Berkurban
Demi Cinta Kemanusiaan Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah |
KOMPAS, 20 Juli 2021
Perayaan Idul Adha dan
ibadah kurban tahun ini tampaknya dilaksanakan dalam situasi sunyi karena
pandemi Covid-19 belum berakhir. Angka positif Covid-19 masih cenderung
meninggi, mencapai lebih dari 50.000 terindikasi positif per hari. Sejak
tahun lalu, kita mengalami masa-masa sulit, karena terjadi pelambatan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan angka pengangguran dan kriminalitas,
penurunan daya beli masyarakat, pelesuan dunia usaha, dan sebagainya. Menjadi harapan kita semua
bahwa badai pandemi dapat segera berlalu dengan bersatu padu dan berdisiplin
positif mematuhi protokol kesehatan. Bagaimana memaknai spirit Idul Kurban
sebagai titik balik kebangkitan dan sebagai media transformasi sosial ekonomi
bangsa, terutama dalam mengatasi dampak sosial ekonomi akibat pandemi? Merayakan Idul Kurban
bukanlah sekadar penunaian ibadah ritual berupa salat berjamaah di tanah
lapang, di masjid, atau di rumah. Berkurban juga tidak sebatas pengorbanan
simbolik (symbolic sacrifice) dengan penyembelihan hewan kurban dan pendistribusian
dagingnya kepada yang berhak menerima. Akan tetapi, esensi ibadah kurban
adalah aktualisasi jiwa filantropi, kedermawanan sosial, dan cinta
kemanusiaan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah SWT. Memaknai
kurban Secara semantik, ibadah
kurban terkait dengan tiga kata kunci, yaitu
Adha (udhiyah), Nahr, dan Qurban. Dalam bahasa Arab, ketiganya
membentuk keterpaduan makna (tarabuth dalali) dan pesan kemanusiaan mendalam.
Kata adha atau udhiyah artinya binatang yang disembelih pada hari raya Idul
Adha, 10 Zulhijah dan hari-hari tasyrik (11, 12, dan 13 Zulhijah), sedangkan
nahr berarti menyembelih, mengalirkan darah hewan sembelihan. Adapun kata
qurban berarti kedekatan dan pendekatan diri, baik pendekatan spiritual
kepada Sang Khaliq maupun pendekatan sosial kemanusiaan dengan sesama. Makna leksikal tersebut
mengandung titik simpul spiritual bahwa berkurban adalah menyembelih hewan
kurban pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyrik dengan tujuan
pendekatan diri kepada Allah SWT sekaligus kedekatan sosial kemanusiaan
dengan sesama sebagai ekspresi iman, rasa syukur, dan ketaatan kepada-Nya
atas kemurahan rejeki yang diberikan kepada pekurban. Hakikat ibadah kurban
bukan terletak pada prosesi penyembelihan hewan kurban dan pembagian dagingnya
kepada yang berhak menerima. Akan tetapi, esensi berkurban adalah aktualisasi
ujian keimanan, keikhlasan, kebersyukuran, ketaatan, dan kedermawanan dalam
rangka mengembangkan soliditas, kohesivitas, dan sinergitas sistem sosial
kemanusiaan yang membuahkan kedekatan vertikal dengan Allah dan kedekatan
horizontal dengan sesama. Nilai kebajikan ibadah kurban sangat ditentukan
oleh keikhlasan, ketaatan, dan ketakwaan pekurban (QS al-Hajj [22]: 37). Menurut Muslim Hands dalam
The Complete Story of Qurbani: Qurbani in the Qur’an and Hadith (2020),
melalui kurban, kita menegaskan kembali apa yang terkadang kita lupakan dalam
hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bahwa kita sepenuhnya milik Allah, tunduk
kepada-Nya, dan harus rela mengorbankan apa pun yang diminta dari kita untuk
dekat dengan-Nya dan mendapatkan keridaan-Nya, seperti yang pernah
diteladankan Nabi Ibrahim AS. Oleh karena itu, berkurban
menghendaki totalitas ketulusan, kedermawanan, dan ketaatan kepada Allah
sehingga tidak menyisakan ruang batin untuk “kalkulasi duniawi” untung rugi
atau pencitraan diri. Sebab berkurban merupakan manifestasi kecintaan
autentik tanpa syarat kepada Sang Kekasih yang Maha Pemberi. “Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu (Muhammad) nikmat yang sangat banyak. Karena itu,
dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya, orang-orang
yang membenci kamu dialah yang terputus.” (QS al-Kautsar [108]: 1-3). Berkurban adalah bukti
cinta sejati dan aktualisasi takwa pekurban. Ketika diminta menunjukkan bukti
cinta dengan “menyembelih” anaknya, Ismail AS, tanpa ragu sedikitpun, Nabi
Ibrahim AS bersikap sami’na wa atha’na, meskipun perintah menyembelih itu
datang melalui mimpi (QS ash-Shaffat [37]:100-110). Bukankah anak yang
dicintainya itu merupakan aset pemberian-Nya, bukan miliknya sendiri,
sehingga harus diserahkan kepada Sang Pemberi ketika dimintanya? Prosesi “penyembelihan”
Ismail AS di lembah Mina yang sunyi ternyata bukan tanpa godaan dan
rintangan. Perjuangan Ibrahim AS membuktikan cinta, ketaatan, dan ketakwaan
kepada Allah SWT diprovokasi dan dihalang-halangi oleh setan. “Apakah engkau
sudah gila, wahai Ibrahim AS, anak kesayanganmu akan mati di tanganmu
sendiri?” Begitulah bujuk rayu setan untuk menggagalkan niat suci Ibrahim AS
ketika akan mengeksekusi Ismail AS. Setan memang musuh nyata
manusia yang selalu membelokkan niat dan tujuan mulia untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Meskipun harus berpindah tempat sampai tiga kali dan setan yang
menggoda itu telah dilempar batu berulang kali, hati Ibrahim bergeming, tetap
tegus pendirian dan niat sucinya untuk menyembelih Ismail. Pembuktian cinta
dan takwanya sukses akhirnya dijalankan dengan sepenuh hati. Sebagai
apresiasi terhadap ketulusan dan kesabarannya dalam menerima ujian iman,
Ibrahim diganjar Allah dengan penebusan seekor sembelihan yang besar; Ismail
dibebaskan dari penyembelihan (QS ash-Shaffat [37]: 107). Liberasi
dan humanisasi Kisah pengorbanan Ibrahim
AS sejatinya sarat dengan pesan pembebasan (liberasi) dan pemanusiaan manusia
(humanisasi). Dalam Sacrifice in Judaism, Christianity, and Islam (2017),
David L Weddle berkesimpulan bahwa masing-masing agama Ibrahim ini telah
menggunakan simbol pengorbanan yang dalam dengan caranya sendiri, tetapi
semua telah mengangkatnya sebagai cita-cita agama dan moral. Setidaknya,
pengorbanan sebagai pemberian diri untuk kesejahteraan manusia (amal
kemanusiaan) tidak memiliki sejarah berdarah seperti pengorbanan untuk
kesempurnaan transenden abstrak. Ketika Ismail tidak jadi
disembelih dan diganti dengan hewan sembelihan, sejatinya Allah menghendaki
tradisi penumbalan manusia atas nama dewa atau penguasa itu dihentikan.
Manusia tidak selayaknya dikorbankan. Hak hidup manusia harus dilindungi dan
dijaga. Manusia harus dibebaskan dari tradisi pengorbanan dan kriminalisasi. Sebaliknya, yang layak
dikorbankan adalah binatang. Yang harus disembelih adalah sifat-sifat
kebinatangan yang “memenjarakan” kemerdekaan manusia sebagai makhluk mulia.
Karakter egois, rakus, tamak, dengki, iri hati, ingin menang sendiri, watak
menghalalkan segala cara, kikir, kejam, dan sebagainya harus disembelih dan
dienyahkan; lalu diganti dengan karakter positif: empati, simpati, berjiwa
filantropi, rela berbagi, mengasihi, menghormati, dan mencintai demi
kemanusiaan sejati. Di masa pandemi ini,
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memfatwakan bahwa berkurban hewan
dapat dialihkan dalam bentuk donasi finansial kemanusiaan (sedekah) untuk
menolong warga bangsa yang secara sosial ekonomi terdampak Covid-19. Spirit
berkurban dalam bentuk sikap empati dan kerelaan berbagi rejeki kepada sesama
sesuai dengan kemampuan diyakini menjadi solusi strategis terhadap krisis
kemanusiaan yang serius, seperti: kekurangan pangan dan gizi, kelesuan
ekonomi, kemiskinan, kerawanan dan konflik sosial, hingga kematian akibat
tidak mendapat layanan kesehatan. Dengan kata lain,
berkurban di masa pandemi ini sangat penting diaktualisasikan dalam rangka
menumbuhkembangkan cinta kemanusiaan dalam bentuk liberasi dari segala bentuk
penyakit hati seperti: rakus, korup, tamak, egois, kikir, asosial, dan
sebagainya menuju humanisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan spirit
mengasihi sesama. Berkurban demi cinta kemanusiaan merupakan bentuk
keteladanan profetik yang perlu diwujudkan dengan menggelorakan spirit
filantoropi, kepedulian, dan kedermawanan sosial. Berkurban demi cinta
kemanusiaan tidak hanya berorientasi penyelamatan masa depan manusia dalam
bentuk liberasi dan humanisasi, tetapi juga melejitkan spirit transendensi,
pendekatan diri secara vertikal kepada Allah dan pendekatan horizontal dengan
sesama. Oleh karena itu, pandemi ini harus menyadarkan semua untuk semakin
bersatu dan bersinergi dengan ketulusan berkurban jiwa, raga, dan harta benda
untuk menyelamatkan negeri dari segala keterpurukan dan krisis kemanusiaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar