Perang
Pandemi Kita F Budi Hardiman ; Pengajar Filsafat di Universitas Pelita
Harapan |
KOMPAS, 21 Juli 2021
Satu setengah tahun perang
pandemi menghantui kita. Alih-alih berakhir, kasus infeksi mengalami eskalasi
yang sangat dramatis di bulan Juli 2021 ini. Saat ini episentrum pandemi
adalah Indonesia. Hampir tiap hari lebih dari 50.000 orang menjadi korban.
Berita kematian beredar bertubi-tubi di media sosial. Infeksi terjadi di depan
mata pada orangtua, anak, kerabat, sahabat. Sulit disangkal,
SARS-Cov-2 telah bermanuver lebih gesit dan lebih lihai daripada para
ilmuwan. Virus ini seakan telah menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa yang
tiap hari menanen populasi kita. Makin tak jelas apakah ada solusi untuk
penyakit ini atau bagian nasib buta. Perang pandemi seharusnya bisa lebih
sederhana daripada perang-perang lain. Kita tidak sedang melawan sesama kita,
melainkan sedang memerangi musuh bersama, yakni virus. Tetapi mengapa perang
melawan Covid-19 ini, meski tiap hari didengungkan lewat berbagai media,
menjadi jauh lebih rumit daripada yang seharusnya? Penyebab utamanya terdapat
pada sesuatu yang hakiki pada manusia: komunikasi. Dalam situasi ekstrem
sekarang ini komunikasi tak bisa biasa-biasa saja. Bela rasa harus dipimpin
kecerdasan agar tetap melindungi diri dan orang lain. Sentuhan komunikatif
harus dilakukan dengan menjaga jarak. Menyentuh dengan jarak membutuhkan
kemampuan abstraksi yang menimbulkan empati. Hal itu tidak mudah. Kita
telah terbiasa menyentuh dengan menghapus jarak dan berabstraksi tanpa
empati. Komunikasi tidak lazim di
dalam perang pandemi ini butuh self-mastery. Banyak yang belum memiliki hal
itu. Karenanya protokol kesehatan dirasa membebani dan bukan melindungi.
Dalam perang pandemi bermasker, menjaga jarak, dan tidak berkumpul merupakan
keutamaan warga negara dan bagian dari bela negara. "Behaviorisme"
pandemi Manajemen perang pandemi
kita tidak khas. Di seluruh dunia Covid-19 diatasi dengan formula: protokol
kesehatan dan vaksinasi. Sains tahu perilaku virus ini. Tiap hari jumlah
infeksi, kesembuhan, dan kematian dikalkulasi secara statistik. Publik pun
tahu hasil pertempuran harian. Kita rugi jika jumlah kesembuhan lebih kecil
daripada jumlah kematian. Kita menang kalau jumlah kasus turun. Hasil itu
sebagian besar terkait perilaku populasi kita. Perilaku disiplin diganjar
kemenangan. Perilaku indisiplin dihukum dengan kekalahan. Behaviorisme
pandemi berlaku di sini. Dari pola itu solusi teknis
diketahui. Jika kalah dalam pertempuran, pemerintah akan melakukan lockdown.
Jika menang, publik diganjar dengan relaksasi. Semua bisa dijelaskan secara
kurang lebih obyektif dan terukur. Bangsa-bangsa yang berdisiplin dan
bersedia belajar dari mekanisme itu mulai menikmati hasil manajemen pandemi
mereka. Sekarang mereka berani buka masker. Tapi itu memberi harapan bahwa
pandemi bisa dimenangi. Behaviorisme pandemi tentu bukan segalanya, tetapi
lumayan dapat menjadi tuntunan perilaku rasional. Tentu behaviorisme
memiliki keterbatasan yang perlu dikenali. Perilaku anjing, seperti dalam
percobaan Pavlov, mengikuti pola stimulus-respons. Manusia berbeda. Sistem
ganjaran dan hukuman tak serta-merta merangsang atau memotivasinya. Dia
makhluk bebas yang berkesadaran dan membaca simbol. Untuk termotivasi atau
tidak, dibutuhkan komunikasi. Dari sinilah segala kerumitan datang dan
membuat perang pandemi kita tak sederhana. Di negeri kita ini masih
banyak orang yang tak patuh dan sulit sepakat. SARS-Cov-2 adalah fakta
obyektif, kira-kira sama seperti hukum gravitasi, tetapi orang kita
melihatnya berbeda-beda. Celakanya, masing-masing merasa benar sendiri. Ada
yang yakin virus itu bikinan elite global. Yang lain bilang, protokol
kesehatan hanya akal-akalan pemerintah untuk mengontrol agama. Di tengah kekacauan
persepsi itu yang lain lagi malah mengambil keuntungan politis untuk
menjatuhkan pemerintahan. Ditambah hoaks yang berseliweran di media-media
sosial, target perang makin kabur. Perang pun menjadi tidak tunggal,
melainkan majemuk. Orang kita memang
berjuang, tetapi untuk perang mereka masing-masing. Mereka menganggap perang
pandemi bukan perjuangan mereka, melainkan tugas pemerintah. Pemerintahan
mana yang bisa memikul tugas itu sendirian? Mereka yang terdampak oleh
kebijakan PPKM Darurat —dari bisnis kecil sampai besar— menghadapi tiga
kekuatan besar, yaitu: aparat keamanan, mata pencarian, dan infeksi virus. Mereka yang masih bisa
menikmati WFH bisa fokus pada pencegahan infeksi. Namun ketiganya kerap serentak
mengoyak hidup orang kecil. Masih banyak yang belum tahu atau menolak untuk
tahu bahwa Covid-19 itu nyata adanya. Ini serius. Yang mereka tahu, aparat
bengis. Mereka bilang ‘aman’ yang berarti ‘tidak ada petugas yang mencegat’.
Itulah tragedi komunikasi kita. Intensi negara untuk memproteksi rakyatnya
gagal dikomunikasikan kepada mereka. Menyamakan
persepsi Tentu behaviorisme adalah
pendekatan paling mudah bagi pemerintah karena dianggap obyektif dan terukur.
Bagi kelompok rasional yang biasa berdisiplin tinggi pendekatan itu juga
relatif mudah dipatuhi. Penuhnya rumah-rumah sakit, peningkatan permintaan
oksigen, penguburan massal sudah cukup untuk mengendalikan perilaku mereka. Tapi hal-hal itu tak cukup
menakutkan bagi mereka yang sehari-hari menghadapi kesulitan hidup lebih
besar. Jumlah mereka sangat besar di negeri kita. Bagi mereka berkumpul,
terinfeksi, dan mati demi memenuhi kewajiban ibadah atau menghidupi keluarga
adalah lebih bermakna daripada sehat dengan berdiam di dalam rumah. Agaknya
mereka kurang sadar bahwa kita sedang berperang. Orang kita suka berjuang
dan siap mengorbankan diri. Konflik Israel dan Palestina, misalnya, bisa
memprovokasi untuk minta dikirim ke sana. Ada dentuman rudal, bau mesiu,
kucuran darah, pekikan perang, dan semua itu memuaskan bayangan heroisme
klasik orang kita. Apalagi jika berlangsung di luar negeri. Tapi perang di
depan mata tak tampak. Seluruh lanskap perang klasik tak ditemukan dalam
perang pandemi, maka perang itu dianggap tak nyata. Video atau foto tentang
puluhan ribu pasien sesak napas akibat kehabisan oksigen dan ribuan jenazah
yang dikubur dengan protokol Covid-19 belum cukup meyakinkan bahwa ini perang
nyata. Sulit menghubungkan pemandangan kelabu itu dengan kategori perjuangan
dan pengorbanan. Pembingkaian peristiwa
yang berseliweran di media-media sosial membuat perang pandemi menjadi
semacam gosip artis yang dinikmati sambil rebahan. Tak mengherankan,
behaviorisme pandemi yang sebetulnya sederhana itu tak juga dimengerti.
Masalahnya bukan karena orang kita tak pintar. Orang kita justru sangat
pintar memaknai perjuangan dan pengorbanan mereka masing-masing sampai sulit
sepakat tentang target perang kita saat ini. Jadi, masalahnya adalah sikap
keras kepala. Belum ada persepsi yang
sama tentang bahaya SARS-Cov-2. Akibatnya, juga tak ada persepsi yang sama
tentang perjuangan dan pengorbanan terkait bahaya virus itu. “Tak ada yang
dalam pikiran yang sebelumnya tidak dalam persepsi,” kata Thomas Aquinas.
Jika persepsi saja tak sama, bagaimana bisa ada pikiran sama? Tanpa pikiran
yang sama, bisakah kita bertindak bersama? Sudah satu setengah tahun
perang ini berlangsung, tetapi masih sangat banyak yang belum menyadari kita
sedang berperang. Perang ini terlalu abstrak buat mereka. Padahal mereka
selalu membutuhkan yang konkret. Mungkin pandemi baru dipersepsi sebagai
perang sungguhan, saat tubuh orang dekat atau tubuh sendiri terkena. Hal itu
memang konkret, tapi tidak semestinya terjadi. Eskalasi dramatis kasus
infeksi bulan ini saja seharusnya sudah cukup untuk menyamakan persepsi kita
dalam perjuangan dan pengorbanan melawan virus ini. Jika tak bisa meminjamkan
ruang untuk isolasi mandiri, menyumbang oksigen untuk mereka yang sesak
napas, memberi sembako untuk yang lapar, sekurangnya mematuhi protokol
kesehatan. Saat ini itulah cara nyata non-ilusioner dari perjuangan dan
pengorbanan untuk membantu sesama dan menang dalam perang pandemi kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar