Korupsi
dan Problematika Internal Partai di Indonesia Firman Noor ; Pusat Penelitian Politik LIPI |
KOMPAS, 6 Juli 2021
Di Era Reformasi, partai
politik memainkan peran yang menentukan dalam kehidupan politik. Namun hingga
hari ini sebagian kalangan melihat partai politik justru sebagai episentrum
dalam beragam masalah politik di Indonesia (Haris, 2014), termasuk terkait
dengan korupsi. Hal ini terlihat misalnya dari maraknya kader partai, baik
kapasitasnya sebagai menteri, kepala daerah maupun anggota legislatif pusat
dan daerah, terjerat korupsi. Kader-kader partai yang berurusan dengan hukum
tidak kunjung surut, yang menunjukkan adanya suatu masalah besar dari
kehidupan partai politik saat ini. Sumber
persoalan Beberapa problem internal
menjadi latar belakang fenomena keterkaitannya partai dengan korupsi.
Pertama, lack of transparency dalam pengelolaan partai. Sudah menjadi
pengetahuan umum, pengelolaan partai saat ini demikian terpusat, dimana
beragam kebijakan penting partai lebih ditentukan oleh segelintir elite
secara eksklusif. Pada kebanyakan partai
kerap malah dilakukan penyingkiran aturan dalam pembuatan kebijakan yang
menyebabkan elite partai dapat dengan mudah mengambil keputusan tanpa harus
berkonsultasi dengan para kader. Di beberapa partai bahkan memang melegalkan
aturan main yang memberikan kekuasaan besar bagi elite partai untuk mengambil
keputusan strategis sepihak (Noor 2021). Akibatnya sejauh menurut para
elite sebuah agenda memiliki prospek menjanjikan dan mendatangkan keuntungan
dalam banyak hak, termasuk keuangan sebuah kesepakatan atau kompromi politik
dapat dilakukan. Hal inilah yang menyebabkan transaksi politik yang eksklusif
dan tidak terkontrol, termasuk soal kompensasi-kompensasi lainnya yang
diperolehnya, menjadi marak dan mudah terselewengkan. Kedua, lack of discipline. Partai tidak cukup
berhasil mendisiplinkan kadernya untuk berpolitik secara bersih dan
bermartabat. Kondisi ini terkait erat dengan kegagalan partai dalam
menanamkan nilai-nilai idealisme melalui sebuah proses pendidikan internal
atau kaderisasi. Saat ini tidak semua partai benar-benar melaksanakan
kaderisasi secara kontinu dan terlaksana di seluruh wilayah kepenguruan. Akibatnya
sikap pragmatis, oportunis, hipokrit berkembang dan menjadi sulit dihindari
dalam mempengaruhi cara pandang maupun sikap para kader. Dengan berkembang dan
terpeliharanya sikap-sikap negatif itu, maka banyak sekali proses politik
menjadi rawan korupsi atau berpotensi besar dimanipulasi. Terbukti kemudian
kader-kader partai, baik langsung maupun tidak, kerap menjadi bagian dari
praktik korupsi mulai dari proses kandidasi –tercermin dari praktik jual beli
perahu—pada ajang kontestasi elektoral, hingga pada pembuatan kebijakan dan
beragam kompensasi politik setelah pemerintahan terbentuk. Ketiga, lack of financial
management. Lemahnya persoalan ini menyebabkan parpol akhirnya mengandalkan
sumber-sumber alternatif dalam menghidupi dirinya dan untuk menjalankan
aktivitasnya mulai dari pusat hingga ke pelosok-pelosok daerah. Ini sudah
menjadi sebuah kenyataan sejak Era Reformasi berlangsung. Kajian Kemitraan dkk
(2011), Perludem (2012), maupun Pusat Penelitian Politik LIPI-KPK (2019)
mengisyaratkan bahwa kebanyakan kondisi keuangan partai-partai sejatinya amat
tidak memadai atau jauh dari ideal. Situasi seperti ini akhirnya memicu kader
untuk mengumpulkan dana dari berbagai sumber, meski kadang melanggar hukum.
Hal ini semua tidak saja dilakukan demi menjalankan roda organisasi, namun
pula dalam rangka memenangkan kontestasi politik. Kebutuhan dana untuk
pengelolaan partai kerap mendorong kader berkorupsi. Sementara kebutuhan dana
yang demikian besar, yang terkait dengan aturan main maupun lingkungan
politik yang semakin koruptif, akhirnya mendorong kader/kandidat melakukan
kolaborasi dengan berbagai pihak yang pada akhirnya menuntut kompensasi.
Catatan KPK menunjukan bahwa salah satu motif dari munculnya praktik politik
uang adalah dalam rangka kompensasi politik dengan beragam bentuknya. Empat
kuadran solusi Sehubungan dengan tiga
persoalan tersebut di atas, maka strategi pembenahan yang harus dilakukan
adalah dengan mengurangi potensi kemunculan ketiganya. Pembenahan partai
tidak saja harus memperhatikan baik hal-hal yang terkait dengan prosedur
maupun substansi. Kajian pelembagaan partai dari Vicky Randall dan Lars
Svasand (2002) mengindikasikan bagaimana persoalan partai harus didekati
tidak saja dari sudut pandang konsistensi struktural atau kesisteman yang
berintikan persoalan prosedur, namun juga sikap dan nilai-nilai (values). Di sisi lain, pembenahan
bagi partai pada akhirnya tidak hanya terkait dengan kondisi internal
melainkan juga dari topangan eksternal yang sedikit banyak akan
mempengaruhinya. Atas dasar pertimbangan itu, maka pada dasarnya pembenahan
meliputi empat kuadran atau dimensi, yakni (1) internal-prosedural, (2)
internal-substansial, (3) eksternal-substansial, dan (4)
eksternal-prosedural. Pada aspek
internal-prosedural fokusnya adalah terutama perbaikan aturan internal partai
dan konsistensi pengedepanan sistem yang terbuka, dimana inti persoalannya
adalah mencegah terciptanya elitisme dan menciptakan disain aturan yang
kompatibel bagi penguatan demokrasi internal. Ini semua diharapkan dapat
menguatkan transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan partai, sehingga
kebijakan-kebijakan partai dapat menjadi lebih terkontrol dan aspiratif. Dengan adanya
transparansi, penetapan kebijakan akan bersifat kolektif, melalui sebuah
pertimbangan-pertimbangan yang aspiratif dan tidak berdasarkan semata
pertimbangan eksklusif dari para elite. Adanya transparansi ini, diharapkan
manakala ada upaya-upaya yang bersifat manipulatif, termasuk potensi politik
uang sudah sejak dini terdeteksi dan dihindari. Pada aspek
internal-substansial hal utamanya adalah pemantapan ideologi partai melalui
pelaksanaan kaderisasi yang terstandarisasi, kontinum dan berorientasi pada
pembangunan idealisme. Adanya kaderisasi atau ideologisasi akan memunculkan
kader-kader dengan idealisme kuat, yang mendahulukan kepentingan rakyat,
bangsa dan partai. Bukan kader-kader oportunis yang bahkan tidak merasa
bersalah untuk menyalahgunakan wewenang, memanipulasi aturan main, hingga
melakukan praktik korupsi. Adanya kaderisasi diharapkan dapat membuat para
kader dapat diandalkan untuk berkomitmen kuat dalam membentuk pemerintahan
yang bersih. Adapun pada aspek
eksternal-prosedural, hal yang terpokok adalah menghadirkan aturan main yang
mendukung penguatan idealisme, profesionalisme, dan kemandirian partai.
Kondisi ini memang tidak terkait langsung dengan pembenahan internal, namun
amat dibutuhkan terutama terkait dengan persoalan lack of financial
management. Untuk itu diperlukan UU yang mendorong terlaksananya pengkaderan
yang berkualitas, terstandarisasi dan kontinum, sebagai upaya menyokong
penguatan idealisme kader partai. Selain itu, diperlukan
pula UU yang dapat makin memperkuat kemandirian finansial partai secara
menyeluruh. Hal ini terutama agar partai dapat menghindar dari ketergantungan
finansial pada oligarkh, yang memungkinkan segelintir orang dapat menguasai
cara pandang, sikap hingga agenda sebuah partai politik. Kasus politik uang
dan ketergantungan pada “cukong politik” dalam konteks pilkada, misalnya,
tidak dapat dipisahkan dengan kenyataan bobroknya kemandirian keuangan
partai. Kelemahan ini secara
mendasar menyebabkan daya tawar politik partai dan kader lemah, dan akhirnya
mendorong mereka menerima begitu saja dukungan dana para oligarkh, yang tentu
saja sarat dengan kepentingan. Kelemahan ini juga tidak saja menyebabkan para
kandidat dalam jangka panjang terjebak dalam praktik kolusi dengan memberi
kesempatan kepada oligarkh untuk lebih berperan dalam pembuatan kebijakan dan
mengambil keuntungan di dalamnya. Sedangkan pada aspek
eksternal-substansial terkait erat utamanya dengan meningkatkan kesadaran
politik masyarakat melalui upaya-upaya pendidikan dan pendewasaan politik.
Pembenahan dari sisi ini juga akhirnya terkait dengan performa partai. Hal
ini mengingat bahwa eksistensi masyarakat yang cenderung permisif kerap turut
berperan dalam menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi partai itu
sendiri. Tanpa ditopang oleh lingkungan politik yang sehat dimana masyarakat
adalah inti di dalamnya, maka perbaikan partai politik akan berjalan lamban
bahkan bisa jadi justru semakin terdorong untuk terus melakukan praktik
politik uang. Aspek
eksternal-substansial ini terkait pula dengan upaya memperkuat kalangan
kritis, yang diharapkan dapat menjadi watch dog bagi partai dan
kader-kadernya untuk tidak berperilaku seenaknya, termasuk melakukan praktik
korupsi. Adanya kalangan kritis ini diharapkan juga dapat turut memberikan
dukungan dan kritik kepada partai-partai secara obyektif, yang dapat turut
menumbuhkan lingkungan yang sehat dan kompetitif bagi partai-partai dan pada
akhirnya pemberantasan korupsi itu sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar