Menyiasati
Habitus Kekerasan di Penjara Anak Bagong Suyanto ; Guru Besar dan Dosen Sosiologi Anak di FISIP
Universitas Airlangga |
KOMPAS, 31 Juli 2021
Keterlibatan
anak dalam berbagai kasus pelanggaran hukum dalam beberapa tahun terakhir ada
indikasi semakin marak. Di berbagai media massa dilaporkan, anak tak hanya
menjadi korban atau sasaran tindak kejahatan, tetapi tak sedikit juga menjadi
pelaku tindak kejahatan. Menurut
data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada 2011 telah terjadi 2.178
kasus anak yang berkonflik dengan hukum, tahun 2014 5.066 kasus, dan tahun
2015 paling tidak 6.006 kasus. Sejak
2011 sampai 2019, jumlah kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dilaporkan
ke KPAI mencapai 11.492 kasus, jauh lebih tinggi daripada laporan kasus anak
terjerat masalah kesehatan dan napza (2.820 kasus), pornografi dan kejahatan
siber (3.323 kasus), serta trafficking dan eksploitasi (2.156 kasus). Mengacu
pada UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud
dengan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berusia 12
tahun, tetapi belum berusia 18 tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak yang berkonflik dengan hukum sudah barang tentu akan menerima dan
menjalani hukuman kurungan di penjara anak. Diskursus berkembang Di
mata Michel Foucault, di lingkungan penjara mana pun niscaya akan muncul dan
berkembang wacana yang khas, yang merefleksikan siapa sebenarnya kelompok
dominan yang berkuasa. Kode etik yang berkembang di penjara bukan semata
menjadi aturan yang mengikat semua pihak, melainkan di balik itu mencerminkan
siapa yang berkuasa di balik pemberlakuan sebuah kode etik. Berbeda
dengan habitat lain yang terbuka, seperti di sebuah komunitas atau tempat
kerja, misalnya, di penjara yang merupakan total institution, kode etik yang
berkembang dan dikembangkan sering kali khas menggambarkan apa sebetulnya
yang terjadi di penjara. Di
tengah habitus lingkungan penjara yang tertutup, kemungkinan anak untuk
meminta bantuan dari luar memang tak ada. Jadi, sebagai institusi yang
tertutup, lingkungan penjara memiliki kode etik tersendiri yang dijunjung
tinggi anak-anak yang tinggal di sana. Beberapa
nilai yang mewarnai dan ditegakkan di lingkungan penjara, yang paling utama
adalah kesetiakawanan (87 persen) dan tak boleh jadi pengkhianat (66,5
persen). Anak-anak dituntut mampu menjaga solidaritas kelompoknya dan tidak
mengkhianati satu dengan yang lain. Mereka
yang mencoba berkhianat niscaya akan dikucilkan dan bukan tak mungkin menjadi
sasaran bullying atau tindak kekerasan dari sesamanya. Anak-anak di
lingkungan penjara umumnya menyadari mereka bagian dari anak-anak yang nakal,
bahkan terlibat dalam tindakan kriminal. Menghormati
narapidana (napi) anak yang lebih senior juga menjadi nilai yang dijunjung
tinggi oleh sebagian besar anak yang berkonflik dengan hukum. Sebanyak 54,1
persen responden napi anak menerima bahwa napi senior harus dihormati. Mereka
sadar sebaiknya tak mencari gara-gara dengan sesama penghuni penjara lain
agar tak menjadi sasaran pengucilan dan tindak kekerasan napi anak lain. Sepanjang
situasi berjalan normal, anak-anak selalu berusaha menghormati napi anak yang
sudah senior. Namun, bukan berarti mereka akan diam dan pasrah ketika ada
napi anak senior yang berbuat ulah. Kode etik yang berlaku di kalangan anak
yang berkonflik dengan hukum adalah, ”mereka jual, kita beli”. Artinya, jika
ada yang mencari gara-gara, mereka tak segan untuk melawan. Selama
ini, ketika melanggar kode etik yang berlaku, sebagian besar (37,9 persen)
diberi sanksi lain, atau ditegur (23,6 persen). Namun, tak jarang mereka yang
dinilai telah melanggar kode etik akan dihajar (26,1 persen) agar tak
mengulang kesalahan yang sama. Mekanisme adaptasi dan kohesi sosial Anak-anak
yang menjalani hukuman di penjara bukan saja harus tercerabut dari akar
budaya dan habitus keluarganya, melainkan juga harus bisa beradaptasi dengan
kehidupan serba baru di penjara. Kemampuan dan mekanisme adaptasi yang
dikembangkan anak-anak selama di penjara sudah tentu tidak mudah karena
bagaimanapun penjara adalah habitus yang keras, di mana senioritas dan
dominasi sipir sangat menonjol. Sebagian
besar anak-anak yang berkonflik dengan hukum umumnya berusaha menyelesaikan
sendiri masalah yang mereka hadapi. Hanya sebagian kecil yang bersikap pasrah
dan berusaha mencari perlindungan ke kelompoknya. Mencari
perlindungan pada kelompok bukanlah jalan keluar yang menguntungkan karena
itu akan menjadikan mereka sapi perahan bagi kelompoknya, dan tidak akan
menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Cara paling efektif agar tidak
terus-menerus di-bully, dipalak, atau menjadi korban tindakan subordinasi
adalah dengan berusaha mengatasinya secara mandiri, bersikap taktis, dan
beradaptasi dengan situasi yang ada. Resosialisasi Untuk
mencegah agar anak-anak tidak terus-menerus menjadi korban tindak kekerasan
di penjara, selain dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat dari petugas
penjara, yang tak kalah penting adalah meresosialisasi anak-anak di
lingkungan penjara agar tidak terbiasa dengan budaya kekerasan dan penundukan
terhadap anak baru atau anak yang secara sosial lebih lemah. Di
lingkungan penjara perlu dikembangkan kegiatan yang memfasilitasi peluang
anak mengenal satu dengan yang lain secara personal, di samping
kegiatan-kegiatan yang fungsional menumbuhkembangkan kohesi sosial di antara
mereka. Aktivitas inisiasi yang biasanya dikembangkan napi senior kepada
anak-anak baru perlu diawasi secara khusus. Subkultur sikap superioritas
anak-anak tertentu di lingkungan penjara perlu dikikis dan diarahkan untuk
kepentingan yang positif. Untuk
memastikan agar mereka tidak makin mengembangkan diri sebagai sosok-sosok
yang terbiasa menerima dan melakukan tindak kekerasan sebagai instrumen
meraih tujuannya, mata rantai tindak kekerasan yang mereka alami dan lakukan
perlu diputus. Dalam konteks ini, counter culture kepada hal-hal yang
mendukung perdamaian perlu diresosialisasikan kepada anak-anak yang
berkonflik dengan hukum. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar