Kembali
Berharap Darmawati MR ; Penulis dan Peneliti pada Kantor Bahasa
Provinsi Gorontalo, Kemdikbudristek |
KOMPAS, 15 Agustus 2021
Ada
satu kata yang diperbincangkan warganet yang relevan dengan keadaan hari ini,
respair. Kata itu berarti ‘harapan
baru’; ‘pulih dari keputusasaan’. Kata itu sudah lama lenyap dari kamus
Oxford English Dictionary, terakhir tercatat pada tahun 1425. Sebuah artikel
di The Economist, bertajuk Why Words Die, edisi 4 Maret 2017
mencatat kematian kata respair,
bersama kata suppeditate, mee-maw, to
wend, papaw, roetgenogram, dan radiogram. Kata
respairs kembali ditawarkan untuk
merespons kekalangkabutan pemerintah dan masyarakat terkait penanggulangan
pandemi Covid-19 di Indonesia. Selain peraihan medali emas oleh pasangan
ganda putri Indonesia, Greysia Polii dan Apriyani Rahayudi pada Olimpiade
Tokyo 2 Agustus lalu, sepertinya tak ada lagi hal lain yang menggembirakan
akhir-akhir ini. Semua peristiwa yang disajikan di depan mata mendesak kita
berada pada puncak kekecewaan. Setiap orang kini berdiri di ambang batas
kesabaran masing-masing. Kejadian kecil akan mudah meletupkan amarah, membuat
kita mudah menyemburkan cacian kepada siapa saja. Di
Twitter, kita mudah menjumpai banyak cuitan semacam itu, cuitan bernada
keputusasan, kecemasan akut, juga kecurigaan. Mencaci negara dan pejabat
pemerintah yang dianggap bertanggung jawab terhadap semua ini seperti tak
berguna lagi, seumpama membentur tembok tebal tak bertelinga. Kita tak tahu
harus marah kepada siapa. Kekacauan seperti tak terhindarkan lagi. Rumah
sakit terus kelebihan pasien, lahan pemakaman semakin langka, sementara kurva
statistik Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan melandai. Harus berapa
lagi orang yang mati? Saya
tiba-tiba mengingat bencana asap setiap tahun yang menimpa warga di
Kalimantan Tengah saat saya bertugas di sana. Rasanya sama. Kemuakan yang
sama. Keputusasaan yang serupa. Namun, di ujung keputusasaan itu, tebersit
sedikit sekali harapan, keadaan akan segera membaik, lalu semua kembali
normal seperti sediakala. Respair
tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Dalam tesaurus pun tidak ada
kata yang mendekati makna kata itu. Ada kata angan-angan, cita-cita, dambaan,
hasrat, impian, dan kehendak. Tidak ada konsep yang tepat untuk menggambarkan
bagaimana rasanya punya harapan baru setelah putus asa berkepanjangan. Barangkali
memang dari dulu kita adalah bangsa yang selalu berpasrah, menyerahkan nasib
pada kata “apa boleh buat?”. Konsep never give up atau don’t give up hope
(jangan menyerah) tidak tertanam dalam kepala orang Indonesia. Kita telanjur
dibesarkan dalam budaya yang nrimo, nggak neko-neko, apa yang terjadi sudah
digariskan Tuhan, jangan melawan arus, dsb. Bayangan
bahwa pada akhirnya kita terpaksa bersahabat dengan virus korona serta
variannya dan menyerahkan segalanya pada daya tahan tubuh rasanya mengerikan.
Membaca cuitan-cuitan keputusaan berselang-seling dengan kabar duka yang
menyeruak di percakapan grup WhatsApp setiap hari juga tak kalah mengerikan.
Wabah dan kelaparan menjadi dua hal yang akrab. Kembali berharap adalah
sebuah pekerjaan sia-sia. Mahkluk kuat Akan
tetapi, konon, manusia adalah mahluk yang kuat. Manusia selalu bisa bangkit
dari kekalahan dan kondisi buruk sekalipun. Tetapi, itu tentu saja bisa
terjadi jika saja spesies manusia masih bertahan setelah hantaman wabah ini,
sebagaimana pepatah sok bijak berkata, badai pasti berlalu. Kematian
satu kata adalah hal wajar, apalagi jika kata tersebut memiliki sinonim, dan
sinonimnya lebih disukai pengguna bahasa itu. Satu kata punah dari jajaran
kosakata sebuah bahasa, akan diganti dengan puluhan kata baru. Bagaimana pun,
bahasa adalah persoalan selera. Kata sangkil dan mangkus sebagai sinonim
efektif dan efisien adalah salah satu contoh yang tepat mengenai prinsip mana
suka itu. Dalam
KBBI V, jika Anda memperhatikan, ada lema yang didahului dengan kata ark.
pada keterangan arti katanya. Singkatan itu merujuk pada kata-kata arkais,
kata-kata yang tidak lagi lazim digunakan pada zaman sekarang. Ambil contoh
kata: jongos. Selain jongos, generasi milenial barangkali takkan mengenal
kata pagebluk, sebelum Covid-19 melanda Indonesia. Respair
diperkirakan akan menjadi Kata Tahun Ini oleh warganet. Barangkali benar,
setiap orang perlu pulih dari keputusasaan. Belajar percaya lagi pada
kekuatan harapan. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/kembali-berharap |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar