Berjuang
Menjadi Polisi Sipil Marwan Mas ; Pengamat Kepolisian dan Guru Besar Ilmu
Hukum Universitas Bosowa, Makassar |
KOMPAS, 16 Juli 2021
Kehadiran Polri yang
berulang tahun 1 Juli lalu, bukan tanpa makna, apalagi pekerjaan polisi
begitu rumit dan unik. Kendati sering dikecam, tetapi polisi harus tetap
melaksanakan tugasnya untuk melayani, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum. Itulah tugas konstitusional polisi di dalam Pasal 30 Ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Begitu bernilai tugas
konstitusional polisi, tetapi amat jarang mendapat ucapan terima kasih,
apalagi pujian meski mengurai keberhasilan. Ternyata profesi kepolisian merupakan
pekerjaan yang begitu sepi dari ucapan terima kasih. Makna yang rumit dan
unik dari tugas polisi dalam melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat,
selaku tugas konstitusional setidaknya dapat dipantau dari dua aspek. Pertama, tugas konstitusional
tidak didesain dengan membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas seperti
melindungi atau melayani orang kaya atau berstatus sosial tinggi, berbeda
dengan orang miskin atau status sosial rendah. Bila ini dipraktikkan akan
semakin jauh jarak antara polisi dan masyarakat kelas bawah sehingga
perjuangan menjadi polisi sipil tidak akan tercapai. Kedua, polisi harus
menyadarkan setiap orang bahwa perlindungan, pengayoman, dan pelayanan yang
diberikan tidak didasarkan pada senang dan tidak senang, melainkan karena
profesionalitas kerja. Bukan pula lantaran diberikan sesuatu oleh warga
tertentu, melainkan karena memang didasarkan oleh tugas dan tanggung jawab
sebagai polisi masyarakat. Kunci utama di sini adalah ”niat baik” sebagai
respons terhadap struktur dan karakteristik sosial masyarakat yang akan
diberi pelayanan terbaik. Pelaksanaan tugas
konstitusional polisi juga dipengaruhi oleh struktur kekuasaan yang
melingkupinya. Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah
mendapat persetujuan DPR. Dari sini sudah dapat diduga kalau tugas-tugas
Kapolri akan senantiasa sesuai dengan kehendak presiden. Hanya
profesionalitas yang mumpuni dan desain untuk bersahabat dengan masyarakat
yang bisa menuntaskan tugas konstitusional polisi. Sipil
berseragam Perjalanan Polri sejak
kelahirannya begitu sarat dengan nuansa perubahan. Ini diapresiasi Kepala
Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dengan menggagas Program
Transformasi Menuju Polri yang ”presisi” (prediktif, responsibilitas, dan
transfromasi berkeadilan). Agar Polri ”presisi” bisa membumi, Kapolri harus
berani ”mendekatkan polisi dengan masyarakat”. Sebab, di tengah kemajuan
teknologi dan informasi media sosial (medsos), polisi dan masyarakat harus
betul-betul bisa ”menjadi sahabat”. Caranya mendesain polisi
dalam setiap penampilannya sebagai ”sipil berseragam”. Kendati memakai
seragam dan bersenjata, tetapi dalam hati setiap anggota Polri tertanam ”jiwa
sipil yang merakyat”. Karena itu, kedekatan yang dibangun bukan semata-mata
agar terjalin hubungan secara personal antara polisi dan warga masyarakat.
Sebab, yang amat penting adalah terbangunnya program kepolisian dalam menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum yang mampu mendorong
partisipasi warga masyarakat. Perubahan polisi
senantiasa disandarkan pada semangat reformasi agar menjadi polisi yang
dicintai rakyat. Kalau polisi dikonotasikan sebagai ”polisi sipil”,
seharusnya aktivitas polisi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
berorientasi pada penguatan rakyat, berinteraksi dengan rakyat, dan
menjadikan masyarakat sebagai mitra. Lantaran polisi lahir dari
masyarakat, maka jalan untuk berubah menjadi polisi sipil bukan sesuatu yang
mustahil. Polisi lahir dari masyarakat, lahir dari ”orang sipil” sehingga
sering disebut sipil yang berseragam (a civilian in uniform). Perilaku sipil
harus lebih menonjol agar warga yang dilindungi, diayomi, dan dilayani,
bahkan ditertibkan merasa tidak ada jarak. Itulah watak khas polisi
Indonesia yang otentik yang membedakannya dengan militer. Itulah watak polisi
kita yang sesungguhnya dan didesain sejak kelahirannya. Akhirnya, Polri
kembali menemukan jati dirinya sebagai polisi sipil yang bersahabat dengan
masyarakat, sejak 1 April 1999 setelah keluar dari lingkup TNI (dulu ABRI). Seperti lazimnya
kepolisian di dunia, perilaku khas sebagai polisi sipil yang berseragam dan
bersenjata harus menjadi ciri polisi Indonesia. Sebab, pekerjaan
konstitusional polisi selain menegakkan hukum adalah melindungi, mengayomi,
dan melayani masyarakat. Mengubah perilaku dan kultur Polri setelah pisah
dari militer merupakan keniscayaan. Kapolri perlu lebih serius
merespons aspek yang cukup krusial ini. Memang perbaikan kultur dan perilaku
Polri sebetulnya telah berjalan secara alamiah. Akan tetapi, karena kondisi
masyarakat yang akan ditertibkan dan dilayani semakin kompleks, perubahan
harus dilakukan secara progresif, bukan hanya secara alamiah. Masyarakat berhak
dilindungi dan untuk mencapainya perlu ketegasan pimpinan Polri tanpa
diskriminasi. Hanya warga yang mendukung rezim kekuasaan yang dilindungi,
tidak diproses hukum meski secara kasat mata melanggar hukum, atau dilayani
dengan baik. Sementara kelompok masyarakat yang bukan pendukung rezim
kekuasaan diabaikan, bahkan begitu cepat diproses hukum. Penegakan
hukum Salah satu atensi terbaru
pimpinan Polri adalah meningkatkan kualitas profesionalitas anggota Polri.
Memantapkan keahlian di bidang teknologi informasi, misalnya, lantaran sangat
strategis sesuai dengan kebutuhan institusi. Polisi harus siap mengantisipasi
kemajuan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, apalagi Polri sedang
menjalani reformasi tahap ketiga tahun 2016-2025 melalui ”Program Grand
Strategi Polri” dengan ikon ”berjuang untuk keunggulan (strive for
exellence)”. Setiap anggota Polri harus
memberikan pelayanan publik yang ”unggul dan terbaik”, mewujudkan good
government, best practice Polri, implementasi teknologi, infrastruktur
materiil, fasilitas, dan jasa guna membangun kapasitas Polri yang kredibel di
mata masyarakat. Intinya mendahulukan aksi pencegahan (melindungi, mengayomi,
dan melayani masyarakat) ketimbang penindakan (penegakan hukum). Pencegahan melalui
”pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli (Turjawali)” seyogianya terus
dikedepankan sebelum melaksanakan ”penegakan hukum”. Kalau sudah dilayani,
diayomi, dan dilindungi dengan baik melalui aksi Turjawali, tetapi masih saja
ada warga masyarakat yang melakukan tindakan kriminalitas maka barulah tugas
penegakan hukum dilaksanakan tanpa pandang status dan kedudukan. Polisi harus
mempersamakan semua orang dalam pencegahan dan penegakan hukum. Tidak boleh
hukum digerakkan kepada kelompok tertentu, tetapi tumpul pada kelompok lain. Jangan sampai
kepemimpinaan Polri saat ini tercatat dalam sejarah perpolisian Indonesia bahwa
polisi ikut larut dalam permainan kepentingan politik tertentu untuk
membungkam pengkritik rezim kekuasaan dengan proses hukum. Jangan cepat
memakai UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11/2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang ternyata membungkam kelompok
tertentu. Sekilas saja dikritik di media sosial (medsos) sudah langsung dicap
menyebar hoaks (berita bohong). Suatu berita atau isu yang
diunggah di medsos seharusnya barulah disebut hoaks, jika obyek atau subyek
berita telah mengklarifikasi bahwa berita itu tidak benar alias hoaks. Pernah
ada tulisan yang disebut-sebut tulisan Yusril Ihza Mahendra, misalnya,
beredar luas di medsos (FB dan WA) yang terkesan provokatif. Namun, tak lama
kemudian dibantah bahwa itu bukan tulisannya sehingga selesai isu itu karena
memang hoaks. Apabila sudah
diklarifikasi kalau itu hoaks, barulah seharusnya dipersoalkan secara hukum,
apalagi masih saja ada yang sebarkan ke medsos sebagai salah satu ruang
publik. Begitulah layaknya menyikapi berita yang diduga hoaks di negara hukum
dan demokrasi. Bagi pihak yang terkait dengan konten berita yang bukan fakta,
diminta cepat mengklarifikasi kalau berita yang beredar atau viral itu tidak
benar atau hoaks. Menjelang tahun politik
2024, biarkanlah rakyat memilih jalannya. Apakah memilih ”mengganti rezim”
partai politik sekaligus mengganti presiden pada pemilihan legislatif dan
pemilihan presiden tahun 2024, siapa pun harus menghargainya. Termasuk
polisi, sebab Polri memiliki tugas konstitusional yang begitu penting dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Setiap anggota Polri harus ”bisa
merasa” bahwa demokrasi dalam memilih pemimpin merupakan bagian dari upaya
menjaga dan menciptakan kamtibmas yang membuat rakyat merasa terlindungi,
terayomi, dan terlayani dengan baik dalam melaksanakan hak demokrasinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar