Maladministrasi
dan Pintu Masuk Kompromi Kepentingan Indra Prasetya ; Penulis kolom di Detiknews |
DETIKNEWS, 3 Agustus 2021
Politik adalah cara untuk mengakomodasi
berbagai macam kepentingan para aktor menjadi kepentingan bersama. Musuh
sekalipun dapat kemudian dirangkul dan dijadikan sekutu demi kepentingan
bersama yang lebih besar dan menguntungkan tentunya. Oleh karenanya di dalam
politik, banyak orang menilai bahwa tak ada kawan dan lawan yang sejati, yang
ada hanyalah kepentingan yang terakomodasi, melalui berbagai alat kompromi
yang ada --kompromi melalui saluran ekonomi, saluran jabatan, maupun saluran
lainnya.
Pintu masuk bagi lahirnya kompromi kepentingan
ini sangat beragam, salah satunya adalah melalui celah maladministrasi, yang
mana sangat lazim ditemui di negara berkembang karena sistem administrasinya
yang masih 'kuno'. Beberapa contoh kasus yang viral akhir akhir ini adalah
contoh dari maladministrasi sebagai pintu masuk dimaksud, misalnya
maladministrasi dalam penanganan pandemi Covid-19, maladministrasi dalam tes
alih status pegawai lembaga antirasuah menjadi ASN, dan tentunya
maladministrasi dalam rangkap jabatan yang menyangkut rektor dari salah satu
universitas ternama di Indonesia.
Penanganan Pandemi
Sebagai salah satu contoh yang viral, kasus
maladministrasi penanganan pandemi Covid-19 ini menyasar pada lahirnya bisnis
baru di lapangan, sebagai wujud dari kompromi kepentingan melalui saluran
ekonomi. Sebut saja sengkarut kisah vaksin gotong royong yang beberapa waktu
lalu sempat naik daun dan trending di media sosial. Dilanjutkan dengan wacana
atau bahkan sudah hampir terlaksana tentang vaksin berbayar melalui salah
satu badan usaha yang membidangi farmasi.
Terakhir adalah adanya polemik kasus obat
cacing yang di-endorse oleh salah satu pejabat negara, dan akhirnya membuka
kedok adanya jejaring lainnya yang berujung ke salah satu partai besar.
Maladministrasi penanganan pandemi menjadi pintu masuk bagi lahirnya kompromi
kepentingan besar dalam dunia bisnis farmasi di lapangan.
Cacat Administrasi
Kasus viral kedua terkait dengan
maladministrasi adalah dalam proses pengalih status pegawai lembaga
antirasuah di negeri ini menjadi ASN. Di dalam laporan akhir hasil penyelidikannya,
Ombudsman menilai bahwa proses tersebut 'cacat' dari sisi administrasi.
Setidaknya ada dua kecacatan yang sangat mencolok dan menjadi kunci penting
dari proses keseluruhan, yaitu adanya tindakan penyisipan pasal baru setelah
proses harmonisasi yang ada dan adanya tindakan backdate atau tanggal mundur
dari kontrak penyelenggaraan proses pengalihstatusan tersebut.
Memanglah banyak kejadian di negeri ini yang
terkait dengan tindakan penyisipan pasal atau ayat di dalam proses penyusunan
peraturan, bahkan di dalam proses penyusunan peraturan yang lebih tinggi
yaitu Undang Undang di Senayan. Pernah juga viral penyisipan pasal atau ayat
dalam proses penyusunan peraturan perundangan dalam bidang minerba, yang
sempat menyedot perhatian masyarakat, dan banyak kasus lainnya yang tak kalah
pentingnya di lapangan.
Maka tidaklah mengherankan kalau Ombudsman
melaporkan adanya tindakan penyisipan pasal atau ayat baru di dalam proses
pengalihstatusan tersebut sebagai salah satu cacat administrasi. Penyisipan
pasal atau ayat menjadi salah satu alat kompromi kepentingan yang lahir
karena lemahnya sisi administrasi lembaga negara atau pemerintah.
Tindakan mencolok kedua yaitu adanya backdate
atau tanggal mundur dari kontrak proses pengalihstatusan pegawai menjadi hal
yang sangat kontradiktif dengan marwah lembaga antirasuah. Bagaimana bisa
lembaga antirasuah yang sekian belas tahun menjadi garda terdepan dalam
pencegahan dan penanganan korupsi menjadi pelaku utama korupsi --siapa yang
akan menjaga para penjaga ini kalau secara internal mereka telah mengalami
pembusukan?
Lembaga antirasuah menemui titik nadirnya
untuk hadir sebagai garda terdepan pencegahan dan penanganan korupsi karena
telah mengalami pembusukan internal hasil kompromi kepentingan pihak-pihak
yang berseberangan dengannya. Perlu Kita ingat bersama bahwa proses
pengalihstatusan pegawai ini adalah hasil dari beberapa proses sebelumnya,
dimulai dari perubahan Undang Undang yang menjadi dasar hukum mereka dalam
pencegahan dan penanganan korupsi di Tanah Air.
Cerita Lucu
Kasus maladministrasi terakhir yaitu tentang
rangkap jabatan salah satu rektor dari universitas ternama di Indonesia
menjadi cerita yang lucu sekaligus menyedihkan karena para pelaku seakan
tidak malu membuka kedok kompromi mereka secara gamblang di depan mata
masyarakat.
Kasus ini melahirkan banyak meme yang
berseliweran di dunia maya, kemudian juga menjadi opini dan kritik oleh para
pakar, akademisi, pemerhati, bahkan sampai warga universitas itu sendiri
berujung pada mundurnya sang rektor dari jabatannya di salah satu badan usaha
milik negara. Memang tidak sempurna dan sesuai harapan masyarakat; sang
rektor diharapkan mundur dari universitas sebagai bukti pertanggungjawabannya
kepada dunia akademik baik secara internal maupun eksternal.
Pelanggaran statuta universitas yang harusnya
menjadi kitab bersama bukannya dipertanggungjawabkan secara baik dan benar
malah kemudian demi mengakomodasi kepentingan mereka si kitab tersebut diubah
pasalnya; sebuah kesalahan terfatal dari mereka yang bisa dianggap telah
purna dalam hal pendidikan. Kompromi kepentingan yang dilaksanakan dengan
cara kotor dan tidak bertangggung jawab yang akhirnya mencoreng dunia
pendidikan dan menimbulkan pertanyaan ini semoga tidak berujung pada
ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga pendidikan.
Semakin Cerdas
Maladministrasi mungkin adalah kata-kata yang
sudah uzur dibahas di negeri ini; dia eksis hampir di setiap orde
kepemimpinan yang ada, yang sebenarnya diharapkan akan sirna di masa
reformasi serta era milenial saat ini. Namun ternyata dia masih eksis (atau
sengaja dibuat eksis?) dan menjadi pintu masuk bagi lahirnya kompromi
kepentingan yang berkelindan dari para aktor.
Media sosial menjadi salah satu sarana efektif
sebagai wahana pengawas gerak-gerik para aktor tersebut, membuat kompromi
kepentingan mereka menjadi viral dan dipantau bersama. Apakah ini yang
kemudian akan menjadi platform penyusunan kebijakan ke depan? Viral based public policy, kata para
pakar, dimana kejadian viral menjadi dasar bagi pengambilan kebijakan publik.
Last but not least, masyarakat sebagai
pemilik saham negeri ini yang juga sekaligus menjadi korban dari pilihannya
sendiri semoga semakin cerdas dalam menyalurkan suaranya berdasar realita
yang berhamburan di media sosial. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar