Yang
harus dilakukan negara adalah menjaga agar kebijakan kesehatan dan ekonomi
saling menunjang satu sama lain. Sebagai
contoh, ketika warga menghadapi krisis kesehatan, kebijakan pembatasan sosial
warga yang dikedepankan harus mempertimbangkan juga kekuatan logistik pangan
dan sebarannya, di mana ini terkait dengan problem ekonomi. Untuk
mempertahankan sektor pertanian sebagai penopang ekonomi kerakyatan ataupun
penjaga ketahanan kesehatan warga dalam menghadapi krisis ekonomi, penting
bagi pemerintah menjaga ketahanan petani sekaligus mengintegrasikan arah
pertanian dalam rangkaian rantai ekonomi digital. Sektor ekonomi pertanian
dan ketahanan pangan, menurut data BPS 2020 kuartal ketiga, adalah sektor
ekonomi yang paling kuat. Meski
demikian, di sejumlah tempat, petani tomat di Boyolali, petani gabah padi di
Buton (Sulawesi Selatan), petani cabai di lereng Merapi, dan nelayan di
Lamongan, tidak luput dari krisis akibat terhentinya serapan pasar dan
rendahnya nilai jual. Formulasi
kebijakan negara terkait dengan hal itu, selain memberikan bantuan modal dan
keringanan angsuran kredit, juga mempertimbangkan agar ekonomi pasar dapat
berfungsi membantu yang lemah. Rangkaian kebijakan yang terencana dan
transparan berbasis teknologi digital dan maksimalisasi kolaborasi berbasis
governance menjadi kunci. Ilustrasi
dari kebijakan seperti ini, seperti penyiapan lumbung pangan untuk
menghubungkan rangkaian suplai kebutuhan pokok (supply chain) dan permintaan
warga yang dibangun dengan koordinasi pemerintah pusat dan daerah maupun
kolaborasi sektor publik dan privat (public private partnership), akan
menjadi kunci pemulihan ekonomi yang sejalan dengan agenda pertahanan
kesehatan warga. Pada
akhirnya segenap rangkaian kebijakan untuk menangani problem ketahanan
kesehatan dan ekonomi bangsa menegaskan bahwa baik kesehatan maupun ekonomi
adalah ibarat dua sisi dari satu koin mata uang yang sama. Rangkaian
kebijakan yang menjaga keseimbangan kesehatan dan ekonomi pertama-tama
ditujukan untuk merawat kepercayaan warga. Keberhasilannya
ditentukan oleh dua prasyarat, yakni hadirnya kepemimpinan yang sigap dan
tahan banting dalam merumuskan berbagai kebijakan dan teratasinya kondisi
problematik ekonomi-politik kita, yakni pembajakan ekonomi rente dalam rantai
kebijakan bernegara. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/28/mendayung-di-antara-kesehatan-dan-ekonomi/ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar