Kepingan
Keindonesiaan Max Regus ; Dekan FKIP Unika Santu Paulus Ruteng,
Flores, NTT |
KOMPAS, 16 Agustus 2021
Indonesia
memasuki usia 76 tahun. Dia lahir dari kerelaan sosial dan pengorbanan
politik tak ternilai. Dia tumbuh dengan cara mengumpulkan, bukan menceraikan.
Dia hadir dengan mengajak, bukan mengecualikan. Setiap komunitas, baik suku,
agama, bahasa, bahkan setiap warga adalah kepingan sahih dari kisah keutuhan
keindonesiaan kita. Para bapak pendiri bangsa (founding fathers) sudah
menegaskan kenyataan sejarah ini. Sejak
awal, Indonesia muncul sebagai sulaman atas kepingan-kepingan kepelbagaian
sosial-politik. Dengan itu, kesatuan kita tak pernah monolitik. Dia
memancarkan keindahan keragaman. Ini mesti jadi ingatan sejarah terpenting
kita. Dan, keterarahan pada ingatan ini niscaya mengalirkan tanggung jawab
sosial-politik bersama. Paradoks sosial-politik Kita
memang tahu satu hal bahwa keindonesiaan kita adalah sebuah negosiasi
kepentingan sekaligus perjuangan yang melampaui kepentingan partikularistik.
Berangkat dari sudut pandang kekinian, kita masih berada dalam kerasnya
proses pembangunan negara-bangsa. Pembangunan
dan penciptaan kembali identitas nasional tetap jadi isu hangat bahkan
pertarungan yang hidup di Indonesia. Geliat proses ini sesungguhnya terikat
erat pada segenap usaha membangun Indonesia yang kian adil, demokratis, dan
manusiawi. Pemikir
Juan J Linz (1993), mengingatkan kita dilema dan jebakan pembangunan
negara-bangsa modern. Singkatnya, kita sedang menemukan kesulitan bagaimana
nilai-nilai agung kebangsaan nampak dalam tindakan politik negara. Sebaliknya,
ikhtiar kebangsaan belum cukup solid jadi wadah negara dalam pelembagaan
nilai-nilai keindonesiaan. Kita mendapati kenyataan orang-orang semakin sulit
hidup berbaur. Peminggiran sosial-politik terhadap kelompok-kelompok lemah
menjadi kisah murah sehari-hari. Pada
penampang semacam itu, kita masih terus melewati tikungan-tikungan maut di
ranah politik dan sosial. Keindonesiaan kita sebagai kristalisasi pembangunan
negara-bangsa kian sering memperlihatkan paradoks sosial-politik. Negara
sebagai bagian dari institusionalisasi nilai-nilai demokrasi tak hadir
sebagai pendukung inklusivitas sosial. Demokrasi kemudian berhadapan dengan
kecenderungan homogenisasi plus hegemonisasi sosial-politik yang meremukkan
kepingan-kepingan kecil keragaman sebagai entitas keindonesiaan kita. Kita
memang tak sedang berada dalam cangkang romantisme masa lalu. Pada kenyataannya,
sebagaimana bangsa lain (Dinnen, 2007), kita berhadapan dengan dua sisi
panggilan. Pertama, panggilan politik. Aspek ini merujuk langsung pada
pembangunan negara agar dapat berfungsi sesuai tujuan asasinya. Dimensi
ini berkait erat pada konsistensi dan inti pemihakan Indonesia sebagai negara
modern. Pembangunan negara, dengan fokus pada penguatan lembaga-lembaga
kunci, mesti bermuara pada kemampuan menjamin layanan dasar bagi warga. Kedua,
panggilan sosial. Aspek ini mengacu pada makna yang lebih luas. Sisi ini
berhubungan dengan pengembangan rasa kebersamaan Indonesia sebagai suatu
bangsa. Ikatan ini niscaya mengalir langsung pada ruang kewargaan dalam suatu
wadah komunitas sosial-politik. Di
titik ini, sementara negara juga memiliki peran kunci, pembangunan bangsa
sesungguhnya membutuhkan mobilisasi berbagai pemangku kepentingan. Dua
simpul panggilan ini salah satunya menuju pembangunan identitas nasional.
Namun, kita juga mesti sadar, kemajuan pembangunan negara-bangsa kita tak
boleh dianggap unilinear. Artinya, tak boleh ada komunitas yang secara
sengaja dipaksa memberi jalan atau tunduk pada pengucilan sosial-politik demi
kepentingan kekuatan dominan. Risiko
konstruktifnya, kita seharusnya berani membuka diri semakin dewasa dalam proses
interaksi terbuka dan adil, meski jalan itu mungkin jauh lebih menantang.
Arus ini mesti dilewati karena dinamika ini kian berkembang di antara
segmen-segmen sosial politik baru—misalnya yang muncul dari digitalisme
demokrasi. Cetak biru keindonesiaan Dengan
ingatan akan dua sisi panggilan ini, kita mesti menatap keindonesiaan sebagai
cetak biru sosial-politik kita (bdk. Grotenhuis, 2016). Keindonesiaan adalah
bagian dari kanalisasi kerinduan bersama mencecap kesejahteraan sosial. Pesannya,
fragmentarisme pembangunan negara-bangsa tak pernah boleh jadi bagian dari
proses ini. Sebab, setiap elemen bangsa niscaya menggenggam hak yang sama
untuk menyuntikkan nilai-nilai agung ke dalam ruang keindonesiaan. Dari
perspektif ini, kita juga kemudian bersua dengan kesadaran bahwa pembangunan
negara-bangsa bukan proses teknis yang terpisah dari mimpi-mimpi terdalam dan
terbaik dari setiap anak bangsa. Kita
perlu menaruh perjalanan pembangunan keindonesiaan kita sesuai maksud dan
titik mula kehadirannya. Peniadaan satu kepingan sosial-politik adalah sebuah
tabrakan yang menghancurkan keindonesiaan kita. Seharusnya ini tak akan lagi
mencuat sebagai tragedi keindonesiaan pada usianya yang semakin lanjut. ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/16/kepingan-keindonesiaan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar