Hari
Survei Politik di Indonesia dan Kisah Sebuah Kafe Denny JA ; Kolumnis/Akademisi/Konsultan Politik |
REPUBLIKA, 3 Agustus 2021
Procope Coffee House. Ini kafe yang paling tua di Paris,
Perancis. Berdiri di tahun 1686, sekitar 335 tahun lalu. (1) Di tahun 2011, saya duduk menikmati suasana di
Cafe itu. Pemandu tur ini sangat tahu saya seorang penulis yang senang
membaca. “Di meja itu, Pak,” Ia menunjuk. “Sering
diduduki Voltaire di tahun 1750-an. Victor Hugo sekitar tahun 1790-an lebih
senang di pojok sana.” Sang pemandu acap menyebut filsuf besar yang
pernah ke kafe ini, ratusan tahun lalu. “Benyamin Franklin, tahun 1770-an,
menulis sebagian konsep declaration of independence juga di sini.” Beberapa waiter di Coffee Shop ini juga
dilatih untuk memahami kisah sejarah yang terjadi di Coffee House itu. “Yess
Sir. It is correct,” ujar sang waiter. “Ketika Napoleon masih menjadi tentara
rendahan, Ia pernah ke kafe ini. Ia kurang bayar. Dan Ia membayar sisa
tagihan dengan topinya.” “Wow,” saya pun terpana. Begitu banyak sejarah di kafe ini. Beberapa
kali saya pejamkan mata, berimajinasi seolah para pemikir dan raja Perancis
itu benar benar hadir di Cafe ini. Namun tujuan saya ke Cafe ini lebih jauh lagi.
Saat itu saya mulai menulis soal sejarah opini publik. Kebetulan tahun itu,
saya ke Paris. Opini publik memang berasal dari bahasa
perancis: opinion publique. Kata ini sudah muncul di buku pemikir perancis
yang lain; Jean Jaques Rousseau, Julie or the New Heroise. Tahun 1761. Dikisahkan bahwa opini publik pertama kali
muncul dari Coffee House, kafe shop, di abad 16-17 di Paris dan Eropa. Opini
publik awalnya turut dilahirkan di kafe ini pula, salah satunya. Saat itu para bangsawan acap menghabiskan
waktu, berjumpa di Coffee House. Di sana mereka bergunjing hingga diskusi
serius. Sambil minum kopi dan wine, mereka beropini
soal baik dan buruknya kerajaan. Mereka berceloteh. Mengkritik. Beranalisa.
Membuat prediksi. Memuji. Mereka adalah generasi elit pertama Eropa yang
mengisi waktu luang di Coffee House
sambil beropini. Raja Perancis pun mencatat itu. Betapa
kebijakannya, bahkan kehidupan pribadinya, acapkali digunjingkan di aneka
Coffee House di Paris. Sambil menikmati kopi. Makan sandwich. Saya
merasa terbang ke waktu berbeda, ketika pertama kali tradisi opini publik
lahir. -000- Imajinasi ini datang kembali ketika saya harus
menjawab pertanyaan: apa yang dapat dijadikan momen menetapkan hari survei
politik untuk Indonesia? Ini pertanyaan terutama dari sesama pegiat
survei politik, pemimpin partai, akademisi, ketika bicara kemungkinan survei
politik di Indonesia menapak ke tahap yang lebih tinggi. Yaitu memiliki hari
nasionalnya. Survei politik ini istilah untuk survei opini
publik, yang kini banyak dipakai oleh partai politik. Kini di tahun 2021, tak
ada pemilu atau pilkada penting tanpa kehadiran survei politik. Tanggal berapa, bulan apakah selayaknya
ditetapkan sebagai Hari Survei Politik di Indonesia? Aneka profesi memiliki hari jadinya. Ada hari
film nasional 30 maret. Ada hari pers nasional 9 Febuari. Ada hari puisi 28
April. Kapan hari survei
politik? Sebelum menjawab itu, pikiran saya kembali
berkelana. Setelah coffee house, subkultur kedua yang menumbuhkan tradisi
opini publik adalah mass media. Khusus untuk opini publik di bidang kontestasi
politik, dan pemilu, yang sangat kuat adalah mingguan Literary Digest, di
Amerika Serikat. Pusat gravitasi opini publik dari Coffee House
di Paris di abad 17-18 pindah ke media Amerika Serikat abad ke-20. Di tahun 1890, media mingguan Literary Digest
didirikan oleh Isaac Kaufman Fanc. Tapi baru di tahun 1916, 26 tahun
kemudian, mingguan ini membuat sejarah. Di tahun 1916, majalah ini mempublikasi apa
yang kelak menjadi tradisi survei opini publik, atau survei politik. Tulis majalah ini, Woodrow Wilson akan
memenangkan pemilu presiden Amerika Serikat tahun ini (1916). Majalah ini
mengirimkan lebih dari sejuta postcard berbagai rumah tangga. Postcard itu bertanya, siapa yang akan ibu/
bapak, saudara/saudari pilih sebagai presiden Amerika Serikat. Dan prediksi ini akurat! Woodrow Wilson
sungguh terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, tahun 1916. Banyak yang menduga, ini kebetulan belaka.
Sejenis gutak gatik angka, tapi ini sedang untung saja: prediksi tepat. Lalu dalam pemilu presiden di Amerika Serikat
tahun 1920, 1924, 1928, 1932, kembali Literary Digest memprediksi secara
akurat pemenang pilpres AS, mulai dari Warent Harding, Calvin Colidge,
Herbert Hoover hingga Franklin Roosevelt. (2) Sudah lima kali berturut-turut selama 16 tahun
(1916- 1932) prediksi Literary Digest terbukti. ilmuwan, politisi dan publik
luas tak lagi menganggapnya gutak gatik angka. Namun di tahun 1936, prediksi Literary Digest
meleset total. Ia menyatakan yang akan menang adalah Alfred Landon. Tak hanya
menang, tapi Landon menang telak. Ternyata yang menang sebaliknya. Franklin
Roosevelt terpilih sebagai presiden Amerika Serikat. Ikhtiar di Literary Digest menjadi awal
lahirnya science: ilmu perilaku pemilih. Voting behavior. Kegagalan
prediksinya juga keberhasilan sebelumnya menjadi bagian dari eksplorasi
mencari motodelogi riset yang lebih valid. Itulah momen terpenting bagi evolusi opini
publik untuk konstestasi pemilu di dunia barat sana. -000- Bagaimana di Indonesia? Kapan momen paling
penting untuk dijadikan hari survei politik? Saya pun mengontak Rully Chaerul Azwar dari
Partai Golkar. Saya ingin konfirmasi. Kapankah LSI Denny JA kontrak pertama
kali, 200 wilayah, untuk survei pilkada, pemilihan kepala daerah, pilkada
langsung yang pertama di Indonesia? “Seingat saya bulan Maret tanggal 30, 2005.
Mohon cek, ya bro.” Itu pesan saya pada Rully. Rully minta waktu seminggu untuk mencari
berkasnya. Bersama Andi Matalata, saat itu, Rully menjadi ketua tim
pemenangan Golkar. “Konfirm bro; 30 Maret 2005.” Itulah jawaban
Rully. “Saya sudah cek beberapa berkas.” “Bro,” ujar saya. “Jangan lupakan momen
tersebut. Itu momen bersejarah. Bro saksi dan pelakunya.” Ujar saya. “Walau yang tanda tangan kontrak survei opini
publik untuk 200 wilayah itu saya (Denny JA) dan Andi Mattalata, tapi Rully
yang mengawal dan merumuskan detail kontraknya. Mengapa saya memilih 30 Maret sebagai hari
survei politik? -000- Saya membandingkannya dengan suasana insan
film. Saat itu mereka juga akan memutuskan hari apakah yang dipilih untuk
Hari Film Nasional. Ada tiga hari kandidat kuat. Pertama 30 Maret
1950. Inilah hari pertama insan film merekam film Darah dan Doa. Sutradaranya
Usmar Ismail. Ini hari ketika perusahaan nasional Indonesia
sendiri yang merekam film, oleh orang Indonesia sendiri, untuk film yang juga
bercirikan Indonesia. Kandidat kedua tanggal 19 September 1945. Bung
Karno memberikan pidato di hadapan khalayak ramai. Ini momen memperingati
satu bulan proklamasi. Itu bukan era damai. Jepang dan Belanda belum
menerima kemerdekaan Indonesia. Tapi pekerja film dari Berita Film Indonesia,
dengan berani, mengambil semua risiko, merekam peristiwa itu. Di tahun 1964, ketika gerakan budaya kiri
Lekra berjaya, kelompok kiri ini juga mengusulkan. Hari film sebaiknya
diambil dari lahirnya PAPFIAS (Panitia Aksi Pembokoitan Film Imperialis
Amerika). Ini aksi yang dianggap berhasil menghentikan
pemutaran aneka film Amerika Serikat di Indonesia. Mengapa akhirnya hari shooting film nasional
Darah dan Doa yang dipilih sebagai hari film nasional? Lebih dari yang lain,
itu momen film nasional yang lebih
lengkap. Bukan saja film nasional pertama kalinya
dilahirkan, dilihat dari perusahaan pembuatnya, sutradara dan pemainnya, tema kisahnya, tapi juga diputar komersial. -000- Tanggal 30 Maret layak dipilih sebaga hari
survei politik karena dua alasan. Alasan pertama, Ia membuka pintu gerbang dunia
baru. Untuk pertama kalinya secara kelembagaan pertarungan politik praktis
dalam pemilu dikawinkan dengan riset ilmu pengetahuan, di Indonesia. Belum pernah terjadi secara resmi sebuah
partai politik menjadikan survei opini publik sebagai bagian pemenangan
pemilu/pilkada, secara massif. Belum pernah terjadi sebuah partai melakukan
kontrak dengan sebuah lembaga survei untuk melaksanakan riset opini publik
sebagai bagian memenangkan pemilu. Momennya memang tepat. Kontrak massif 200
survei opini publik di 200 wilayah seluruh Indonesia itu terjadi di tahun
2005. Tahun 2005 memang tahun pertama kepala daerah dipilih langsung. Tradisi yang dimulai tanggal 30 Maret 2005 ini
terus berlanjut semakin intensif hingga kini. Tak hanya Golkar, hampir semua
partai sekarang menggunakan lembaga survei. Tak hanya LSI Denny JA, sekarang juga menjamur
banyak lembaga survei dengan kualitas yang beragam. Asalan kedua, momen 30 Maret ini lahir dan
dimungkinkan karena dua peristiwa besar lainnya. Dalam pemilu legislatif tahun 2004, Partai
Golkar banyak diserang kaum terpelajar.
Tahun 2004 baru berjarak enam tahun sejak jatuhnya Orde Baru, 1998. Golkar bagaimanapun dianggap identik dengan
Pak Harto yang baru saja ditumbangkan. Maka PDIP, partai alternatif, dalam
pemilu 1999 menjadi nomor satu dengan perolehan tertinggi di era pemilu
reformasi: 33,74 persen. Di tahun 2004, slogan “Jangan pilih Golkar selaku sarang politisi busuk”
menjadi kampanye banyak aktivis dan kalangan terpelajar. Saya saat itu sudah mendirikan dan memimpin
Lembaga Survei Indonesia (LSI). Kami sudah melakukan beberapa kali survei
nasional. Data yang kami punya, di tahun 2004, sebelum
pemilu dilaksanakan, PDIP sangat merosot. Harapan publik pada PDIP di tahun
1999 terlalu tinggi. Akibatnya publik mudah kecewa. “Wah,” saya terkejut melihat data. Golkar
kemungkinan kembali nomor satu.” Saya pun mencari waktu menghadap Akbar
Tanjung, ketua umum Golkar saat itu. Saya sampaikan prediksi Golkar akan
juara kembali. Saat itu, survei opini publik barang baru. Tak
banyak elite politik percaya. Terkesan Akbar Tanjung juga tak percaya. Namun
selaku tuan rumah, Ia ingin sopan pada saya, anak muda, yang menggebu-gebu
memberitakan kemenangan Golkar. “Dik Denny, kan Golkar sekarang dalam serangan
gencar. Stigma Orde Baru menyulitkan kita. Kok bisa menang?” Tanya Akbar
berulang- ulang. Saya katakan, “Pak, yang marah dengan Golkar
itu kalangan terpelajar. Definisi pemilih terpelajar itu: mereka yang menjadi
mahasiswa, S1, S2 ke atas. Jumlah mereka hanya 10 persen, pak!” “Yang paling banyak itu wong cilik. Mereka
yang hanya tamat SD atau SMP. Jumlah mereka 60-70 persen.” “Golkar tak populer di kalangan 10 persen
terpelajar. Tapi paling populer di segmen Wong Cilik yang pendidikannya hanya
SD, SMP.” Saya yakinkan Akbar Tanjung dengan bersemangat. Kembali Akbar menggali: “Kan Wong cilik itu
segmennya PDIP. Kok bisa Golkar yang menang?” “Itu dulu, Pak. Sekarang di tahun 2004, wong
cilik hidupnya tambah susah. Mereka marah. PDIP mulai kalah di segmen ini.” Akbar tak terlalu berhasil saya yakinkan. Tapi
selaku politisi, Akbar merasa informasi saya ini bagus untuk semangat
kawan-kawan Golkar di daerah. Saya pun banyak diundang Golkar daerah untuk
presentasi hasil survei. “Abakadbra.” Dalam pemilu 2004, PDIP
benar-benar merosot. Dan Golkar kembali nomor 1. Reputasi saya selaku pemimpin lembaga survei
mulai berkibar di kalangan elite. Di tahun yang sama, 2004, juga akan
berlangsung pemilu presiden. Ini pemilu pertama dalam sejarah Indonesia untuk
kasus presiden dipilih langsung. Saya memegang data yang tersembunyi. Memang
jika dilihat dari elektabilitasnya, Megawati jauh di atas SBY. Saat itu Megawati Presiden Indonesia. Ia
memimpin partai besar: PDIP. Ia anak Bung Karno. Sementara SBY tokoh sentral Demokrat, partai yang sangat baru. Partai
kecil. SBY juga dari militer. Indonesia saat itu baru saja lepas dari Dwi
Fungsi ABRI. Militer tak populer. Tapi saya memiliki data lain. Jika ditanya
kepada seluruh rakyat Indonesia saat itu; dalam survei, Megawati memang jauh
di atas SBY. Tapi jika hanya di segmen pemilih yang kenal
dengan SBY dan kenal Mega saja, SBY mengalahkan Megawati dengan jarak 10
persen. Saya pun menghadap SBY. Saya katakan Ia akan
menjadi the next president. SBY kaget juga mendengarnya. Tapi SBY mengetahui
reputasi saya ketika mengabarkan kemenangan Golkar yang sebelumnya juga
dianggap mustahil. “Pak SBY kini kalah dari Megawati karena Mega
dikenal oleh lebih 90 persen pemilih. Sementara yang mengenal SBY hanya
dibawah 50 persen.” “Jika Pak SBY dikenal mendekati Megawati,
Megawati akan kalah.” Berbeda dengan banyak politisi lain, SBY cinta
ilmu pengetahuan. Ia pun meyakini survei. “Ini strateginya Pak. Pak SBY capres kuat tapi
tak punya partai yang kuat. Golkar partai yang kuat, tapi tak punya Capres
yang kuat.” “Saya punya strategi. Pak SBY dikawinkan
dengan Golkar. Bagaimana?” Pak SBY menyetujuinya. Sayapun mengatur
perjumpaan SBY dan Akbar Tanjung. Kami berjumpa beberapa kali. Akbar Tanjung
acapkali ditemani Bomer Pasaribu. SBY acapkali ditemani oleh Kurdi Mustofa. Setiap kali berjumpa saya selalu menyampaikan
data hasil survei. Saran saya:
SBY Capres, Akbar Tanjung Wapres.
Golkar maju bersama Demokrat. Mungkin lima kali pertemuan dibuat. Saat itu,
Golkar juga merencanakan Konvensi Capres Partai Golkar. Akbar merasa bisa
menjadi Capres dari partainya sendiri. Singkatnya perkawinan SBY dan Akbar Tanjung
batal. Tapi saran saya SBY tetap maju dengan mengambil sentimen pendukung
partai Golkar tetap. Posisi Akbar yang awalnya diplot menjadi Cawapres SBY
akhirnya diganti Jusuf Kalla sebagai Cawapres. Jusuf Kalla juga tokoh Golkar, yang saat itu
cukup menonjol. Kampanye Pilpres 2004 dimulai.LSI yang saya
pimpim acapkali menyatakan dalam konferensi pers bahwa SBY akan menjadi
presiden. Banyak yang skeptis tak percaya. Akhir dari Pilpres 2004 sudah kita ketahui.
SBY- JK sesuai hasil survei LSI memenangkan Pilpres. Reputasi saya selaku pemimpin lembaga survei
melonjak kembali. -000- Dua peristiwa di atas, pemilu legislatif 2004
yang Golkar menang, dan pemilu presiden yang SBY menang, menjadi modal besar
saya masuk ke dalam pilkada 2005. Ini pilkada pertama dalam sejarah Indonesia:
kepala daerah dipilih langsung. Jusuf Kalla sang wakil presiden di bulan
Desember 2004 juga terpilih sebagai ketua umum Golkar. Saya pun datang, minta waktu, bertandang
kepada Jusuf Kalla, Ketua Umum Golkar yang baru. Saya mengingatkan betapa ilmu pengetahuan,
melalui survei opini publik dapat memprediksi kemenangan SBY-JK berbulan
sebelum pilpres 2004. Tahun 2005 ini, pertama kali akan dilakukan
pilkada, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Golkar dapat memulai
tradisi baru, menggunakan kemajuan ilmu pengetahuan untuk pertarungan politik
praktis di pemilu. Setelah eksplorasi intens, Jusuf Kalla setuju.
Ia hanya memberi dua nama. Silahkan Denny kontak Andi Matalata dan Ruly
Chaerul Azwar. Kata Jusuf Kalla, “Kita ini di samping berpolitik juga lama di
bisnis. Inovasi dan mencoba yang lebih maju itu keharusan.” Saya pun menemui Andi Matalatta dan Ruly
Chaerul Azwar. Tapi lebih banyak Rully yang menetap di kantor Golkar. Setelah beberapa kali bulak balik memperbaiki
naskah kerja sama, datanglah itu sejarah. Tanggal 30 Maret 2005, menjadi monumen
berubahnya politik pemilu di Indonesia. Pertama kali sebuah partai secara
sistematis dan terpadu menggunakan lembaga survei untuk rekruitmen kepala
daerah. Tak semua happy, tentu saja. Banyak ketua
Golkar daerah tingkat provinsi dan kotamadya/ kabupaten (Ketua DPD)
berkelakar sambil mengeluh. “Wah, LSI dan Pak Denny sekarang lebih
berkuasa dibanding kami-kami ketua DPD. Bukan kami yang menentukan calon
kepala daerah di wilayah kami, tapi survei LSI.” Itulah kisah di balik momen tanggal 30 Maret 2005. Melihat efek
dan sejarahnya, layak kiranya 30 Maret dipilih sebagi Hari Survei Politik
Indonesia. -000- Suatu ketika William Shakespeare berkata:
“Opinion is the mistress of success.” Kutipan Shakespeare ini bisa diplesetkan
menjadi “public opinion is the mistress of a political leader.” Mistress dalam kutipan itu ditafsir sebagai
kekasih gelap. Memiliki opini yang baik di mata publik itu ibarat memiliki
kekasih yang dicintai, walau kekasih gelap. “Istri yang sebenarnya” dari seorang pemimpin
bukan public opinion, tapi meningkatnya kualitas hidup masyarakat. Tapi bukankah kini sulit kita menganggap
seorang pemimpin sukses jika opini publik atasnya buruk? Public opinion semakin powerful. Kita pun
sampai pada zaman yang slogan pertarungan pemilu demokratis: “lembaga survei
di tangan kananku. Dan konsultan politik di tangan kiriku.” ● |
CATATAN :
(1) Coffee House ternyata memiliki kontribusi besar
berkembangnya tradisi opini publik
https://en.m.wikipedia.org › wikiWeb resultsEnglish coffeehouses
in the 17th and 18th centuries ...
(2) Literary Digest berkontribusi sangat besar bagi tradisi
survei opini publik, walau di tahun 1936 prediksinya salah fatal.
https://en.m.wikipedia.org › wikiWeb resultsThe Literary Digest
- Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar