Senin, 02 Agustus 2021

 

Kewarganegaraan Ekologis

Roy Martin Simamora ;  Pengajar Filsafat Pendidikan ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan

KOMPAS, 1 Agustus 2021

 

 

                                                           

Tahun 2020 hingga pertengahan tahun ini adalah masa-masa paling menguras tenaga, pikiran, dan waktu kita. Gelombang Covid-19 dan kemunculan varian-varian baru di beberapa negara seolah menambah masalah hidup di tengah realitas sosial yang kita bangun selama ini.

 

Hari demi hari, pasien Covid-19 terus bertambah. Beberapa orang harus kehilangan sanak saudara mereka. Orang-orang yang mereka kasihi harus lebih dulu menemui ajalnya. Kehilangan demi kehilangan menambah duka dan pilu. Sebagian lagi harus berjuang untuk sembuh dari derita virus itu.

 

Tak hanya sektor kesehatan, dampak serius dari pandemi ini juga menyasar sektor ekonomi. Orang-orang kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), pengangguran meningkat, para pedagang kecil kehilangan mata pencarian, dan pendapatan makin menurun. Semua orang tentu berharap agar dunia dapat normal kembali seperti sedia kala.

 

Di tengah pandemi ini, agaknya, setiap orang perlu mengambil jarak dan merenung sejenak di pojok ruangan. Setiap orang perlu mengingat kembali identitas dirinya, baik secara individu maupun komunitas, mengingat apa yang berubah dalam kehidupan planet yang dihuni sekarang ini.

 

Setiap orang perlu mengidentifikasi dan mengingat kembali komitmen tentang apa itu masa depan dalam benak mereka. Mengapa kita hidup di planet ini? Masa depan seperti apa yang hendak kita capai sebagai spesies paling unggul dibandingkan dengan spesies lain? Apa yang harus dilakukan dan apa yang belum dilakukan untuk mencapai kemaslahatan di muka bumi? Apakah manusia semakin ramah lingkungan atau semakin buruk dan akan menghapus alam selamanya?

 

Saat ini, manusia memiliki masalah besar dalam hubungannya dengan alam. Keseimbangan alam mulai menurun sebagai akibat dari aktivitas manusia, yang melihat dirinya bukan sebagai bagian dari ekosistem, melainkan sebagai tuannya. Perusakan hutan dan perburuan massal telah menjadi bagian diri manusia.

 

Kekuatan kapitalisme telah mendorong batas-batas planet kita dengan kelebihan populasi, limbah industri, penipisan lapisan ozon, dan degradasi lingkungan dari pengejaran industri. Perusahaan-perusahaan terus mendapat keuntungan dengan mengorbankan bumi. Spesies yang paling berkuasa sekaligus berkepentingan untuk menguasai segala isinya.

 

Selain itu, populasi manusia dalam beberapa dekade terakhir telah melonjak terutama karena kelimpahan makanan dan energi yang sangat besar, yang keduanya berasal dari kemajuan industri yang dibangun oleh manusia itu sendiri. Juga, beberapa spesies hewan yang paling sukses di bumi adalah yang bersimbiosis dengan manusia (sapi, ayam, kecoak, kutu busuk) dan secara rutin menggusur spesies liar yang ada di alam.

 

Kemerosotan ini mulai ditanggapi serius setelah berdampak buruk bagi kehidupan manusia dan digambarkan sebagai masalah lingkungan. Manusia, yang selama ini mendekati alam hanya dengan sudut pandang yang berpusat pada manusia, sudah mulai membayar biaya kemakmuran ekonomi sebagai masalah lingkungan hidup.

 

Perusakan hutan dilakukan secara terang-benderang oleh perusahaan milik negara, swasta, dan multinasional. Mereka mengeksploitasi tanpa mempertimbangkan dampaknya di kemudian hari.

 

Di kampung halaman saya, kerusakan hutan menyebabkan penduduknya kehilangan mata air. Sungai mengering. Sawah-sawah kini mengering dan berkerak. Jika hujan, banjir datang. Pohon-pohon endemik mulai hilang, diganti pohon-pohon eukaliptus.

 

Polusi menjadi masalah serius. Partikel debu di udara pada musim kemarau karena kendaraan berat pembabat hutan yang lewat menyebabkan masalah kesehatan yang serius bagi penduduk.

 

Selain itu, beberapa masyarakat kehilangan tanah leluhur mereka karena diambil alih oleh korporasi. Mereka dipaksa tunduk dengan setumpuk aturan hukum yang sama sekali mereka tidak pernah tahu. Pengusiran dari tanah leluhur mereka, tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan budaya lokal mereka, intimidasi fisik oleh korporasi membuat masyarakat lokal semakin jauh terpinggirkan.

 

Belum lagi, di kampung halaman saya, burung-burung yang sering saya jumpai dan dipercaya sebagai kiriman dari para leluhur setiap bulan-bulan tertentu (Desember-April) tidak lagi muncul karena pohon-pohon penghasil buah sudah hampir punah. Burung-burung itu mungkin menjauh karena suara-suara mesin pemotong kayu di hutan.

 

Selain perusakan habitat, penggundulan hutan menyebabkan peningkatan erosi di daerah riparian menyebabkan penurunan kualitas air di sungai. Akhirnya, air tidak layak konsumsi bagi masyarakat setempat. Pengawahutanan (deforestasi) juga melepaskan karbon dan menghancurkan penyerapan karbon di area yang dahulu berhutan, yang selanjutnya berkontribusi pada perubahan iklim. Kampung yang dahulu sejuk dan dingin, berubah menjadi berdebu, kotor dan panas.

 

Selain risiko lingkungan dan kesehatan yang terkait dengan permainan kotor perusahaan, lingkungan juga berkorelasi langsung dengan produktivitas dalam jangka panjang. Hari demi hari, penghancuran planet kita demi keuntungan jangka pendek bukanlah solusi yang berkelanjutan dan akan merusak kapasitas berinovasi dan berproduksi masyarakat yang tinggal di sana.

 

Setelah merenung beberapa lama, satu-satunya gagasan yang saya bayangkan adalah mempromosikan kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship) di tengah kemanusiaan kita yang kian merosot jauh. Teori kewarganegaraan ekologis pertama kali dicetuskan oleh seorang pemikir politik Inggris, Andrew Dobson, dalam bukunya Citizenship and the Environment (2003).

 

Gagasan Dobson ini dimunculkan untuk membangun konsep baru kewarganegaraan. Gagasan yang dibangun dari filsafat ”politik hijau”. Dobson merasa bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban untuk mengurangi ”jejak ekologis” mereka. Kondisi ekologi yang semakin rusak membutuhkan cara pandang baru untuk melihat isu lingkungan dari posisi warga. Dia beranggapan bahwa setiap warga negara bersama-sama dengan status sebagai anggota entitas politik yang disebut negara memiliki hak untuk menikmati kehidupan yang sehat dan kewajiban untuk mewujudkannya.

 

Pendidikan lingkungan

 

Agaknya, gagasan ini juga perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional kita dan memperkenalkannya kepada generasi baru yang akan memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi di masa yang akan datang. Pemerintah berperan penting untuk memasukkan pendidikan lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional yang dirancang.

 

Tujuannya adalah melahirkan warga negara yang aktif menyuarakan kesadaran lingkungan dan bagaimana nilai-nilai itu ditebar di tengah-tengah masyarakat yang hidup hari ini. Dobson berkata, ”Memang, ’lingkungan’ adalah kendaraan teladan untuk penyebaran semua pengetahuan yang disebut ’keterampilan kunci’ dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan.”

 

Jika kita melihat sejarah peradaban manusia, manusia selalu membentuk komunitas berdasarkan identitas bersama. Identitas semacam itu ditempa untuk menjawab berbagai kebutuhan manusia, baik secara ekonomi, politik, agama, dan sosial. Ketika identitas kelompok tumbuh lebih kuat, mereka yang memegangnya, mengorganisir ke dalam komunitas, mengartikulasikan nilai-nilai bersama mereka, dan membangun struktur pemerintahan untuk mendukung keyakinan mereka.

 

Karena itu, sangat penting untuk menggalakkan aktivisme lingkungan dan mengajak generasi muda untuk ikut serta terlibat dalam upaya-upaya menjaga kelangsungan hidup di bumi. Aktivisme semacam itu mulai ditanamkan kepada generasi muda ketika mereka di dalam keluarga dan ketika berada di lembaga pendidikan. Karena bagaimanapun, peran keluarga dan lembaga pendidikan sangat penting untuk mempromosikan cara-cara baru untuk menghasilkan makna hak dan kewajiban, yang mana nilai-nilai dan tindakan saling menginformasikan satu sama lain dengan cara yang spesifik secara budaya, tetapi juga dibentuk oleh diskusi terbuka dan toleran yang tidak mengabaikan hasrat dan komitmen aktivis lingkungan.

 

Barr dalam makalahnya yang berjudul Strategies for sustainability: citizens and responsible environmental behaviour (2003) mengatakan harus ada upaya-upaya mendorong manusia untuk keluar dari nilai egoistik ke altruistik dan dari konservatif menjadi terbuka terhadap perubahan (dalam artian mendorong tanggung jawab lingkungan); dari antroposentrisme ke biosentrisme; memikirkan kembali lingkungan dan kewarganegaraan; dari teknosentrisme ke ekosentrisme sebagai ”nilai yang didorong oleh keyakinan” dalam menanggapi masalah lingkungan.

 

Karena itu, kewarganegaraan ekologis membawa dampak yang positif untuk menjaga komitmen setiap warga negara. Mengapa kewarganegaraan ekologis menjadi penting? Mengapa sekarang? Jika dicermati, kewarganegaraan sering kali dipahami sebagai status hukum yang mendefinisikan hubungan antara individu dan negara, yang mendefinisikan hak dan kewajiban yang dipikul satu sama lain.

 

Kewarganegaraan sekarang selalu diartikulasikan dengan budaya, hak-hak politik, teknologi, identitas (khususnya jender), sains, transnasionalisasi, dan kosmopolitanisme belaka. Tetapi, lebih daripada itu, kewarganegaraan juga harus dipandang sebagai tanggung jawab manusia terhadap alam sekitarnya (bukan hanya untuk negara semata) dan mempromosikan perubahan perilaku yang membantu melindungi lingkungan bumi.

 

Dalam artian, hal ini dapat diajarkan pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan, yang mana kewarganegaraan sebagai ”literasi politik” harus disejajarkan dengan pendidikan lingkungan sebagai ”literasi lingkungan.” Kewajiban lingkungan serta hak lingkungan harus diintegrasikan ke dalam pengertian normatif kewarganegaraan yang lebih komprehensif.

 

Selain itu, kewarganegaraan ekologis memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk mempelajari bagaimana alam bekerja dari skala organisme hingga seluruh planet. Hanya ekologi yang dapat memberi tahu kita bagaimana hidup dengan alam dengan cara yang tidak kehilangan ekosistem yang penting, mencintai alam dan memaksimalkan manfaat yang kita peroleh dari alam dengan hidup selaras dengannya.

 

Pohon apa yang harus ditanam di kota dan di mana kita dapat memaksimalkan penghijauan perkotaan? Mengapa pertanian dan perikanan itu runtuh, dan bagaimana cara kita agar tidak membiarkan itu terjadi lagi? Apa cara terbaik untuk menyelamatkan spesies yang terancam punah dari kepunahan?

 

Karena itu, kewarganegaraan ekologis dapat dipraktikkan dalam kehidupan setiap warga negara. Kewarganegaraan ekologis juga menjadikan warga negara memiliki pengetahuan untuk mengelola, memiliki kesadaran untuk menjaga, dan melestarikan lingkungan di sekitarnya.

 

Warga negara ini dikenal dengan sebutan ”warga ekologis”. Warga ekologis ini memiliki kesadaran ekologis yang lebih besar, mengenali cara-cara mereka terhubung erat satu sama lain dan dunia di sekitar mereka. Selain memiliki hak di dunia, warga ekologis juga mengemban tanggung jawab sebagai warga negara yang aktif dan luas, yang mencakup perubahan perilaku pribadi untuk mempromosikan kepentingan publik dan terlibat dalam tindakan kolektif yang mendorong perubahan sistemik yang bertanggung jawab.

 

Pada titik ini, warga negara perlu melihat dunia secara ekologis, tidak semata hanya urusan-urusan politik dan intrik-intrik di dalamnya. Warga negara perlu mengenali keterkaitan antara masalah yang dihadapi dan bertindak untuk mengatasi akar permasalahan secara kolektif.

 

Sejatinya, warga ekologis bertanggung jawab untuk meminimalkan dampak ekologis negatif manusia terhadap manusia lainnya di masa mendatang. Apabila warga negara gagal memenuhi tanggung jawab ini berarti mereka telah menggunakan proporsi yang tidak seimbang dari pengerukan sumber daya ekologis yang tersedia di muka bumi. Bumi menjadi sakit dan, mau tidak mau, kita sedang bersiap-siap menantikan dampaknya di kemudian hari. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar