Industrialisasi
dan Komodifikasi Permainan Rakyat Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi
Visual FSR ISI Yogyakarta |
KOMPAS, 4 Juli 2021
Seraya mengutip pemikiran
James Walvin, sejarawan sepak bola Inggris, Trias Kuncahyono, wartawan
senior, menorehkan tulisannya berjudul Piala Eropa 2020: Permainan Rakyat.
Dalam representasi pendapatnya, Trias menuliskan kesaksiannya, permainan
rakyat berjuluk sepak bola merupakan simbol budaya visual. Pada sudut ini termaktub
makna konotasi perihal kesamaan peluang dan perubahan. ”Sebagai the people’s
game, sepak bola begitu sukses karena telah menjadi simbol kesamaan
kesempatan dan perubahan”, tulisnya. Ditambahkan Trias sembari menyitir
pendapat R Giulianotti dan R Robertson, dalam Globalization and Sport (2007),
”Dipadu secara sempurna dengan karakteristik utama masyarakat industri Barat
modern—kerja tim dan kompetisi—menjadi sangat berhasil’’. Opini Trias Kuncahyono yang
terpampang di kolom Opini Kompas.id (18/6/2021) tampil menarik para pihak.
Mengapa demikian? Karena buah pemikiran Trias yang renyah ini mampu
menggoyang sekaligus membangkitkan hasrat warganet untuk memperbincangkannya
dalam diskusi virtual di jagat maya. Peluang
dan perubahan Guy Debord pernah
mengatakan, kapitalisme modern telah mengubah wajah realitas sosial jagat
raya menjadi panggung pertunjukan raksasa. Ia hadir dengan berbagai peluang
dan perubahannya. Artinya, sebagai sebuah tontonan yang mempertunjukkan
permainan rakyat bernama sepak bola, keberadaannya memberikan peluang bisnis
dengan hadirnya merek produk barang dan jasa yang memosisikan dirinya sebagai
sponsor pertunjukan tontonan sepak bola. Lalu apa perubahannya?
Realitas sosial mencatat keberhasilan industri tontonan mengomodifikasikan
permainan rakyat sepak bola. Prinsipnya, bagaimana caranya agar permainan
rakyat sepak bola dapat dijual dan mendatangkan keuntungan finansial sebanyak
mungkin. Dengan demikian, ketika
permainan rakyat sepak bola berhasil dibungkus menjadi komoditas dalam
perspektif jagat industrialisasi tontonan, pada titik ini permainan rakyat
sepak bola membelah dirinya menjelma pasar besar berskala internasional.
Batang tubuhnya didedikasikan untuk memasarkan produk barang dan jasa milik
jaringan saudagar kapitalisme global. Pada titik ini, seluruh
media massa cetak, elektronik, dotcom, dan media sosial menayangkan iklan
merek produk barang dan jasa milik jaringan saudagar kapitalisme global.
Tayangan iklan itu sebagai representasi industrialisasi dan komodifikasi
permainan rakyat sepak bola. Tayangan iklan berjubah permainan rakyat sepak
bola diyakini mempunyai efek psikologis, sosial, ekonomi-bisnis, politik, dan
budaya yang luar biasa dahsyatnya. Pertanyaannya, mengapa
ketika permainan rakyat sepak bola berhasil diformat menjadi sebuah komoditas
harus diikuti dengan produksi tontonan dalam perspektif jagat industrialisasi
bisnis pertunjukan? Jawaban dalam taferil marketing komunikasi senantiasa
diarahkan kepada pesan komersial. Sebab, keberadaannya diharapkan mampu
menjalankan aksi damai gendam visual kepada penggila dan pencandu bola yang
diposisikan sebagai penonton. Mengapa hal itu harus
dikerjakan oleh tim marketing komunikasi? Karena secara komunikasi visual
aksi damai gendam visual harus dilakukan. Untuk apa? Agar mereka senantiasa
setia mengikuti arahan yang diperintahkan sang pesan komersial. Janji setia ini wajib
dikumandangkan. Kesanggupan komunal seperti itu harus dirawat dengan baik
demi suksesnya penampakan visual permainan rakyat sepak bola. Semuanya itu
berujung pada upaya komodifikasi permainan rakyat sepak bola yang berhasil
menggerakkan roda ekonomi transnasional. Wujudnya, industri tontonan Piala
Eropa 2020 yang sejatinya berisi tayangan pertunjukan pertandingan antariklan
dan perlombaan bisnis antarmerek. Modus dagang seperti itu dianggap sebagai
sebuah keharusan yang wajar dan manusiawi dalam konteks industrialisasi
tontonan. Bagi konsumen berwajah
penonton, saat mereka menyaksikan penampakan visual permainan rakyat sepak
bola, hati dan pikirannya senantiasa bergerak untuk membeli. Selanjutnya
dengan sukarela dan berkesadaran penuh, mereka mengonsumsi produk barang
ataupun jasa yang diiklankan di sana. Pertandingan
antarmerek Semenjak permainan rakyat
sepak bola berhasil dikomodifikasikan oleh pemilik merek dagang produk barang
dan jasa untuk digoreng dalam kancah industrialisasi tontonan, pada titik ini
terjadi dekonstruksi kultural terkait dengan permainan rakyat sepak bola.
Pada awalnya permainan rakyat sepak bola sekadar aktivitas riang gembira yang
menyehatkan. Sekarang keberadaannya diubah menjadi ajang pertandingan
antarmerek yang memiliki konsekuensi kalah-menang atau untung-rugi. Demikian juga dengan
industri tontonan Piala Eropa 2020. Keberadaannya semakin mempertegas asumsi
permainan rakyat sepak bola terlilit jebakan Batman. Semuanya dipersembahkan
demi memenuhi tuntutan material gaya hidup dalam konteks mazhab
komersialisme. Selain itu, berkibar
tidaknya sebuah klub sepak bola—termasuk di dalamnya karier pemain bola,
pelatih, wasit—tidak dapat dilepaskan dari cengkeraman pemilik modal besar
dalam dinamika jagat sepak bola. Profesionalisme dalam
payung mazhab komersialisasi olahraga berbanding lurus dengan ideologi obyek
industri tontonan berbayar. Artinya, muncul tuntutan untuk menghadirkan aktor
industri tontonan permainan rakyat sepak bola dalam kasta profesional.
Siapakah mereka? Tentu saja pemain, pelatih, dan manajer yang menjadi sekrup
industri tontonan. Sudah cukupkah? Jelas
belum. Masih harus melibatkan penyandang dana pertandingan. Ditambah
kewajiban untuk menjalankan kerja berkolaborasi dengan juragan pemilik merek
produk barang serta jasa. Kepada mereka disematkan tugas sebagai tim sponsor.
Tugas lainnya, mereka bertanggung jawab ikut mempertandingkan merek yang
dikelolanya. Dukungan material berupa
dana operasional, ditopang sponsor pertandingan berwujud iklan produk barang
dan jasa, merupakan asupan gizi yang menyehatkan. Dari sana senantiasa
berkelindan pancaran sinar terang atas prestasi atlet sepak bola. Pancaran
sinar terang lainnya berupa penghasilan yang jumlahnya sangat menggiurkan
publik. Metafora asupan gizi yang menyehatkan itu menjadi kebutuhan hakiki
bagi sang atlet. Apalagi, mereka yang sedang digosok agar layak mendaki
tangga tinggi untuk menjadi bintang industri tontonan sepak bola. Terlepas dari bisnis
pertandingan antarmerek, jujur harus diakui, permainan rakyat sepak bola
memang membuat gila. Hingga hari ini, tak seorang pun tahu bagaimana
menyembuhkan kegilaan itu. Sementara itu, di luar
fenomena industrialisasi dan komodifikasi permainan rakyat sepak bola, bola
berhasil merampas gaya hidup pencandunya. Keberadaan bola sukses
mendekonstruksi pola tidur penggilanya. Karena bola, mereka
cenderung menjadi gelisah. Mereka ditengarai tidak sabar menanti datangnya
pertandingan bola. Mereka ingin segera menyaksikan tendangan setan pemain
idolanya yang berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar