Negara
”Berutang” Kepada KPK Abraham Samad ; Ketua KPK Periode 2011-2015 |
KOMPAS, 6 Juli 2021
Pernah di suatu acara
diskusi daring yang temanya membahas polemik di tubuh KPK saat ini, ada
peserta yang bertanya bagaimana masa depan Indonesia tanpa KPK? Pertanyaan
itu mengagetkan saya. Menjawabnya tidak mudah, saya berpikir keras dan
kemudian menanggapi dengan menjelaskan situasi sebelum dan sesudah KPK
dibentuk. Pepatah bijak mengatakan,
”bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarahnya”. Bangsa ini
memang tidak pernah belajar dari sejarah masa lalu. Sebelum KPK dibentuk,
gurita korupsi Orde Baru tidak mampu diatasi oleh ”lembaga antikorupsi”
berstempel Istana. Tim Pengawasan Keuangan Negara (Pekuneg/1966), Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK/1967), Komisi Empat (1970), Operasi Tertib
(Opstib/1977), semua bekerja di bawah kendali Istana. Buku Yudi Kristiana, jaksa
yang pernah bertugas di KPK, berjudul Independensi Kejaksaan dalam Penyidikan
Korupsi (2006), cukup menggambarkan situasi itu. Salah satu isinya mengangkat
kiprah Pekuneg yang bekerja berdasarkan UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Orang-orang yang bekerja
di Pekuneg disetujui dan diangkat oleh Istana. Kasus yang diusut, siapa yang
akan ditangkap harus melalui ”restu” Istana. Pekuneg ibarat jaring laba-laba.
Hanya mampu menangkap serangga (koruptor) kecil, tidak pernah menangkap
serangga besar, terlebih mereka yang berafiliasi dengan Istana. Oligarki
Soeharto dan kroninya sangat kuat saat itu. Kiprah Opstib pun sama.
Dalam buku berjudul Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Tiga Zaman yang
diterbitkan Masyarakat Transparansi Indonesia pada tahun 2010 disebutkan
bahwa Opstib, meskipun menjadi lembaga yang sangat berkuasa, tetap saja
dikontrol oleh Istana. Inpres Nomor 9 Tahun 1977 hanya bisa mengusut kasus
korupsi kecil yang tidak bersentuhan dengan rezim. Kiprah lembaga antikorupsi
era reformasi juga tidak terlalu menggembirakan meskipun sedikit lebih baik
dibandingkan dengan ”pendahulunya”. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) usianya tak sampai lima tahun sebelum dilebur ke KPK
berdasarkan Keppres No 45/2004 tentang
Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Sekretariat Jenderal KPKPN
ke KPK. Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) yang dibentuk melalui
Keppres Nomor 11 Tahun 2005 sedikit membawa harapan ketika berhasil mengusut
sejumlah kasus yang melibatkan penegak hukum dengan menangkap dua jaksa yang
memeras salah satu terdakwa dalam kasus Jamsostek. Tim ini juga berhasil
mengusut kasus korupsi di Bulog dengan menersangkakan kakak-beradik
pengusaha, Widjonarko Puspoyo dan Widjokongko Puspoyo. Namun, kelemahan dasar
Timtastipikor ada di strukturnya. Design struktur lembaga ini dalam Keppres
Nomor 11 Tahun 2005 berjumlah 45 orang, terdiri dari 15 orang kejaksaan, 15
orang kepolisian, dan 15 orang BPKP. Sementara pimpinan ketiga unsur itu,
yaitu Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BPKP, menjadi penasihat. Design
struktur itu, menyiratkan konflik kepentingan yang sangat besar dalam
pengusutan kasus tipikor, utamanya yang melibatkan penegak hukum sebagai
aktor dominan dalam kasus tipikor. Era
KPK Sebagai ”anak kandung
reformasi”, KPK membawa harapan arah pemberantasan korupsi yang lebih baik.
Penangkapan Gubernur Aceh Abdullah Puteh tahun 2004 dalam kasus korupsi
pengadaan helikopter membuka asa itu. Kasus Puteh menjadi awal KPK menyasar
kepala daerah yang selama ini menjadi ”lintah darat” dari sengkarut kebijakan
otonomi daerah (otda) pasca-diberlakukan. Setahun kemudian penetapan
tersangka terhadap Probosutedjo bersama pengacaranya, Harini Wijoso, dalam
kasus hutan tanaman industri (HTI) tahun 2005, yang menyeret nama petinggi
Mahkamah Agung (MA), cukup menggoyang MA. Disusul penangkapan Jaksa Urip Tri
Gunawan dan pengusaha Artalita Suryani yang merupakan orang dekat Sjamsul
Nursalim dalam perkara BLBI. Dua kasus itu, mendorong
desakan reformasi total di tubuh kejaksaan dan Mahkamah Agung. KPK berhasil
membuka tabir gelap praktik judicial corruption yang selama ini dilakukan
sembunyi-sembunyi. Pascakasus Urip, KPK
menangkap komisioner Komisi Yudisial (KY), Irawadi Joannes, dalam kasus suap.
Beberapa anggota DPR pun ikut diciduk. Gedung Dewan yang saat rezim Orba
terkesan ”sakral” dan ”angker” untuk dimasuki akhirnya didobrak oleh KPK
dengan tertangkapnya Al Amin Nasution dan Yusuf Emir Faisal dalam kasus
korupsi pengalihan fungsi hutan di Tanjung Bintan dan Tanjung Api-api. Teori jaring laba-laba
berhasil ditepis ketika menersangkakan sejumlah elite penegak hukum, anggota
DPR, sampai pimpinan partai politik. KPK berhasil menyasar praktik korupsi
politik yang tidak saja melibatkan anggota, tetapi ketua umum partai. Luthfi
Hasan Ishaq (PKS) dalam kasus suap impor daging sapi, Suryadharma Ali (PPP)
dalam kasus korupsi pengelolaan dana haji, Anas Urbaningrum (Demokrat) dalam
kasus korupsi penerimaan gratifikasi dan pencucian uang, Setya Novanto
(Golkar) dalam kasus korupsi e-KTP, dan Romahurmuziy (PPP) dalam kasus suap
lelang jabatan Kementerian Agama. Dalam vonis inkracht, kelimanya terbukti
melakukan tipikor. Korupsi sektor politik
memang menjadi benalu yang mengekang demokrasi selama ini. Data KPK pada November
2018 menyebutkan, sekitar 61,17 persen pelaku tipikor yang diproses KPK
adalah aktor politik, atau tipikornya berdimensi korupsi politik (political
corruption). Mereka yang diproses itu terdiri dari 69 anggota DPR, 149
anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam
perkara korupsi. Utang
negara Tulisan ini tidak akan
cukup memuat semua kontribusi yang telah disumbangkan KPK kepada negara.
Tidak jemawa jika mengatakan bahwa selama hampir dua dekade, KPK
perlahan-lahan membalikkan asumsi jika penegakan hukum tanpa pandang bulu
hanya mitos belaka. Peningkatan indeks persepsi korupsi, pencanangan zona
integritas, perbaikan tata kelola layanan publik, pencegahan korupsi sektor
politik, perbaikan tata kelola pengadaan barang dan jasa, dan beberapa
perubahan lain berdosa jika menafikan peran KPK di dalamnya. Namun, cara negara
memperlakukan KPK saat ini seolah membalikkan segala puja-puji itu. Ibarat
”habis manis sepah dibuang”. Lembaganya dilemahkan melalui revisi
undang-undang. Orang-orang berdedikasi, yang selama ini bertaruh nyawa,
mewakafkan dirinya dalam jalan mulia memerangi korupsi disingkirkan melalui
Tes Wawasan Kebangsaan yang legalitas dan akuntabilitasnya dipertanyakan. Mirisnya, tidak sedikit
dari 75 pegawai berdedikasi ini tengah menangani kasus korupsi besar, seperti
kasus suap benur Menteri KKP dan kasus korupsi Bansos Menteri Sosial. Pada
OTT terakhir terhadap Bupati Nganjuk pada 10 Mei lalu, misalnya, Kepala
Satgas Penyelidik Harun Al Rasyid yang memimpin operasi tangan (OTT) bahkan
termasuk satu di antara 75 nama yang tidak lulus TWK, termasuk beberapa nama
lain, seperti penyidik senior Novel Baswedan dan mantan Ketua Wadah Pegawai
(WP) KPK Yudi Purnomo. Novel Baswedan bahkan mengikhlaskan sebelah matanya
buta dalam jalan mulia itu. Situasi ini menunjukan KPK seolah ditempatkan
dalam tingkat derajat paling hina. Jika ada pertanyaan
bagaimana masa depan Indonesia tanpa KPK, lihat bagaimana negara
memperlakukan KPK saat ini. Negara berutang kepada KPK, maka sudah sewajibnya
negara menjaga KPK, bukan melumpuhkan, apalagi mematikannya! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar