Senin, 23 Agustus 2021

 

Negeri Berkomorbid

Hasibullah Satrawi ;  Warga NU, Pengamat Terorisme dan Politik Timur Tengah

KOMPAS, 19 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ibarat kaca benggala, pandemi Covid-19 memperlihatkan dengan jelas kondisi suatu negara, termasuk Indonesia, baik kondisi di jajaran pemerintah maupun di kalangan masyarakat secara umum. Kaca benggala dimaksud dalam tulisan ini tidak seperti dalam kisah Rahwana yang digunakan untuk menangkis sekaligus menyerang balik musuhnya, melainkan dimaksudkan untuk memperlihatkan secara jelas kondisi bangsa yang ada.

 

Dalam pantulan kaca benggala Covid-19 terlihat jelas ada sebagian penyelenggara negara yang tetap mencari kesempatan untuk korupsi, menajamkan hukum atas lawan-lawannya, menumpulkan hukum atas sejawatnya, dan menjalankan tugas dengan semangat ”yang penting bapak senang” daripada menjalankan tugas untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

 

Dalam pantulan kaca benggala Covid-19 terlihat jelas sebagian masyarakat tidak (mau) percaya terkait keberadaan Covid-19, tidak (mau) dikasih tahu, tidak (mau) patuh kepada pemerintah, tidak (mau) memahami dan menggunakan agama untuk kebaikan sesama, dan tidak (mau) berbagi untung dalam pengelolaan ekonomi secara lebih adil. Bahkan, sebagian masyarakat menggunakan keadaan pandemi untuk memperdagangkan kebohongan. Lebih parah lagi, dengan adanya sosial media yang tak terbatas, semua hal di atas bercampur aduk menjadi satu meracuni kehidupan sosial media juga kehidupan nyata kita semua.

 

Menurut para dokter dan epidemiolog, keberadaan penyakit penyerta (komorbid) dalam diri orang yang terkena Covid-19 membuatnya mengalami kondisi parah bahkan acap tak tertolong. Dalam pantulan kaca benggala Covid-19, rupanya hal ini juga terjadi dalam konteks negara.

 

Dengan kata lain, hampir tak ada negara saat ini yang tak terkena Covid-19. Keberadaan penyakit penyerta dalam suatu negara sangat menentukan bagi kedalaman dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19, termasuk lama-tidaknya proses penyembuhan. Dalam pantulan kaca benggala Covid-19 tampak terlihat Indonesia adalah negeri berkomorbid yang sangat parah dan harus morat-marit gara-gara Covid-19. Tidak ada yang tahu semua ini akan berlangsung sampai kapan.

 

Tidak amanah

 

Kalau menggunakan pandangan Ibnu Taymiyah terkait kehidupan bernegara, ada dua indikator yang bisa digunakan untuk mengukur sehat dan tidaknya suatu bangsa. Satu indikator untuk pemerintah dan penyelenggara negara sebagai pihak yang memimpin. Sementara satu indikator lain untuk masyarakat umum sebagai pihak yang dipimpin.

 

Indikator untuk pemerintah dan penyelenggara negara adalah amanah, tepercaya. Sementara instrumen untuk masyarakat adalah taat, patuh (As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlâhi Ar-Râ’îy wa Ara’iyah). Dengan demikian, negara yang sehat adalah apabila pemerintah atau penyelenggara negaranya bersikap amanah dan dipatuhi oleh rakyat.

 

Dalam hemat penulis, dua indikator di atas bisa digunakan untuk melihat sejauh mana kondisi penyakit penyerta yang dialami oleh bangsa ini. Di tataran pemerintah dan penyelenggara negara, korupsi masih menjadi persoalan yang sangat serius. Bahkan, kondisinya lebih serius dari zaman-zaman sebelumnya.

 

Dikatakan demikian, bukan karena korupsi masih terjadi hingga hari ini, termasuk di lingkaran lembaga terkait dengan penanggulangan Covid-19, melainkan juga karena Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang paling dipercaya oleh masyarakat selama ini justru dibuat tidak berdaya. Karena satu dan lain hal, kondisi KPK yang seperti ini pun tak mampu mengundang masyarakat datang ke gedung KPK untuk membelanya seperti pada masa-masa terdahulu.

 

Kondisi yang tak kalah berat terjadi dalam penegakan hukum yang oleh sebagian pihak dirasa tidak adil; hanya tajam kepada mereka yang dianggap kritis terhadap pemerintah, tapi tumpul kepada pemerintah maupun pendukungnya.

 

Berikutnya adalah kultur birokrasi. Kondisi birokrasi rupanya masih belum banyak berubah semenjak era-era terdahulu. Kultur birokrasi kita masih ”yang penting bapak senang”, bukan birokrasi yang cerdas bahkan kritis. Sebagai contoh, ketika Bapak Presiden memasang target tertentu yang harus dipenuhi terkait vaksinasi, hampir seluruh organ birokrasi bergerak secara ”gelap pikiran”; yang terpenting angka yang ditetapkan oleh Bapak Presiden terpenuhi.

 

Maka, terjadilah kerumunan yang disebabkan vaksinasi, maka terjadilah intimidasi atau menakut-nakuti atas nama vaksinasi (kalau tidak ikut vaksinasi tidak akan dapat bantuan). Padahal, vaksinasi ditujukan untuk melindungi masyarakat dari Covid-19 yang mengharamkan adanya kerumunan. Padahal, bantuan dimaksudkan untuk meringankan beban masyarakat akibat Covid-19. Tapi, birokrasi yang gelap pikir membuat kepala menjadi kaki dan kaki menjadi kepala.

 

Semua kondisi di atas membuat pemerintah dan pengelola negara terlihat tidak amanah. Alih-alih kebijakannya diikuti, sebagian masyarakat justru menganggap Covid-19 hanya sebagai alasan untuk menggelontorkan uang negara. Semua ini membuat persoalan Covid-19 semakin menjadi-jadi menyebar hampir ke seluruh pelosok negeri.

 

Tidak taat

 

Sementara dalam kehidupan masyarakat luas sangat jelas adanya ketidaktaatan sebagian masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya terkait dengan penanganan Covid-19. Namun demikian, sejauh ini sikap ketidaktaatan yang ada tidak ditunjukkan dalam bentuk aksi-aksi jalanan ataupun demonstrasi.

 

Sebagai contoh, walaupun PPKM darurat dan PPKM level 4 terus diperpanjang, nyatanya jalanan terlihat semakin ramai dari hari ke hari, khususnya di perkotaan. Bahkan, di saat pemerintah memberikan ketentuan makan di warung hanya 20 menit, tetap banyak warung makan yang ramai entah sampai berapa menit pengunjungnya makan di tempat.

 

Di luar hal-hal yang dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara negara sebagaimana di atas, ada banyak hal lain yang turut membentuk sikap ketidaktaatan sebagian masyarakat. Salah satunya adalah kondisi ekonomi yang memaksa seseorang keluar dari rumah, bahkan melanggar aturan yang ada.

 

Sementara di sisi lain, beberapa pemilik usaha tidak memperhatikan kondisi bawahannya (terkait ancaman Covid-19) untuk mengejar keuntungan yang ada. Hingga tetap membuka kantor atau usahanya walaupun pemerintah sudah menetapkan ketentuan WFH sampai 100 persen. Ujung dari persoalan ini adalah pemerataan ekonomi yang belum ketahuan rimbanya di Indonesia.

 

Faktor lain adalah pendidikan yang belum merata di kalangan masyarakat luas. Tentu pendidikan dimaksud tidak hanya dalam arti formal mengingat pendidikan dalam arti formal saat ini mulai mengalami penguatan, walaupun mungkin tujuannya untuk kenaikan pangkat, jabatan, atau sekadar tunjangan.

 

Hal yang harus ditekankan justru pendidikan dalam arti kebudayaan sebagaimana diuraikan dengan sangat baik oleh Yudi Latif (Pendidikan yang Berkebudayaan, 2020). Pendidikan dalam arti seperti ini diharapkan mampu menempa seseorang untuk mengalami apa yang disebut oleh Yudi Latif sebagai proses olah pikir, olah rasa, olah karsa, dan olah raga (146-158).

 

Hal yang tak kalah penting adalah pola keberagamaan sebagian masyarakat yang masih bercorak teosentris daripada antroposentris, lebih menekankan pada kesalehan individual daripada kesalehan sosial, lebih mengedepankan kepentingan/keselamatan pribadi daripada kepentingan/keselamatan bersama. Inilah yang membuat tempat-tempat ibadah tetap ramai walaupun sudah ada aturan cukup detail dari pemerintah.

 

Persoalan lain adalah kebohongan. Hal ini masih menjadi persoalan yang sangat serius seperti terlihat dalam kasus rekayasa hasil tes Covid-19. Bahkan, hasil tes palsu ini diperdagangkan yang sama artinya dengan memperdagangkan kebohongan dan keselamatan bersama. Belakangan program vaksinasi pun dikotori oleh oknum tertentu dengan vaksin kosong yang juga berarti kebohongan.

 

Pada akhirnya, perkembangan teknologi dan kebebasan informasi yang ada seperti sekarang ikut membuat keburukan-keburukan yang ada menyebar secara lebih cepat tanpa bisa dikontrol. Maka, persoalan pandemi pun terus menjadi kontroversi bahkan pembelah masyarakat antara yang percaya dan tidak percaya.

 

Kasus kematian dan orang sakit memang dialami oleh banyak pihak, baik di kalangan mereka yang percaya maupun mereka yang tidak percaya terhadap Covid-19. Mereka yang percaya menyebutnya kondisi itu sebagai bukti keberadaan Covid-19. Sementara mereka yang tidak percaya menyebutnya sebagai penyakit dan kematian biasa; toh sebelum ada Covid-19 juga banyak orang sakit, sebagaimana sebelum ada Covid-19 juga banyak orang meninggal.

 

Inilah yang membuat Covid-19 menyebar ke seluruh pelosok, termasuk di kampung-kampung yang sinyal internetnya tidak merata sekalipun. Tiba-tiba banyak orang, tetangga, dan keluarga yang sakit bahkan meninggal. Tapi masyarakat tetap terbelah; ada yang sakit bahkan mati dalam kesendirian (lingkungan prokes). Tapi ada yang sakit bahkan meninggal dengan tetap diramai-ramai, walaupun sangat jelas ada indikasi Covid-19.

 

Demikianlah, Covid-19 nyaris mengambil semuanya dari negeri ini. Sangat beruntung, bangsa ini meyakini bahwa kematian berada di tangan Tuhan, bukan di tangan penyakit mana pun. Sangat beruntung bangsa ini memiliki ”mantra sakti” yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu atas berkat rahmat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.

 

Sejauh ini berkat dan rahmat Allah selalu menyelamatkan bangsa ini dari kondisi paling kritis sekalipun. Semoga berkat dan rahmat Allah kali ini mengarahkan pemerintah dan jajaran penyelenggara negara untuk menjalankan semuanya secara lebih amanah. Semoga berkat dan rahmat Allah kali ini mengarahkan masyarakat luas untuk taat dan patuh kepada pemerintah, khususnya terkait dengan protokol kesehatan. ●

 

Sumber :  https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/negeri-berkomorbid/

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar