Kurban
Egoisme untuk Ketahanan Sosial Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib PWNU dan Pegiat di Center for
Sharia Finance and Digital Economy (Shafiec) UNU Yogyakarta |
KOMPAS, 20 Juli 2021
”Aku
menyayangimu dan menghormatimu, maka aku memakai masker”
merupakan pesan moral yang disampaikan KH Mustafa Bisri (Gus Mus) yang sangat
penting kita refleksikan. Terlebih di tengah menguatnya laku abai dan
ketidakacuhan sebagian besar masyarakat dalam mematuhi berbagai protokol
kesehatan guna mencegah sebaran virus penyebab Covid-19. Gerakan masker yang
diproklamasikan pemerintah sebagai solusi alternatif bagi setiap orang dalam
menjalankan aktivitas dan interaksi sosial di ruang publik seharusnya
disikapi sebagai kesiagaan personal. Sebab, Covid-19 yang sudah mewabah sejak
awal tahun 2020—sebagaimana dilansir oleh Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO)—kemungkinan besar tidak akan bisa sirna dari muka bumi. Meskipun tak bisa ditampik
bahwa menggunakan masker dalam keseharian sangat mengganggu kenyamanan kita
dalam bertutur kata dan menghirup udara, bukan berarti kita bisa beralibi
bahwa masker bisa ditanggalkan. Sebab, di masa pandemi yang tidak jelas
juntrung akhirnya ini, masker merupakan sunnatullah yang tidak bisa ditolak
penggunaannya. Setidaknya, dengan menggunakan
masker kita belajar menyesuaikan diri dengan iklim baru yang mensyaratkan
perilaku preventif agar tidak memperparah suasana kehidupan yang serba
darurat. Bahkan, dalam lingkup yang lebih luas, masker mulai dinisbatkan
sebagai aturan formal yang bisa berdampak hukum bagi setiap pelanggarannya. Oleh karena itu, dalam
masa pandemi ini, kita perlu mengubah cara berpikir kita bahwa masker adalah
pola hidup sehat paling sederhana dalam mencegah sebaran virus korona baru
agar tidak semakin memapar diri kita dan pihak lain. Meredakan
egoisme Untuk memulai hidup baru
dengan bermasker, di antara prasyarat utama yang perlu dilakukan adalah
bagaimana kita meredakan egoisme. Sebab, egoisme merupakan sebuah penyakit
bawaan yang selalu menghalangi diri kita sendiri ketika kita berupaya berbagi
kepedulian kepada orang lain. Tanpa kita sadari, sering
kali kita meremehkan sebuah kenyataan bahwa kita seharusnya menjadi bagian
dari orang lain yang sama-sama membutuhkan kenyamanan. Bahkan, sikap
pengabaian pihak lain muncul sejak dalam pikiran kita dan berimplikasi kuat
pada mengutamakan kepentingan an sich. Padahal, keberadaan pihak
lain yang turut kita pikirkan nasibnya adalah bagian dari diri kita ketika
membutuhkan kenyamanan. Tanpa pihak lain, apa yang kita inginkan, bahwa
kehidupan kita bisa dilingkupi oleh ketahanan sosial yang bisa membuat kita
nyaman dan aman dari virus korona baru, tentu merupakan hal yang mustahil.
Sebab, merujuk pada pemikiran Freud, dalam diri kita ada tiga unsur yang
saling berjalin kelindan, yaitu id, ego, dan super ego yang bisa menunjang
keberadaan kita sebagai manusia yang sempurna. Oleh karena itu, ketika
kita hanya mengedepankan unsur ego dan menafikan unsur id dan super ego yang
saling terkait dengan keberadaan kita, sesungguhnya kita akan terjebak dengan
iklim egoisme yang bisa mencelakakan diri kita. Dan, ketika kita tidak segera
menyadari pentingnya keterlibatan pihak lain yang berkontribusi penting bagi
tumbuhnya kenyamanan yang kita inginkan, tidak tertutup kemungkinan kita akan
terkerangkeng oleh egoisme kita sendiri. Dalam konteks ini, masker
yang sudah dipersyaratkan sebagai gerakan bersama dalam mencegah virus korona
baru, yang dalam gerakan bersama ini membutuhkan pengorbanan masing-masing
kita dalam meredakan egoisme, lalu apakah kita masih ingin mengabaikan dan
mengingkari hanya karena kita merasa risi dan tidak leluasa? Apakah kita
masih ingin bersikukuh bahwa masker hanya semacam lip service di saat virus
korona sudah menyebar melalui udara? Di sinilah problem egoisme yang sering
kali menjuntai dalam pikiran kita dan berdampak pada sikap pengabaian yang
berkelanjutan. Spirit
kurban Idul Kurban yang kita
rayakan menggambarkan sebuah peristiwa penting dalam sejarah pengorbanan Nabi
Ibrahim, yaitu tentang ketulusan Nabi Ibrahim dalam menundukkan egoisme.
Betapa tidak, di tengah penantian panjang merindukan seorang anak, tiba-tiba
datang sebuah perintah Tuhan untuk menyembelihnya. Meskipun terselip sebuah
keraguan dan dengan berat hati Nabi Ibrahim menyampaikan perintah tersebut
kepada Ismail anaknya, atas keyakinan Nabi Ibrahim terhadap perintah Tuhan
tersebut dan ketulusan Ismail yang menerima kenyataan yang harus dihadapi,
Nabi Ibrahim mampu ”membunuh egoisme” dirinya demi sebuah amanah dan perintah
yang disampaikan Tuhan. Pengalaman Nabi Ibrahim
ini menjadi momentum sekaligus pelajaran berharga (lesson learned) bagi kita
bagaimana menumbuhkan spirit kurban. Spirit kurban mendedahkan dua trayektori
yang berdimensi ketuhanan dan kemanusiaan. Pertama, kurban (qurban) yang seakar
dengan kata qaraba, yaitu mendekat, menunjukkan sebuah komitmen dalam
melaksanakan segala apa yang diperintah Allah dan menjauhi segala bentuk
larangan agar kita bisa dekat bersama Tuhan. Dalam konteks pandemi,
makna qaraba yang menunjukkan sebuah komitmen dalam melaksanakan segala apa
yang diperintahkan, maka ketika pemerintah menyerukan kepada kita untuk
menggunakan masker demi terwujudnya ketahanan sosial dari sebaran virus
korona baru, tiada alasan bagi kita untuk mengingkarinya. Sebab, ketika kita
mematuhi apa yang diperintahkan pihak berwenang (ulil amri), pada prinsipnya
kita mematuhi sebuah perintah Tuhan yang tujuannya adalah kemaslahatan
bersama. Dengan alur berpikir
demikian, masker adalah perantara (washilah) terwujudnya sebuah kenyamanan dan
keselamatan bersama agar kita hidup sehat dan melestarikan iklim kehidupan
yang aman di saat virus korona masih mewabah tak kendali. Selain itu, alur
ini akan berimplikasi pada trayektori kedua, yaitu qurban merujuk pada makna
kesediaan jibaku dalam menurunkan sifat individualisme diri kita agar bisa
berbagi suasana simpatik dan empatik kepada pihak lain. Ketika rasa empati bisa
kita tumbuhkan, setiap kita akan bersedia menyayangi satu sama lain agar bisa
sama-sama mengendalikan diri dari segala bentuk perilaku yang bertolak
belakang dengan protokol pencegahan virus korona. Bahkan, dalam lingkup yang
lebih luas, demi terciptanya ketahanan sosial, masing-masing kita akan
menjadi penggerak lingkungan, di mana kita rela diingatkan apabila abai
dengan peraturan bermasker sekaligus rela menunjukkan protokol kesehatan yang
baik dan benar demi terciptanya kehidupan yang nyaman dan aman. Semoga Idul Kurban yang
kita rayakan di tengah pandemi bertransformasi sebagai spirit qurban yang
mendedahkan dua trayektori ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus agar kita bisa
terbebas dari jeratan egoisme demi terwujudnya ketahanan sosial. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar