Tantangan
Kerja Sama G-20 di Tengah Pandemi Covid-19 Beginda Pakpahan ; Penulis Buku Indonesia, ASEAN dan
Ketidakpastian Hubungan Internasional; Analis Politik dan Ekonomi Global UI
dengan PhD dari University of Edinburgh, UK |
KOMPAS, 16 Juli 2021
Pada 29 Juni 2021,
pertemuan para menteri luar negeri dan para menteri pembangunan ekonomi dari
negara-negara G-20 diselenggarakan di Matera, Italia. Para menteri dari
negara-negara G-20 tersebut mengeluarkan hasil pertemuan yang normatif,
tetapi belum menjawab beragam tantangan dunia terkini. Dalam pertemuan tersebut
ada dua agenda utama yang dibahas. Pertama, G-20 berupaya mengoptimalkan
kerja sama multilateralisme dan memperkuat tatanan global. G-20 adalah bentuk
nyata kerja sama multilateral di dunia dan juga menjadi bagian dari tatanan
global. G-20 diharapkan bisa
mendorong kerja sama negara-negara G-20 di bidang kesehatan publik
internasional seperti produksi dan pasokan obat-obatan dan vaksin Covid-19.
Lalu, G-20 bisa menjadi jembatan antara 20 negara ekonomi maju dan berkembang
pesat dengan pelbagai negara berkembang dan tertinggal. Kedua, G-20 berupaya
membantu negara-negara di benua Afrika dalam pembangunan berkelanjutan
mereka. Negara-negara Afrika mengalami ketertinggalan dalam pembangunan
ekonominya dan mengalami krisis kesehatan publik akibat pandemi Covid-19.
Negara-negara G-20 berupaya menjawab pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19
di Afrika, mengurangi ketimpangan ekonomi di benua tersebut, penguatan
keamanan pangan, peningkatan kewirausahaan pemuda dan wanita, serta transisi
digital. Beragam
tantangan Namun, pelbagai hasil
pertemuan para menteri luar negeri dan pembangunan ekonomi dari negara-negara
G-20 tersebut menghadapi beragam tantangan. Pertama, kerja sama internasional
belum berjalan optimal dan tatanan global berada di ujung tanduk di tengah
pandemi Covid-19. Krisis kesehatan dan resesi ekonomi saat pandemi Covid-19
menguatkan politik nasionalisme dan populisme di mayoritas negara di dunia,
termasuk di negara-negara anggota G-20. Kerja sama G-20 belum
bekerja secara optimal karena sebagian mereka masih menjaga pasokan vaksin
Covid-19, khususnya pemenuhan pasokan domestik mereka. Belum banyak dari
anggota G-20 yang menyalurkan vaksin Covid-19 yang dimilikinya kepada
inisiatif kerja sama global Covid-19 Vaccines Global Access-COVAX (yang
dimotori oleh Coalition for Epidemic Preparedness Innovations/CEPI,
Organisasi Kesehatan Dunia/WHO, The Vaccine Alliance, dan GAVI) bagi
negara-negara berkembang dan tertinggal. Tantangan nyata bagi para
anggota G-20 adalah belum optimalnya negara-negara anggota G-20 memberi
dukungan konkret kepada kerja sama global Covax. Ditambah lagi, G-20 juga
belum optimal mendukung pendanaan atas kemitraan global bagi alat-alat
kesehatan Covid-19-The Access to Covid 19 Tools (ACT) Accelerator yang
dikelola oleh WHO (WHO, 2021). Pandemi Covid-19
meningkatkan proteksionisme ekonomi dari pelbagai negara di dunia. Kerja sama
internasional melemah dan tidak bekerja optimal bagi negara-negara di dunia
khususnya negara berkembang dan tertinggal. Perdagangan internasional menurun
karena dilaksanakannya kebijakan penutupan dan pembatasan kegiatan ekonomi di
pelbagai negara. Lebih khusus, perdagangan barang dan jasa terganggu dan
mobilitas orang antarnegara juga dibatasi (Pakpahan, 2020). Merespons situasi
di atas dengan efektif adalah tantangan kedua bagi kerja sama G-20. Konsekuensinya,
negara-negara berupaya untuk mandiri dalam memproduksi dan memenuhi pasokan
pangan, pembuatan obat-obatan, dan juga pemenuhan vaksin Covid-19 bagi warga
negara mereka. Negara-negara juga melaksanakan pelbagai kerja sama bilateral
dan regional dalam memenuhi pasokan atas pelbagai kebutuhan di atas.
Singkatnya, absennya kerja sama internasional membuat negara-negara anggota
G-20 memfokuskan perhatiannya kepada urusan domestik mereka masing-masing dan
lebih mengedepankan kerja sama bilateral/regional (Pakpahan, 2020). Ketiga, upaya G-20
membantu negara-negara di Afrika dengan pembangunan berkelanjutan dan
keamanan pangan bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan karena peningkatan
persaingan geopolitik dan pengaruh politik ekonomi antara negara-negara besar
di benua tersebut. Uni Eropa, Amerika
Serikat, dan China adalah negara-negara besar yang tengah bersaing dalam
perluasan pengaruh politik mereka di Afrika dan juga persaingan ekonomi di
negara-negara berkembang dan tertinggal di benua tersebut. Negara-negara anggota Uni
Eropa memiliki hubungan sejarah kolonial yang lama dengan negara-negara
Afrika, seperti Perancis, Italia, dan lainnya. Pelbagai bantuan pembangunan
ekonomi dari Uni Eropa sudah lama fokus kepada negara-negara di Afrika,
contohnya The Lomé Convention, The Cotonou Agreement, Pan African Programme,
African Peace Facility, Africa Investment Platform dan EU Emergency Trust
Fund (European Union, 2021). Pada era Presiden Amerika
Serikat Joe Biden saat ini, Amerika Serikat berupaya mengaktifkan kembali
hubungan diplomatik dan kerja sama ekonomi dengan negara-negara Afrika. Pada
zaman Presiden Amerika sebelumnya, perhatian Amerika Serikat terhadap Afrika
sempat menurun. Oleh karena itu, Amerika
Serikat ingin meningkatkan kembali pengaruh politik dan kerja sama ekonominya
dengan negara-negara di seluruh Afrika. Amerika Serikat mulai meningkatkan
kembali kerja samanya dengan Nigeria, Kenya, dan Afrika Selatan. Lalu,
Amerika Serikat sedang mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia kepada
negara-negara di benua tersebut (Usman, 2021). Di saat yang sama, China juga
melakukan perluasan pengaruh politik dan ekonominya di Afrika dengan
inisiatif global the Belt and Road Initiative. China bekerja sama ekonomi
pembangunan, perdagangan, dan investasi langsung dengan pelbagai negara di
Afrika, contohnya Djiboti dan Tanzania yang berada di sisi utara dan timur
benua Afrika (Moriyasu, 2021). China bekerja sama dengan negara-negara Afrika
dengan membangun pelabuhan-pelabuhan laut, fasilitas pendukung, dan jalan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar