Konsistensi
Perangi Covid-19 Djoko Santoso ; Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; Ketua Badan Kesehatan MUI Jatim; Penyintas Covid-19 |
KOMPAS, 1 Juli 2021
Penggemar sepak bola
menikmati siaran langsung pergelaran Piala Eropa 2020 dengan penonton yang
hampir memenuhi kapasitas stadion. Terlihat sorak-sorai, jingkrak-jingkrak,
dan mayoritas tak menggunakan masker. Untuk masuk stadion, selain membayar
tiket, penonton lokal cukup menunjukkan kartu vaksinasi, sedangkan penonton
warga negara asing harus menunjukkan kartu tes usap. Mengapa ini bisa terjadi?
Inggris dan Hongaria sebagai tuan rumah mengklaim sudah berhasil memvaksinasi
lebih dari 90 persen warganya. Mereka juga merasa sudah berhasil menerapkan
protokol kesehatan (prokes) dengan tertib sehingga otoritas setempat merasa
cukup aman menggelar Piala Eropa 2020 dengan penonton hampir penuh. Rasanya menyesakkan dada.
Banyak negara Eropa sudah berhasil ”mengatasi” pandemi sehingga sudah bisa
melonggarkan aktivitas publiknya. Begitu pula di China. Kita dipameri wisuda
11.000 mahasiswa tanpa masker pada Minggu (17/6/2021) di Wuhan, tempat asal
virus Covid-19. Sementara pada saat yang
sama kita malah dihajar gelombang serangan kedua Covid-19 yang lebih dahsyat.
Membandingkan kondisi Eropa dan China itu bisa makin menyulitkan kampanye
pengetatan prokes di sini. Di sana, bahkan di sumbernya Covid-19, sudah bebas
masker, kenapa di sini tambah diketati? Kenapa tak diikuti saja
pelonggaran di sana? Disusul pertanyaan lain yang bernada ketidakpercayaan
tentang seriusnya gelombang baru ini. Sekalipun berita kemalangan nyata
berlimpah dalam serangan Covid-19 kali ini, ada yang terus menggaungkan
ketidakpercayaan. Sebenarnya pelonggaran
prokes dalam kerumunan Piala Eropa itu juga mengundang keprihatinan WHO.
Direktur Eksekutif Regional WHO Robb Butler, dikutip AFP, meminta bertindak
cepat jika ada peningkatan kasus. Dalam pertandingan di Denmark ditemukan
lima penonton positif Covid-19. Kemudian dilakukan pelacakan dengan mengetes
4.000 penonton. Tak terbayangkan jika yang positif makin banyak. Kepercayaan diri terlalu
besar terhadap penanganan Covid-19 kerap membuat bencana. India sempat dipuji
media, dianggap bisa mendekati kekebalan kelompok (herd immunity), Februari
lalu. Saat itu pejabat WHO Soumya Swaminathan juga mengingatkan jangan
menyepelekan dan melonggarkan prokes. Dan benar, setelah kerumunan besar
akibat ritual mandi Kumbh Mela 1-17 April di Sungai Gangga, meledaklah Covid-19
di India. Ngerinya, ledakan kasus itu menimbulkan mutasi varian Delta yang
kini memukul berat Indonesia. Tampaknya memang susah
konsisten belajar dari pandemi yang sudah 1,5 tahun ini. Hasrat selalu
berkumpul sebagai makhluk sosial kerap tak tertahankan justru saat harus
memperketat prokes. Apalagi, ada momen-momen hari besar. Kini kita merasakan
dampak bobolnya larangan mudik, ditambah ”bobolnya” varian asing ke
Indonesia. Varian Delta yang menyebar
menunjukkan, tak hanya pemudik lokal yang jadi penyebab meledaknya Covid-19
saat ini. Di saat rakyat dilarang mudik, pemerintah kurang menutup pintu
republik kita dari pendatang dari luar. Kritikan agar tenggang rasa kepada
rakyat yang dilarang mudik tak begitu digubris. Ledakan
dalam keterbatasan Angka pertambahan kasus
harian yang sebelumnya sudah menurun ke titik paling rendah, yaitu 2.385
kasus pada Sabtu (15/5/2021) dengan kematian 144, kini meroket hingga
menembus 21.342 per hari dan 409 meninggal, Minggu (27/6/2021). Besoknya,
Senin (28/6/2021), turun sedikit ke 20.694 kasus, tetapi angka kematian naik
ke 423. Rumah sakit dan RS daerah
penuh pasien, dokter dan tenaga medis kewalahan. Media massa tiap hari
menyajikan berita pasien yang tak bisa tertampung di ruang perawatan sehingga
harus antre di selasar, bahkan halaman RS. Angka kematian melonjak, hingga
lahan pemakaman cepat penuh. Kasus Kudus dan Bangkalan,
yang jadi episentrum awal ledakan baru, akhirnya merebak menjadi kasus
nasional. Segera angka kasus positif melonjak. Di sana ditemukan varian baru
B1617.2 (Delta) yang asalnya dari India, dengan karakter jauh lebih menular,
mengganas lagi, dan sekarang sudah menyebar di 85 negara. Di Inggris, Public Health
England melaporkan varian Delta 60 persen lebih menular dibandingkan varian
Alfa. Waktu pengganda (doubling time)-nya berkisar 4,5-11,5 hari. Varian
Delta mempercepat rusaknya paru-paru, dari sebelumnya 5-10 hari menjadi hanya
dalam sehari! Maka, banyak berita kematian, pasien hanya 2-3 hari dirawat di
RS. Sebuah studi di Singapura
mencatat, infeksi varian Delta memungkinkan pasien lebih membutuhkan bantuan
oksigen, perawatan lebih intensif, dan meningkatkan risiko kematian. Varian
ini juga lebih gampang menyerang anak-anak. Dengan karakter seperti ini,
Delta sangat berbahaya sehingga WHO memasukkannya sebagai variant of concern
(VoC) yang harus sangat diwaspadai. Sampai 23 Juni,
Kementerian Kesehatan mencatat ada 160 kasus positif karena varian Delta yang
tersebar di sembilan provinsi, terbanyak di DKI Jakarta dengan 57 kasus.
Artinya, varian Delta yang ganas sudah mulai menyebar. Para epidemiolog selalu
berusaha meyakinkan, cara paling mendasar meminimalkan penularan adalah
dengan pembatasan mobilitas, entah penerapan pembatasan kegiatan masyarakat
(PPKM), lockdown, atau lainnya. Namun, saran ini langsung
dilawan dengan argumen sangat mendasar: siapa yang menjamin pasokan makan
bagi mayoritas rakyat kelas bawah jika lockdown? Secara realistis, Gubernur
DIY Sultan Hamengku Buwono X mengaku terus terang tak kuat membiayai rakyat
kalau lockdown. Begitu pun Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil karena tak punya
anggaran untuk lockdown. Dengan segala keterbatasan
itu, akhirnya pemerintah mengambil sikap lebih kompromistis. Pembatasan
mobilitas hanya dalam skala terbatas atau PPKM mikro. Tingkat lingkungan, RT,
RW, atau paling tinggi desa. Sambil terus menggenjot vaksinasi agar segera
mungkin mencapai level kekebalan kelompok. Jangan
lagi pilih kasih Namun, baik pembatasan
mobilitas maupun vaksinasi juga tak bisa berjalan mulus. Ada problem, opini
dan narasi kontra bertebaran, diproduksi oleh mereka yang sebetulnya tak
punya kompetensi. Termasuk berbagai ceramah yang mengobarkan ketidakpercayaan
kepada pandemi dan vaksinasi, serta menentang pembatasan kerumunan kegiatan
beribadah meski lembaga besar umat beragama, seperti Muhammadiyah, NU, MUI,
KWI, dan PGI, mendukung langkah pembatasan ibadah berjemaah demi mencegah
penularan Covid-19. Orang-orang tak masuk akal
yang menyebarkan teori konspirasi Covid-19 dan menentang vaksinasi memang
sedikit, tetapi nyaring. Kadang bisa memengaruhi pendapat sebagian orang
sehingga timbul ketidakpercayaan kepada penanganan pandemi oleh pemerintah.
Sampai Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir pun mengutarakan kejengkelannya
kepada mereka. ”Anda tidak bertanggung jawab,” katanya, Senin (24/6/2021). Ketidakpercayaan kepada
konsistensi penanganan pandemi juga jadi problem pada pembuat kebijakan.
Membiarkan pendatang asing saat rakyat dilarang mudik Lebaran jelas tak
sensitif. Ada kesan pilih kasih, justru terhadap rakyat sendiri. Ditambah
fakta berbagai kasus pejabat atau orang dekat pemerintah membuat kerumunan
tidak ditindak. Mereka yang patuh prokes
dan pembatasan sosial pun bisa merasa ada aspek tak fair atau kesan
sewenang-wenang. Padahal, asas paling mendasar dalam pembuatan dan
pelaksanaan aturan adalah kesamaan di depan hukum dan keadilan. Semestinya
pembuat kebijakan introspeksi dan mendisiplinkan diri agar kepercayaan
kembali kuat. Apabila aspek fairness ini terpancar dalam langkah dan
kebijakan penanganan pandemi, besar kemungkinan rakyat lebih mudah diarahkan
karena pembuat kebijakan pun disiplin serta tidak pilih kasih. Salah satu kritik yang
mulai didengar adalah soal perbedaan perlakuan tempat kerumunan, antara
tempat ibadah dan pusat perbelanjaan (mal). Ketua Satgas Covid-19 Ganip
Warsito pada Senin (28/6/2021) mengumumkan, mal boleh buka sampai pukul
17.00. Biasanya boleh buka seperti biasa, hingga pukul 21.00 atau lebih. Sensitivitas untuk adil
dalam kebijakan di masa krisis ini sangat penting dalam mengundang
partisipasi masyarakat untuk ikut menyukseskan penanganan pandemi. Sensitivitas ini juga
perlu dalam penindakan. Jangan hanya orang kebanyakan yang powerless yang
ditindak dan dipaksa menuruti aturan. Para elite juga harus ditindak ketika
melanggar aturan. Di Eropa, Komisaris Perdagangan Uni Eropa Phil Hogan mundur
karena melanggar prokes. Demikian pula Mendagri Samir Mobeideen dan Menteri
Kehakiman Bassam-Talhouni di Jordania. Presiden Brasil Jair Bolsonaro didenda
karena kerumunan dalam pembagian sertifikat dan tak memakai masker. Yang mutakhir, Menkes
Inggris Matt Hancock mundur pada Minggu (27/6/2021) karena melanggar prokes
dengan memeluk dan mencium stafnya saat lockdown. Banyak lagi contoh
keteladanan tanggung jawab pemimpin dan pejabat di negara-negara lain.
”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” harus diterapkan dengan
konsisten di negara Pancasila ini demi memperkuat rasa gotong royong. Penggunaan cara saintifik
ditambah disiplin kuat dari elite hingga rakyat jelata akan bisa memudahkan
kita keluar dari pandemi ini. Ditambah vaksinasi massal yang dipercepat.
Target vaksinasi sejuta sehari yang dicanangkan pemerintah mesti didukung.
Juga mempercepat vaksin untuk anak dan remaja. Proses seperti inilah yang
dilalui negara-negara yang dianggap relatif bisa mengalahkan pandemi, seperti
negara-negara Eropa yang sudah bisa bersorak-sorai di stadion sepak bola. Tak
perlu iri. Kita lalui saja prosesnya dengan disiplin dan konsisten pada
segala pihak agar kita bisa menuju ke sana. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar