Dilema
Menuju Dekarbonisasi Dewa Putra Krishna Mahardika ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Telkom |
KOMPAS, 6 Juli 2021
Sejak terjadinya revolusi
industri pada abad ke-18 lapisan atmosfer menjadi tempat pembuangan karbon
(CO2) secara massal. Semua industri yang menghasilkan emisi karbon dapat
membuang CO2 ke atmosfer tanpa menanggung dampak dari tindakannya tersebut.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, terjadi peningkatan kesadaran
bahaya akibat penumpukan CO2 pada lapisan atmosfer. Kesadaran tersebut
mendorong banyak pihak menuntut agar emisi karbon dikontrol sehingga atmosfer
tidak lagi menjadi tempat pembuangan massal CO2. Bentuk kesadaran global akan
dampak negatif dari penumpukan CO2 di atmosfer terwujud dalam Perjanjian
Paris 2015 yang disepakati oleh lebih dari 195 negara. Perjanjian Paris
menyepakati target untuk membatasi kenaikan pemanasan global pada tingkat
1,5-2° celsius pada 2050. Untuk mencapai target tersebut pemerintah di banyak
negara telah memasang target untuk mencapai emisi CO2 pada tingkat nol
(dekarbonisasi). Ekonomi
hijau dan kebutuhan logam Pemerintah Indonesia juga
telah menetapkan 2060 sebagai tahun untuk mencapai target dekarbonisasi.
Proses dekarbonisasi menuntut pemerintah untuk menjalankan beragam kebijakan
seperti pajak karbon dan perdagangan karbon guna mengontrol tingkat emisi
karbon ke atmosfer. Kebijakan itu pada
dasarnya akan membuat penggunaan energi yang berasal dari bahan bakar fosil
akan semakin mahal sehingga mendorong industri dan masyarakat beralih pada
energi terbarukan yang tak menghasilkan emisi karbon. Transisi dari ekonomi
coklat (yang bergantung pada bahan bakar fosil) menuju ekonomi hijau (yang
bergantung pada bahan bakar terbarukan) memerlukan pengembangan teknologi
hijau (seperti baterai mobil, panel surya, dan penyimpanan energi) guna
memanfaatkan sinar matahari, angin dan minyak nabati sebagai bahan untuk
menghasilkan energi. Namun, disadari atau
tidak, proses transisi tersebut menuntut peningkatan dalam ketersediaan logam
mineral yang digunakan sebagai komponen dalam pembuatan teknologi hijau.
Berdasarkan laporan Bank Dunia 2020 disebutkan terdapat 17 logam mineral yang
berperan sangat penting bagi pengembangan teknologi hijau. Beberapa logam tersebut
antara lain graphite, lithium, indium, nikel dan vanadium. Tuntutan untuk
mencapai target dekarbonisasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah di
beragam negara membuat “perlombaan” dalam mengejar target dekarbonisasi. Perlombaan tersebut akan
meningkatkan permintaan atas 17 logam yang pada akhirnya mendorong terjadinya
peningkatan aktivitas penambangan. Peningkatan aktivitas penambangan dapat
dihindari jika kondisi sirkular ekonomi dapat tercapai sebelum 2050. Dalam sirkular ekonomi
proses daur ulang memainkan peran penting dan melalui proses ini permintaan
atas logam mineral dapat dikurangi karena kebutuhan logam mineral sebagian
akan dipenuhi dari proses daur ulang. Namun, dalam jangka pendek kondisi
sirkular ekonomi sepertinya belum dapat tercapai sehingga target
dekarbonisasi pada 2050 masih menggantungkan pada aktivitas penambangan. Dengan kata lain, dalam
proses dekarbonisasi aktivitas penambangan masih memainkan peran penting
untuk menyediakan logam mineral sebagai komponen penting dalam teknologi
hijau. Peningkatan aktivitas
penambangan dapat ditempuh melalui peningkatan pengolahan mineral pada
tambang yang sudah beroperasi dan melalui penemuan tambang baru. Penambangan
dasar laut Penambangan mineral selama
ini hanya terjadi pada wilayah daratan, namun saat ini wilayah dasar laut
juga mulai dilirik karena adanya potensi cadangan mineral yang besar pada
bebatuan di dasar laut karena bebatuan di wilayah dasar laut memiliki
kandungan mineral yang lebih tinggi dari bebatuan di wilayah darat. Walau sampai saat ini
penambangan mineral skala besar di wilayah laut belum terjadi, beberapa pihak
telah mulai merancang aktivitas penambangan mineral di wilayah dasar laut.
Penambangan mineral di dasar laut memiliki risiko lingkungan yang saat ini
belum diketahui dampaknya secara pasti dalam jangka panjang karena banyaknya
spesies di dasar laut yang belum diidentifikasi. Namun, yang pasti kegiatan
pertambangan di dasar laut akan menyebabkan gangguan pada ekosistem di dasar
laut akibat kehadiran cahaya lampu dan kebisingan yang berasal dari aktivitas
penambangan. Satu hal yang mengkhawatirkan dari gangguan ini adalah kondisi
mikroba pada dasar laut yang memiliki kemampuan menyerap CO2. Gangguan yang dialami
mikroba akibat kegiatan penambangan dikhawatirkan justru akan melepas CO2 ke
atmosfer dan akan mengganggu rantai pasokan makanan bagi ekosistem laut. Jika
kondisi ini terjadi maka usaha untuk menurunkan emisi karbon justru akan
menaikkan emisi karbon. Usaha untuk membuka
tambang baru di wilayah daratan juga mendapat pertentangan akibat dampak
negatif dari limbah yang dihasilkan dari aktivitas penambangan, seperti
penolakan dari masyarakat lokal untuk membuka tambang di wilayah Greenland
yang memiliki kandungan cadangan mineral yang melimpah. Kasus kegagalan operasi
yang menyebabkan pencemaran lingkungan akibat tumpahan limbah juga membuat
usaha untuk memperluas penambangan di wilayah darat mendapat pertentangan.
Seperti pada kasus kegagalan operasi pabrik pengolahan nikel di Papua Niugini
pada 2019 yang menyebabkan tumpahan lumpur merah ke laut. Dilematis Dampak negatif dari
aktivitas penambangan di wilayah dasar laut yang lebih tinggi dibanding di
wilayah darat, membuat beberapa perusahaan raksasa teknologi, yang produknya
bergantung pada ketersediaan logam mineral, tidak bersedia untuk menggunakan
logam mineral yang diperoleh dari penambangan dasar laut. Dengan kondisi dilema
seperti ini maka harus dipikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan logam mineral
yang diperlukan dalam proses dekarbonisasi tanpa harus merusak kondisi
ekosistem. Lagi pula, apalah arti keberhasilan dalam mencapai target
dekarbonisasi jika keberhasilan tersebut dicapai dengan mengorbankan
ekosistem? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar