Bahagia
Secukupnya, Sedih Seperlunya, "Sambat" Sewajarnya Impian Nopitasari ; Penulis, tinggal di Solo |
DETIKNEWS, 1 Agustus 2021
Entah
perasaan saya sendiri atau bukan, tapi saya merasa waktu seminggu ini kok
cepat sekali. Ketika bangun tidur dan saya menyadari bahwa sudah sampai hari
Jumat lagi, refleks saya mengirim pesan ke teman saya. "Kok wis Jumat
maneh ya?" Tentu
saja itu bukan informasi dan teman saya pun langsung tanggap. "Pasti
karena belum ada ide nulis. Sambat rutin tiap akhir pekan. Apal aku." Sekian
detik saya terdiam sampai kemudian, "Eureka!" saya berteriak dalam
hati. Ya, kenapa tidak itu saja yang ditulis? Jenius sekali teman saya itu. Saya
pun langsung membuka Twitter, media sobat sambat untuk menambah ide. Ketika
sedang berselancar di jagad Twitter, saya menemukan tweet teman saya yang
menjadi obrolan panjang setelahnya. Begini bunyi tweet-nya: "Orang
dewasa nggak boleh kebanyakan sambat katanya. Sambat itu bagian dari doa
jelek katanya. Mohon maaf, gue areknya susah dibilangin kalau sebatas
anekdotal." Saya
pun membalas tweet tersebut, "Loh kalau nggak sambat malah bukan
manusia. Semua itu secukupnya. Terlalu ber-positive thinking itu tidak
baik," Teman
saya membalas lagi, "Begitulah semesta toxic positivity bahu-membahu
mengerdilkan nyali kita yang sok ciut, sok bakoh, sok remuk." Teman
saya jengkel dengan toxic positivity. Lagi remuk disuruh bersyukur, lagi capek
disuruh semangat. Kita harus begini, kita harus begitu. Emang
"kudu" ini siapa kok wajib di-gugu? Saya setuju dengan teman saya.
Terlalu berpikiran positif itu justru membuat kita denial dengan hal negatif,
menumpulkan kepekaan kita terhadap bahaya. Saya
ingat status Facebook teman saya yang menjadi buruh migran di Hong Kong. Dia
bercerita kalau majikannya kalau sedang bernegosiasi itu mbulet dan penuh
muslihat. Teman saya punya prinsip untuk tidak selalu berpikiran positif,
justru pikiran negatif harus digunakan dalam situasi seperti ini agar peka
terhadap bahaya. Kalau tidak digunakan malah insting itu bisa tumpul. Tidak
bisa menumpahkan emosi, merasa baik-baik saja, tidak peka kondisi, akhirnya
bisa menjadi bebal. Saya
punya cerita lain. Pernah saya dicurhati teman yang sering di-KDRT suaminya.
Saking seringnya sampai saya paham di mana lebam-lebam di tubuhnya.
Sebenarnya menurut saya dia sudah wajib cerai dari suaminya. Apalagi
keluarganya juga mendukung. Tapi ketika kami memberi tanggapan seperti itu,
jawabnya selalu sama. "Aku masih ber-positive thinking kalau dia bakal
berubah." Saya
kok tidak yakin suaminya bakalan berubah. Yang ada badan istrinya sudah jadi
samsak tiap hari. Red flag sekali, tapi malah dia malah jadi matador. Tentu
saja berpikiran positif yang seperti itu kurang tepat menurut saya. Belum
lama ini saya menyelesaikan membaca buku Agnosthesia karya Maria Frani Ayu.
Di buku ini dijelaskan tentang bagaimana mengenali emosi. Salah satunya
tentang berpikiran positif. Dia mengutip ilustrasi dari David Robson, seorang
wartawan BBC, tentang bahayanya terlalu berpikiran positif. Gambarannya
seperti kita mau menyeberang sungai dan di belakang kita ada yang menyoraki
memberi semangat. Tapi kita abai dengan aliran sungai yang keras. Seberapa
pun kita melawannya, tidak akan bisa. Kalau kita nekat ya bahaya yang akan
menimpa. Bisa terseret arus atau tenggelam. Memang
betul kita berpikiran positif, tapi realitas jangan diabaikan. Maria Frani
Ayu menambahkan, berpikir kelewat positif membentuk harapan palsu yang jauh
dari keadaan sesungguhnya. Jadi seberat apapun beban hidup kita, jangan
disangkal. Ya memang berat, tapi toh itu kenyataannya. Sepahit apapun
kenyataan akan menjadi lebih pahit kalau ditutupi dengan harapan palsu. Ini
seperti kondisi sekarang dalam konteks pandemi. Memang kita boleh berpikiran
positif agar imun naik. Boleh saja mengurangi membaca atau menonton berita
yang mengerikan, tapi kita tidak bisa abai sekali terhadap kenyataan kalau
memang kondisi di negara kita sedang koleps. Kita tidak bisa menyangkal kalau
kondisi kita sedang tidak baik-baik saja. Kondisi sesak napas itu butuh
oksigen, bukan hati yang dipaksa bahagia. Berpikiran positif bukan kok
kongkow-kongkow dengan dalih menaikkan imun. Yang ada malah menaikkan kasus karena
banyak yang positif. Kita
berada di masa banyak orang sambat. Ya sudah, biarkan saja mereka
mengekspresikan perasaannya. Jangan buru-buru dihakimi kalau orang sambat ini
adalah orang yang kurang bersyukur. Lha dikiranya sebelum sambat itu pastinya
sudah ada hati yang remuk, ambyar, kalang kabut tak menentu. Kita mana tahu?
Namanya manusia wajar dong ketika ada masa-masa buntu. Di Twitter saja sampai
ada akun plesetan dari buku dan film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini
menjadi "Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini." Tidak hanya akun,
bahkan sudah ada bukunya juga. Terbukti sebenarnya banyak orang yang butuh
wadah untuk mengekspresikan rasa sambat. Meski
juga ada yang menyindir, "Orang yang kuat itu bukannya sambat, tapi
misuh." Halah coba tidak bisa kentut, paling juga sambat. Kalaupun
misuh, itu sebenarnya juga bentuk sambat. Dan soal jadi orang yang kuat,
tidak selamanya kita harus kuat. Ada masa-masanya kita harus mengakui kalau
memang sedang tidak kuat. Kawan
saya pernah menulis di status Facebook-nya bahwa rasa bersyukur itu sudah
otomatis seotomatis napas kita. Tidak perlu berkelimpahan dulu baru
bersyukur. Tidak perlu diberkati dulu baru bersyukur. Tidak perlu
membandingkan taraf hidup untuk bersyukur. Tidak perlu membandingkan masalah
hidup dulu baru bersyukur. Banyak
alasan untuk bersyukur. Untuk saya pribadi, bangun tidur saja sudah otomatis
berdoa alhamdulilahiladzi ahyana ba'dana amatana wailaihin nusyur alias masih
bisa bangun sudah bersyukur. Nanti salat, bisa sujud, bersyukur. Bahkan
kadang tidak perlu alasan untuk bersyukur. Tapi hanya beberapa alasan untuk
sambat. Jadi ya tidak apa-apa jika diekspresikan daripada jadi penyakit. Soal
mau mengekspresikannya bagaimana, tergantung masing-masing orang, yang
penting tetap diekspresikan kalau menurut saya. Saya ini dengan teman-teman
di media sosial menganggap wajar kalau mereka kadang sambat, sedih, marah,
dan tertawa. Ya berarti mereka benar-benar manusia. Kalau memang tidak suka
mengumbar kesambatan secara umum (karena tidak semua teman di media sosial
akan menanggapi sesuai mau kita, salah-salah malah kita jadi tambah
tertekan), tetaplah punya teman sambat. Kalau memang belum bisa cocok dengan
manusia, bicara dengan tumbuhan atau benda mati juga tidak apa-apa. Jangan
dipendam sendiri. Kalau
saya sendiri punya akun alter di Twitter yang isinya hanya buat nyampah dan
marah-marah saja. Tidak butuh follow dan di-follow, hanya sebagai tempat menumpahkan
unek-unek. Kadang kalau sambatnya masih aman untuk dibaca secara umum, saya
tulis di akun asli. Tentu saja tidak berlebihan. Tidak setiap hari. Ya apapun
yang berlebihan memang tidak baik kan? Saya
ini memang golongan orang yang kurang cocok memberi motivasi. Saya tidak bisa
memaksa orang untuk semangat terus menerus seperti semangat pagi para
motivator. Optimis boleh tapi tidak usah berekspektasi berlebihan. Ketika
banyak teman yang curhat tidak konsen menyimak materi dari dosen, tidak konsen
presentasi atau bekerja karena kondisi memang sedang suram, saya tidak pernah
menyalahkannya. Saya
sendiri tidak memaksa diri harus berkarya dan harus produktif di masa-masa
sekarang. Yang penting adalah bertahan hidup dulu. Bahagia secukupnya, sedih
seperlunya. Dan tentu saja, sambat sewajarnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar