Bom
Atom dan Kemerdekaan Indonesia Ahmad Syafii Maarif ; Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 |
REPUBLIKA, 3 Agustus 2021
Bulan Agustus, 76 tahun silam adalah akhir
Perang Dunia (PD) II, yang didahului ledakan bom atom. Sebenarnya, ada perbedaan pendapat yang tajam
antara panglima tertinggi sekutu di Eropa, Jenderal Dwight D Eisenhower
bersama beberapa perwira tinggi tentara AS dan Presiden Harry S Truman, dalam
menentukan sikap terhadap Jepang untuk mengakhiri perang pada Agustus 1945. Bagi Truman, Jepang harus segera dilumpuhkan
dengan bom atom yang kemudian dijatuhkan pada 6 Agustus 1945 di Hiroshima dan
9 Agustus 1945 disusul ledakan kedua di Nagasaki. Dua kota itu luluh
berantakan, meninggalkan abu radio aktif yang sangat berbahaya. Jepang dihajar dengan bom nuklir pertama kali
dalam sejarah umat manusia. Dalam perhitungan Jenderal Eisenhower, Jepang
akan segera bertekuk lutut tanpa dibom sekalipun. Karena yang berkuasa Truman, usul Eisenhower
dan koleganya tak berlaku, padahal didasarkan kajian di medan perang yang
akurat. Jepang waktu itu sudah kehabisan napas untuk meneruskan perang dunia
yang telah membunuh manusia 62.537.400, militer dan sipil. Rakyat Indonesia yang mati akibat perang cukup
tinggi, yaitu 4 juta. Korban kematian rakyat Jepang 2.600.000: militer 2 juta
dan sipil 600 ribu. Sedangkan AS hanya 418.500, yakni militer 407.300 dan sipil 11.200 orang. Angka kematian tertinggi diderita Cina
sebanyak 10 juta: sipil 7 juta, sedangkan militer 3 juta. Karena tulisan ini
bukan untuk mengulas PD II, kita cukupkan dengan menuliskan angka-angka
korban yang dibatasi pada empat negara itu saja. Apa kaitannya antara bom atom dan proklamasi
kemerdekaan Indonesia? Bahwa Indonesia pasti merdeka pada suatu saat yang
tidak terlalu lama, sudah diperkirakan Bung Hatta dalam pidato pembelaannya
di depan pengadilan Den Haag pada 28 Maret 1928. Maka itu, ledakan bom atom di Jepang seperti
disebut di atas, hanyalah mempercepat proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus
1945, yang memang sudah dirintis sejak abad ke-19 berupa perang-perang
sporadis, yang dilancarkan para patriot nusantara. Perjuangan kemerdekaan itu semakin
terorganisasi dengan baik pada abad ke-20, yang dipelopori pergerakan
nasional Indonesia. Setelah penjajah Belanda diusir secara hina
tanpa perlawanan oleh pasukan Jepang pada Maret 1942, Indonesia untuk 3,5
tahun ke depan punya bos baru: si mata sipit yang tidak kurang kejamnya
terhadap rakyat di kepulauan ini. Ingat, romusha (pengiriman puluhan ribu pemuda
dari Jawa untuk kerja paksa di luar Jawa) dimulai pada 1943 oleh penguasa
Jepang. Seusai perang, hanya sebagian kecil pemuda kita itu yang selamat
kembali ke kampung halamannya. Sejumlah besar telah hilang selama kerja paksa
itu dalam keadaan sangat kurus kering. Juga praktik iyanfu (gadis-gadis
sejumlah negara, termasuk Indonesia, dijadikan perbudakan seks oleh tentara
pendudukan Jepang) sampai hari ini belum terbongkar seluruhnya. Tentara mata sipit ini sungguh tak punya rasa
kemanusiaan sama sekali saat memerkosa perempuan negeri taklukannya. Sisa
mantan iyanfu ini sekarang berusia sangat lanjut, sebagian masih sempat
menuturkan penderitaannya sebagai budak seks tentara Jepang itu. Sayang, Pemerintah Jepang dan Indonesia sampai
hari ini tak serius mengurus perempuan bernasib sangat malang ini. Nasib
rakyat terjajah memang sangat memelas, bergerak dari penderitaan satu ke
penderitaan lain dalam mata rantai yang panjang. Karena itu, kemerdekaan bangsa punya nilai sangat
tinggi dan mulia. Sekalipun Jepang sudah kalah, proses deklarasi kemerdekaan
Indonesia tidak mulus. Terjadi pertentangan politik domestik antara golongan
pemuda dan golongan tua Sukarno-Hatta. Pemuda menilai, golongan tua tidak
revolusioner untuk segera menyatakan kemerdekaan. Peristiwa Rengasdengklok berupa penculikan
golongan pemuda terhadap Sukarno-Hatta pada pertengahan Agustus 1945 adalah
bagian menyatu dengan derap revolusi Indonesia, yang kadang-kadang tidak
terkendali itu. Bentakan Sukarno terhadap ancaman pemuda
Wikana sebelum penculikan adalah bukti gesekan tajam antara dua pendapat
berbeda itu. Golongan pemuda memaksa Bung Karno segera menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Inilah kesaksian Bung Hatta: Mendengar ancaman
itu Sukarno naik darah, menuju pada Wikana sambil menunjukkan lehernya dan
berkata: “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku
malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.” Bentakan ini membuat Wikana terperanjat:
“Maksud kami bukan untuk membunuh Bung…” (Lih. Mohammad Hatta, Memoir.
Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm 445). Tentara Jepang yang sudah kalah masih sering
beraksi brutal terhadap rakyat Indonesia dan perlawanan dari pihak kita
terhadap pasukan itu juga tidak kurang gigihnya dengan korban pada kedua
belah pihak. Harga sebuah kemerdekaan itu sungguh mahal.
Indonesia telah menebusnya dengan nyawa, kehormatan, dan derita rakyat yang
meninggalkan luka sangat dalam. Saya tidak tahu, apakah ledakan bom atom itu
seimbang dengan kekejaman Jepang terhadap rakyat jajahannya? Allahu a’lam! Sekalipun mungkin banyak pemuja Jepang di
negeri ini, kelakuan biadab tentaranya saat PD II tidak boleh dilupakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar