”Jopro”
dan Sampah Demokrasi Wim Tohari Daniealdi ; Dosen FISIP Unikom Bandung |
KOMPAS, 4 Juli 2021
Pada Minggu, 20 Juni 2021,
jagad media sosial Twitter mendadak ramai dengan tagar #TangkapQodari. Tagar
ini ditujukan kepada Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, yang
pada hari itu mendeklarasikan berdirinya kelompok sukarelawan Jokowi-Prabowo
atau disingkat Jopro. Sebagaimana informasi yang
beredar, menurut rencana, mereka mengusung kedua tokoh nasional tersebut pada
Pilpres 2024. Hal ini, kemudian, mengindikasikan secara otomatis dorongan
Presiden Jokowi menjabat tiga periode. Terang saja ide ini
terdengar janggal. Sebab, secara otomatis, realisasi terhadap ini harus melabrak
tiga aras pakem politik. Pertama, pakem konstitusi yang mengamanatkan jabatan
presiden hanya boleh dua kali. Membongkar pakem ini secara otomatis harus
mengamendemen lebih dahulu UUD 1945. Tentu, dampak biaya dan risikonya akan
sangat tinggi. Kedua, pakem normatif.
Presiden Jokowi sudah menyatakan secara terbuka bahwa siapa pun yang
mengusulkannya menjabat tiga periode hanya dua kemungkinan, yaitu ingin
mencari muka atau ingin menampar muka Presiden. Ini menunjukan pernyataan
yang sangat jelas dan keras terhadap sosok dengan pola komunikasi politik
setenang Jokowi. Melawan pakem ini jelas
tidak mudah. Sebagaimana kita saksikan tempo hari di jagad Twitter, rencana
Qodari CS langsung disambut gerakan virtual #tangkapQodari oleh para netizen,
baik dari pendukung Jokowi maupun yang beroposisi. Ketiga, pakem logika
politik itu sendiri, di mana skema yang ditawarkan Qodari CS untuk meletakkan
Jokowi sebagai presiden dan Prabowo sebagai wakil presiden, adalah sebuah
hipotesis yang bisa dikatakan serampangan. Seolah-olah kedua tokoh ini
berdiri di ruang kedap yang tak terikat pada variabel lain selain dirinya.
Qodari CS agaknya lupa bahwa di belakang kedua tokoh tersebut, ada partai
politik, oligarki, dan masa pendukung yang memiliki aspirasi dan ambisinya politiknya
masing-masing. Akan tetapi, terlepas dari
kejanggalan ekstrem yang dilontarkannya, ide ”Jokowi-Prabowo untuk 2024”
sebenarnya memiliki maksud yang jelas, untuk menyelamatkan asa reformasi di
negeri ini. Sebagaimana yang sudah disampaikannya di beberapa kesempatan,
Qodari CS tampaknya mengarah ingin mencairkan polarisasi massa Pilpres
2014-2019 yang hingga kini masih menimbulkan ”polusi” di ruang demokrasi
kita. Sebagaimana kita ketahui
bahwa pasca-Pilpres 2014, telah terjadi ”pembalseman” artefak konflik pilpres
yang mengakibatkan polarisasi massa pendukung kandidat presiden
terfregmentasi ke dalam dua kubu yang pro dan kontra pemerintah. Kondisi ini
membentuk pola budaya politik yang konfliktual, di mana hampir semua isu
politik, momen politik, dan agenda politik selalu menghadirkan dua sikap atau
pendapat yang konfrontatif, bahkan saling menegasikan satu sama lain. Sebagai dampak lanjutan
dari kondisi tersebut, terjadi pematenan loyalitas kelompok dan tertutupnya
jalan ketiga. Skema popularitas hanya dirumuskan ke dalam dua kutub figur,
yaitu Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, tidak ada figur-figur alteratif yang
bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam lima tahun terakhir. Sebab, siapa
pun akan diidentifikasi orientasi keberpihakannya pada figur Jokowi atau
Prabowo. Tanpa kita sadari,
fenomena ini telah mengerdilkan mekanisme demokrasi sebagai sokoguru
merit-system. Para tokoh dan politisi di negeri ini lebih mengejar stigma
asosiasi dirinya dengan kedua figur yang ada daripada bekerja merumuskan satu
prinsip atau visi masa depan politik yang otentik. Sebagaimana kita saksikan,
persaingan Pilpres 2019 bahkan tidak melahirkan profil pemimpin baru dan sepi
dari gagasan orisinal. Tidak ada satu pun dari narasi-narasi yang muncul
kepermukaan membawa sebuah konsep yang luas diperbincangkan dan menjadi isu
nasional. Semua isu yang muncul selalu dipaksa kembali pada satu dari dua
konklusi, ”tetap Jokowi” atau ”ganti presiden”. Dampak lanjutan yang
muncul kemudian adalah terjadinya sakralisasi figur. Baik Jokowi maupun
Prabowo menjadi sosok yang demikian dipuja, tetapi sekaligus ditentang.
Profil mereka menjadi sakral dan kehilangan nilai manusiawinya. Akibatnya,
terjadinya simplifikasi sistem politik di negara kita. Dari semula bersifat
institusional menjadi personal. Mirip seperti era Orde
Baru dan Orde Lama. Hanya bedanya, jika pada kedua era sebelumnya, baik
Soekarno maupun Soeharto membangun sendiri sakralitas dirinya dan menghimpun
dalam dirinya semua kekuasaan politik. Kini, baik Jokowi maupun Prabowo
disakralisasi oleh para pendukungnya. Fakta ini jelas mencemaskan. Sebab,
demokrasi sejatinya menuntut agar kita menginstitusionalkan sistem, bukan
mempersonalisasikannya. Inilah yang luput dipahami
selama polarisasi ini berlangsung. Bahwa presiden bukanlah sosok, melainkan
sebuah sistem politik. Dalam konstitusi pun disebutkan bahwa presiden adalah
sebuah lembaga tersendiri. Ini menunjukkan bahwa pemilihan presiden tidak
bisa disimplifikasi menjadi sekadar pemilihan figur personal, tetapi sebuah
mekanisme pemilihan sebuah lembaga politik. Maka, tidak ada yang aneh,
ketika selesai Pilpres 2019, Jokowi merangkul Prabowo untuk masuk bergabung
ke dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan. Selain benar secara
konstitusional, langkah tersebut dianggap sebagai terobosan positif dari
kedua tokoh kunci ini untuk mencairkan polarisais kelompok yang ada. Namun, sebagaimana kita
saksikan bersama, alih-alih mencair, polarisasi tersebut tampaknya malah
membentuk struktur polarisasi baru, tetapi dengan format komposisi yang mirip
demi menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Jadi, sangat wajar jika ada
sebagian kelompok anak bangsa yang resah dan terpanggil untuk memecah arus
besar ini. Mengusung ide kontroversial ”Jopro 2024” mungkin hanya salah
satunya. Jangan lupa, polarisasi
yang terbangun sejak Pilpres 2014 itu sudah beberapa kali mengalami eskalasi
puncak yang mengancam persatuan dan kesatuan nasional. Bahkan, keduanya, pada
titik ekstrem, telah secara serampangan membawa klaim keagamaan dan
kebangsaan. Sebagaimana kita tahu,
kedua klaim ini adalah racikan paling berbahaya bagi negara dengan tingkat
heterogenitas sekompleks Indonesia. Sebab, secara geneologis, kedua klaim ini
memiliki daya pikat yang luar biasa. Seseorang ataupun satu
kelompok akan sangat militan dalam menganut keduanya. Daya ikatnya pun tak
kalah kuat. Keduanya menuntut kesetiaan tanpa batas, hidup atau mati. Sejarah
peradaban manusia merekam, jutaan nyawa manusia melayang dalam konflik atas
nama agama dan bangsa (nasionalisme). Akan tetapi, di balik sisi
gelapnya, kedua klaim ini, baik agama maupun kebangsaan, sesungguhnya
memiliki energi mahabesar untuk melindungi semua hak manusia yang paling
fundamental, yaitu hak hidup dan hak mengenyam kebebasan, yang mana merupakan
cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Sejarah lagi-lagi menunjukkan bahwa tak ada
satu doktrin pun yang bisa demikian luas melayani kemanusiaan selain agama
dan rasa kebangsaan. Maka, tidak mengherankan jika para pendiri bangsa ini
menyusun rencana politik yang sangat mapan dengan membuat skema konvergensi
kebangsaan baru di atas pondasi keagamaan dan kebangsaan yang ada di
Nusantara. Sayangnya, yang kini
sedang dipentaskan di negeri ini justru sisi kelam dari keduanya. Saat
kebangsaan Indonesia sedang mencapai puncaknya dan menjadi satu prinsip
kebangsaan tersendiri, sisi tersebut menjadi begitu chauvistik. Nilai-nilai
kebangsaan dimonopoli, didefinisikan secara sepihak, dan kemudian dijadikan
sebuah otoritas untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik. Tiba-tiba atas
nama rasa kebangsaan, semua yang berbeda dengan pilihan politiknya menjadi
”tidak Indonesia”, melawan Pancasila, dan anti-kebinekaan. Sementara di sisi lain,
nilai-nilai keagamaan yang sudah begitu cair di relung kebudayaan masyarakat
justru hadir dalam wajah yang begitu garang. Agama Islam yang sejak awal
hadir dengan profil profetiknya dan sudah turut membidani lahirnya kebudayaan
baru nusantara modern justru saling mengecam di antara para pemeluknya. Islam
serta-merta menjelma menjadi struktur otoritas yang kaku. Agama yang terkenal
begitu damai dan bersahabat ini muncul dalam bentuknya yang paling eksklusif,
bahkan begitu keras pada sesama penganutnya yang berbeda tendensi politik. Jelas indiksinya,
kedua-duanya, baik nilai-nilai kebangsaan maupun agama telah ditunggangi dan
dimanipulasi. Tujuannya tidak lain untuk mengikat kesetiaan massa seluas
mungkin. Sebab, sebagaimana sejarah lagi-lagi membuktikan, hanya kedua klaim
inilah yang bisa mengikat militansi kelompok hingga ke titik paling ekstrem
sekalipun. Sayangnya, saat ini, semua
lapisan kelas masyarakat, mulai dari elite hingga akar rumput sudah
terstigmatisasi dengan dikotomi ini, di mana ancaman terhadap NKRI ini dibuat
seolah-olah nyata sehingga glorifikasi untuk menyelamatkan NKRI menjadi
jargon yang terus mengemuka selama lebih dari lima tahun terakhir. Demikian
juga sebaliknya, wacana tentang ancaman penistaan agama dan penghancuran
agama secara sistematis oleh kelompok tertentu terus didengungkan. Terkait dengan itu, tidak
bisa tidak, kedua klaim ini harus segera dirobohkan dengan cara apa pun. Jika
tidak, hari-hari ke depan kita akan di bayang-bayang masa depan yang kelam,
di mana rasa kebangsaan akan menjelma menjadi fasisme dan nilai-nilai
keagamaan akan menjadi fanatisme buta. Sejarah sudah menunjukkan, kedua-duanya
tidak pernah melayani kemanusiaan, tetapi akan menyeret martabat kemanusiaan
hingga ke titik terendah peradabannya. Pada akhirnya, kita boleh
tidak menyetujui gagasan ekstrem yang dilontarkan Qodari CS. Namun, jangan
sampai kita menolak pesan fundamental yang menjadi sumber keresahannya.
Persoalan utama kita bukan merumuskan siapa kandidat untuk 2024, tetapi
membersihkan sampah konflik yang sudah berserak di tengah masyarakat. Sebab,
tentu, kita tak ingin demokrasi yang kita banggakan bersama harus mati di
altar provokasi. Wallahu’alam bi sawab.
● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar