Konfrontasi
Hegemoni Majalah Horison S Prasetyo Utomo ; Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa
Unnes Semarang |
KOMPAS, 15 Agustus 2021
Penampilan
majalah sastra Horison edisi khusus 55 tahun (1966-2021) yang dicetak pada
akhir bulan Juli 2021 menampilkan beberapa kejutan. Pertama, ternyata majalah
sastra ini masih menemui pembacanya dalam edisi cetak dengan tulisan-tulisan
yang berkualitas. Kedua, budaya literasi yang selama ini dikembangkan majalah
sastra ini tetap dipenuhi dengan kehadiran Kakilangit. Ketiga, Taufiq Ismail
menyentuh empati hegemoni kekuasaan kita ketika menulis esai pendek Awal Mula
Lahirnya Horison dengan mengisahkan kiprah majalah ini sebagai media utama
pengembangan sastra dan pemikiran sastra Indonesia. Wajah
majalah sastra Horison edisi khusus 55 tahun masih seperti edisi cetak
sebelumnya. Redaksi masih mempertahankan rubrik catatan kebudayaan, puisi,
cerpen, esai, kritik, obituari, dan Kakilangit. Sastrawan yang menyumbangkan
tulisannya pun dari generasi yang sudah sangat kita kenal dalam perkembangan
sejarah sastra Indonesia seperti Eka Budianta, Nenden Lilis A, Putu Wijaya,
Aslan Abidin, Ari Pahala Hutabarat, Wa Ode Wulan Ratna, Wayan Jengki Sunarta,
dan Yusri Fajar. Bahkan dihadirkan pula teks sastra Han Yong Un, penyair
Korea, dan Isaac Bashevis Singer, penulis kelahiran Polandia. Dalam
bahasa salah seorang redaksi, Joni Ariadinata, edisi cetak majalah sastra
Horison tetap diupayakan terbit, menandai bahwa “ia masih ada”. Meskipun
majalah sastra ini dicetak dalam jumlah yang terbatas, antusias masyarakat
untuk membacanya masih cukup banyak. Masyarakat pembaca merindukan majalah
sastra ini tetap terbit, dan memenuhi selera literasi mereka untuk
menikmatinya. Kualitas
tulisan yang dipublikasikan majalah sastra Horison dalam edisi khusus 55
tahun ini menjadi bagian yang diutamakan redaksi. Puisi, cerpen, esai,
kritik, obituari, dan Kakilangit yang dihadirkan merupakan tulisan terpilih.
Dihadirkan beberapa puisi balada yang panjang, dengan bahasa jernih,
menyingkap mitos dan menyusupkan spiritualitas yang kental, nikmat untuk
dibaca. Disajikan
empat cerpen, dan satu di antaranya ditulis Isaac Bashevis Singer. Diturunkan
tiga esai, yang salah satunya ditulis Taufiq Ismail berjudul Awal Mula
Lahirnya Horison. Ada satu kritik yang memikat, Jejak Pandemi dalam Puisi:
Meneroka Peradaban Baru Corona, ditulis Yusri Fajar. Dihadirkan obituari
Arief Budiman (Jamal D Rahman), Bur Rasuanto (Putu Wijaya), Umbu Landu Parangi
(Wayan Jengki Sunarta), Sapardi Djoko Damono (Sastri Sunarti Sweeney), Ajib
Rosidi (Joni Ariadinata), Toeti Heraty (Eka Budianta), dan Sori Siregar
(Mirza Ahmad). Rubrik Kakilangit hadir sebagaimana edisi majalah sastra ini
sebelumnya, berisi karya siswa berupa puisi dan cerpen yang disertai ulasan
redaksi. Kualitas
estetika berbagai ragam tulisan yang termuat dalam majalah sastra Horison
edisi khusus 55 tahun menunjukkan bahwa redaksi cukup tangguh berhadapan
dengan hegemoni kekuasaan yang menempatkan teks sastra sebagai karya
pinggiran. Redaksi ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya terjadi hubungan
timbal balik yang signifikan antara sastra dengan perkembangan kebudayaan.
Teks sastra memainkan peranan penting dalam pembentukan kebudayaan melalui
aspek etika dan estetika. Esai
Taufiq Ismail dalam Awal Mula Lahirnya
Horison memberikan gambaran kegigihan beberapa tokoh sastra menghadapi
hegemoni kekuasaan ketika majalah itu didirikan. Taufiq Ismail, Arief
Budiman, dan Ras Siregar memasuki rumah tahanan politik di Jalan Keagungan
menemui Mochtar Lubis, sastrawan yang sudah mendekam dalam tahanan Orde Lama
selama sembilan tahun tanpa proses pengadilan. Mereka
bertiga meminta Mochtar Lubis untuk mendirikan sebuah majalah sastra baru,
memimpinnya, dan mencarikan biayanya pula. Mochtar Lubis bersedia, dan
dibentuklah dewan redaksi: Mochtar Lubis, PK Oyong, Zaini, Arief Budiman, dan
Taufiq Ismail. Saya menandai pada mulanya majalah sastra Horison didirikan
dengan keberanian melakukan konfrontasi hegemoni kekuasaan. Sejak
itu majalah sastra Horison menjadi media utama pengembangan sastra Indonesia.
Hampir semua sastrawan Indonesia terkemuka lahir dari majalah ini, dan banyak
karya sastra penting pertama-tama diumumkan di majalah bulanan ini.
Eksperimentasi Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Danarto berkembang di
majalah ini. Selain itu, pemikiran di bidang sastra dan kebudayaan pada
umumnya banyak disiarkan melalui majalah ini. Dalam pandangan Taufiq Ismail,
sejak kelahirannya Horison merupakan barometer perkembangan sastra Indonesia
modern. Dalam
usia setengah abad majalah sastra Horison berhenti cetak, dan baru kali ini
dalam ulang tahun ke-55, muncul kembali dalam penerbitan yang ingin
mengembalikan pamornya sebagai media utama sastrawan Indonesia dan perkembangan
sastra Indonesia modern. Meskipun sesungguhnya, sudah sejak lama koran-koran
mengambil alih peran yang dilakukan majalah sastra Horison, yang menyebabkan
sastrawan dengan ekspresi kebaruan muncul di koran-koran. Begitu juga dengan
pemikiran-pemikiran sastra dan budaya mulai bermunculan dan bertebaran di
koran-koran dengan gagasan yang cemerlang. Perdebatan sastra kontekstual dan
revitalisasi sastra pedalaman, misalnya, berkembang di koran-koran dengan
intensitas pemikiran dan ketajaman gagasan. Ketika
penerbitan online (daring) mulai menjamur dan menyediakan ruang publikasi
karya sastra dan pemikiran-pemikiran berupa esai serta kritik sastra, para
sastrawan mulai melupakan peran majalah sastra Horison. Produktivitas menjadi
obsesi para sastrawan dan pengamat sastra untuk mengisi ruang sastra di media
online, bahkan kemudian mereka menerbitkan tulisan-tulisan terbaik dalam
bentuk buku. Kini
para sastrawan menerbitkan buku mereka secara indie, memasarkannya sendiri,
dan dalam jalan kreativitas yang lebih sederhana mereka turut serta dalam
persaingan perkembangan sejarah sastra Indonesia. Ketika sebuah lembaga
membuka kesempatan untuk memberi penghargaan karya terbaik, tidak sedikit
teks sastra indie muncul sebagai pemenang. Kini
telah runtuh pusat-pusat hegemoni estetika karya sastra, dan bertebaran ruang
kreativitas di seluruh pelosok wilayah Tanah Air, yang merebak dalam
konfrontasi yang saling menandingi. Tak ada lagi oposisi biner: “pusat”
estetika teks sastra dan “pinggiran” estetika teks sastra. Kemunculan
kembali majalah sastra Horison edisi khusus 55, menandakan konfrontasi
hegemoni estetika yang ingin dibangkitkan kembali para awak redaksi.
Setidaknya, mereka telah menghadapi krisis karena pemerintah menghindar untuk
ikut terlibat menghidupi majalah sastra ini. Dua hal yang ingin dicapai para
awak redaksi bahwa Horison menjadi media utama pengembangan sastra Indonesia
dan perkembangan pemikiran mengenai sastra Indonesia memang sudah banyak
direnggut koran-koran dan media online. Peran
majalah sastra Horison yang tak bisa diikuti koran-koran dan media online
yang bertebaran di Tanah Air, terutama keberadaan Kakilangit, ruang tempat
lahir dan berkembangnya para sastrawan muda. Mereka yang pernah mengisi ruang
Kakilangit dan kemudian tumbuh berkembang sebagai sastrawan atau pemerhati
sastra, berhutang budi pada majalah sastra Horison. Pada
sisi inilah kita layak berharap, majalah sastra Horison akan terus terbit
secara online maupun dalam bentuk cetak, sebagai sebuah upaya melahirkan
generasi baru sastrawan Indonesia di masa depan. Inilah peran konfrontasi
hegemoni terhadap ruang sastra koran dan media online, yang bersikukuh dengan
kriteria estetika yang telah mereka pancangkan. Mereka
tak memberi ruang bagi para calon sastrawan yang membutuhkan ruang publikasi
teks sastra. Untuk hal inilah Taufiq Ismail dan redaksi majalah sastra
Horison melakukan konfrontasi hegemoni terhadap kekuasaan yang mengabaikan
generasi muda memacu kreativitas dengan estetika. ● Sumber
: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/15/konfrontasi-hegemoni-majalah-horison |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar