Lawan
Preman, Tegakkan Wibawa Negara Elias Situmorang ; Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan
Nagahuta, Sumut |
KOMPAS, 4 Juli 2021
Rabu (9/6/2021) dari
Pelabuhan Tanjung Priok, Presiden Joko Widodo memberi instruksi kepada Kepala
Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk menumpas habis para pemalak
atau preman yang sering membuat gusar para sopir kontainer. Instruksi
Presiden langsung ditanggapi Kapolri dengan menurunkan pasukan untuk
menangkap preman. Perhatian Presiden menjadi harapan besar bahwa polisi benar
mau melindungi masyarakat dengan menindak tegas para preman. Preman merupakan bagian
dari gejala premanisme di setiap kota. Kegiatan mereka bermacam-macam, yang
paling umum ialah memungut uang dari restoran-restoran dan toko-toko
sepanjang jalan, uang keamanan apabila ada bangunan baru dan jalan. Tidak
hanya itu, mereka juga memungut uang dari para pedagang kaki lima dan para
sopir angkutan kota dan truk. Kegiatan ini sangat meresahkan dan merugikan
orang yang mati-matian bekerja. The Asian Foundation
melakukan penelitian 20 tahun lalu di 200 daerah, terdiri dari 156 kabupaten
dan 44 kota dengan data primer 5.140 pengusaha daerah, nasional, dan asing.
Dari penelitian itu diketahui bahwa 85 persen responden mengaku harus
mengeluarkan ”biaya tak resmi”. Biaya itu meliputi banyak hal, salah satunya
adalah untuk preman. Bukan hanya pengusaha atau pedagang yang harus berurusan
dengan preman, tetapi juga para pengemudi bus dan truk (Kompas, 13 Januari
2003). Mengukur
kekuatan preman Jika kekuatan preman telah
mencapai titik kekuatan yang besar, ia dapat menimbulkan ancaman serius bagi
pengusaha dan negara. Pemerintah yang berkomitmen mau melindungi masyarakat
tentu saja tidak mau begitu saja memberi konsesi. Maka, terjadilah adu
kekuatan. Sering terjadi, meskipun polisi adalah aparat negara yang sah,
tidak berdaya di hadapan kelompok preman. Adakalanya kelompok preman
bertindak sangat nekat dengan membawa golok dan celurit serentak tiba-tiba
mereka menyerang petugas. Sulit juga untuk menggulung preman-preman yang
galak-galak dan ganas itu. Polisi biasanya akan kewalahan menghadapi mereka,
bahkan tak bisa terseret dalam ”lingkaran” preman. Demikian pula para
pengusaha. Mereka sebetulnya harus berpaling kepada polisi untuk minta
perlindungan melawan para preman. Tetapi, ketika polisi juga tidak berdaya
melawan preman, tak jarang para pengusaha pun memilih bekerja sama dengan
preman. Para pengusaha memakai jasa preman untuk menjaga keamanan perusahaan
mereka, termasuk untuk mengusir buruh yang berunjuk rasa. Jadi, kalau para
buruh melakukan tuntutan yang aneh, panggil saja preman untuk membubarkan
mereka (I Wibowo, ”Negara Bukan Milik Preman”, dalam Basis Nomor 01-02 Tahun
Ke-56, Januari 2007). Dari mana datangnya
preman? Mengapa jumlah preman tak pernah bisa berkurang? Tentu jawaban yang
segera muncul adalah akibat kemiskinan. Seperti halnya mereka yang menjadi
pelacur, karena kemiskinan memaksa mereka untuk menempuh jalan yang tidak
halal ini. Mereka memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling
dasar, tetapi karena mereka tidak memiliki pekerjaan, maka menjadi preman
menjadi pilihan akhir. Belum ada survei soal ini, tetapi dapat ditebak bahwa
para ”preman jalanan” yang bergerak di jalan-jalan, mendatangi toko-toko dan
pabrik-pabrik mengutip uang yang tidak banyak. Uang itu tidak untuk mereka
sendiri, tetapi sebagian mereka setor kepada ”bos”. Preman, kata Mancur Olson,
dapat muncul dari sebuah situasi transisi politik. Dengan mengangkat kasus
Rusia, Olson menjelaskan siapa itu preman dalam bukunya, Power and Prosperity
(2000). Dijelaskan, ketika Rusia masih dikuasai rezim komunis, yang berkuasa
adalah stationary bandit. Stationary bandit
merupakan jenis bandit yang tidak akan menjarah habis wilayahnya karena
mereka tahu bahwa kelangsungan hidup mereka bergantung pada usaha orang-orang
yang hidup di wilayah itu. Artinya, kalau mereka menghabiskan usaha orang di
sekitar wilayahnya, bukan hanya orang-orang itu yang tewas, mereka sendiri
pun akan ikut tewas. Karena itu, para bandit ini tidak menguras habis usaha
penduduknya. Hal ini berbeda dengan
roving bandits yang menguras habis sebuah wilayah yang dia datangi karena
mereka tidak hidup di wilayah itu. Tentu saja bandit jenis ini lebih kejam
dari stationary bandit. Ketika rezim otoriter (Uni
Soviet) bubar, wilayahnya terpecah-pecah, stationary bandit digantikan oleh
bandit-bandit yang lebih kecil yang menjadi roving bandit. Kalau pada masa
otoriter mereka takut kepada ”bos” besar, bandit-bandit ini tidak lagi
terikat pada pada siapa pun, bebas bergerak sesuka hati mereka. Mereka kini
bebas berkeliaran di seluruh negeri mengincar mangsa mereka. Pengalaman Indonesia tidak
terlalu jauh dibandingkan dengan pengalaman Rusia tersebut. Selama 32 tahun
Indonesia di bawah rezim penguasa tunggal, lalu tiba-tiba mengalami
keruntuhan rezim itu. Para preman yang dulu tergantung pada satu preman besar
berguguran dan menyelamatkan hidup mereka sendiri-sendiri. Mereka ini tentu saja
bukan preman-preman jalanan, tapi ”preman berdasi”. Kalau semula hanya ada
satu preman besar dengan beberapa preman yang menempel pada si preman besar,
kini ada ratusan, bahkan ribuan preman berdasi. Kemiskinan dan liberasasi
politik secara tiba-tiba telah menimbulkan ledakan preman. Preman jalanan
akibat kemiskinan dan pengangguran akan dipakai oleh preman berdasi yang baru
lepas dari preman besar. Mereka membangun sebuah jaringan baru. Atas dasar
jaringan inilah mereka beroperasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Situasi ini diperparah
oleh demokrasi ataupun sistem otonomi daerah. Misalnya, untuk memenangkan
sebuah partai diperlukan uang dalam jumlah yang amat besar. Dan pemerintah
daerah yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah pusat terpaksa memutar
otaknya untuk mengisi kasnya dengan cara legal ataupun ilegal. Nah, ketika
partai-partai menyadari bahwa mereka membutuhkan banyak uang, begitu juga
pemerintah daerah, mereka pun berperilaku seperti roving bandits. Tegakkan
wibawa polisi Berbicara soal preman
mungkin masyarakat Sumatera Utara yang paling langsung mengalaminya. Tahun
2000, saat Kapolda Sumut dijabat oleh Irjen Sutanto, beliau memanggil kepala
preman Medan yang dikenal sebagai kepala preman dan perjudian di Sumut. Tapi,
panggilan Kapolda dilecehkan dengan mengirim utusan. Tindakan ini membuat
Sutanto geram, tetapi apa daya tidak lama kemudian Irjen Sutanto dipindahkan
menjadi Kapolda Jawa Tengah. Tahun 2005, Jenderal
Sutanto diangkat menjadi Kapolri dan saat menjabat Kapolri dengan kekuatan
penuh, ”gedung putih” yang merupakan markas besar kepala preman Medan
diberondong dengan senjata oleh pasukan Brimob. Bisnis judi dibabat habis dan
segala kegiatan premanisme berhenti. Si kepala preman yang sangat ditakuti
masyarakat dan juga pejabat dan digelari godfather bersembunyi lari
kocar-kacir bersembunyi ke Singapura dan semua kegiatan perjudian yang
dipimpinya berhenti. Suasana aman. Ibu-ibu lega
dan banyak suami menjadi sehat karena mereka tidur teratur di rumah,
masyarakat dapat beraktivitas dengan aman. Tapi, setelah Jenderal Sutanto
tidak lagi menjadi Kapolri, suasana kembali seperti sediakala. Intinya, kalau
ada niat baik dan tegas dari pimpinan puncak kepolisian, maka sehebat apa pun
kekuatan preman dan kelompok-kelompoknya akan dapat dibabat habis. Munculnya
kelompok-kelompok yang dapat memaksa masyarakat dengan memakai kekerasan
dengan sendirinya bertentangan dengan hakikat negara. Mereka berhasil
menaklukkan dan mengalahkan negara, lalu membuat negara tidak berkutik. Dalam kasus-kasus preman
di kota-kota besar, dengan terang-terangan mereka berani melawan aparat
negara. Maka, sering terjadi polisi tidak berani menghentikan dan membiarkan
saja tindak kekerasan yang dilakukan oleh preman-preman. Ketidakberdayaan
polisi seperti itu memang sangat tidak normal pada sebuah negara modern. Di negara-negara maju,
semua harus taat kepada aparat negara (polisi). Ketika polisi mengadakan
penangkapan, tidak ada seorang pun yang boleh melawan. Dalam hal ini kita
boleh memperhatikan film-film Amerika tentang polisi. Begitu seorang polisi
memperlihatkan identitasnya, orang harus menyerah. Setiap perlawanan kepada
polisi dikenai hukuman karena perlawanan itu berarti perlawanan kepada
negara. Tumbuhkan keberanian dan
keyakinan dalam diri setiap polisi bahwa di belakang masih ada negara. Polisi
sebagai aparat negara memang harus mempunyai kewibawaan seperti itu. Kalau
preman dibiarkan berkuasa dan merajalela, maka negara ini akan hancur. Preman
mesti dibasmi supaya mereka tahu menghargai nilai kerja. Manusia bekerja dengan
sendirinya akan mengembangkan kemampuannya, untuk mengatasi kesulitan,
merealisasikan diri, dan menyesuaikan hidup dengan kehendak Sang Pencipta.
Manusia atau seseorang akan terbentuk oleh pekerjaan yang dilakukannya, maka
atas dasar inilah kerja menjadi bagian budaya. Sementara nilai kerja membuat
manusia survive dalam dunia yang menantang. Orang harus bekerja untuk
memenangi perjuangan dalam hidup kesehariannya. Kerja manusia memiliki
dimensi personal dan pengungkapan jati diri. Dengan bekerja manusia bukan
hanya mentransformasikan alam, tetapi juga sekaligus dengannya manusia
mencapai kepenuhan dirinya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudi
luhur. Karena itulah, hasil dan proses kerja tidak bisa dipisahkan begitu
saja dari pekerja itu sendiri. Kerja berdimensi sosial. Manusia tidak mencapai
kepenuhan hidupnya dengan menjadi preman, tetapi dalam pengalaman dan
kesalingtergantungan dalam hidup sosial. Manusia yang berbeda kemampuan dan
kepentingan berpadu menata hidup bermasyarakat. Selamat menjalankan tugas,
pak polisi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar