”Crying
for Help” Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 17 Juli 2021
Jumat pagi, saya
terbangun. Telepon seluler memberikan notifikasi ada pesan masuk. Benar.
Teman saya yang sedang terbaring di rumah sakit karena terpapar Covid-19
memberi kabar. ”Bojoku meninggal pukul 4.34.” Kabar kepergian seseorang
terasa begitu dekat. Hampir setiap hari. Mobil ambulans meraung-raung. Dari
pengeras suara masjid mengabarkan, kepulangan tetangga kita, rekan, bahkan
keluarga kita. Litani kesedihan akibat Covid-19 ini luar biasa. Covid-19
menginfeksi jutaan orang dan mengakibatkan jutaan orang meninggal. Ada kisah
satu keluarga suami, istri, dan anak meninggal. ”Hanya cucunya yang tinggal.
Mereka adalah bagian dari angka statistik yang disebut ’terkendali’,”
seseorang mengirimkan pesan kepada saya. Membaca angka kasus
terkonfirmasi positif, jumlah kesembuhan, jumlah korban yang wafat, terasa
seperti berhadapan dengan kurva dan angka. Bagaimana membaca tren pergerakan,
mendatar, mendaki atau menurun. Padahal, di balik kurva dan angka itu adalah
nyawa manusia yang punya saudara dan kerabat. Ibu Kota dan bangsa ini
sedang tidak baik-baik saja. Jika melihat realitas rumah sakit—situasi pandemi
Covid-19—jauh dari kata ”terkendali”. Melihat data yang ada, hingga Jumat, 16
Juli 2021, di Jakarta ada 113.137 kasus aktif. Ada 3.400 orang sakit yang
tidak tertampung rumah sakit, 1.900 orang tertahan di unit gawat darurat.
1.400 orang lagi antre di lorong rumah sakit. Oksigen juga masih menjadi
barang mewah. Obat juga susah didapat dan jadi barang mewah di pasar gelap. Kondisinya super genting.
”Sudah seminggu ini saya crying for help,” ujar seorang pejabat pemerintah.
Meminta bantuan untuk kerja kemanusiaan. Untuk urusan kemanusiaan, tidak
perlu ada gengsi politik, tak perlu pertimbangan nasionalisme dengan menutupi
realitas sebenarnya, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Jumlah kasus terkonfirmasi
positif terus meningkat. Pada Kamis, 25 Juli 2021, berada pada angka 56.757
positif. Itu menambah beban rumah sakit. Dalam kondisi darurat, gagasan
membangun rumah sakit darurat mendesak diwujudkan. Saatnya gedung konvensi
yang selama in tak terpakai, lapangan-lapangan besar, termasuk Gelora Bung
Karno yang bersejarah, diubah fungsinya untuk menjadi layanan kesehatan
darurat. Butuh keputusan cepat, berani dan pasti punya risiko. Dengan segala kemampuan
yang ada, pemerintah bisa mengajak kolaborasi masyarakat sipil dan usahawan
yang juga mungkin dalam kesulitan karena ekonomi mandek, sama-sama memberikan
kontribusi lebih untuk negeri di masa pandemi. Membangun rumah sakit darurat
atau memperluas rumah sakit darurat dengan segala infrastruktur adalah
keniscayaan pekan-pekan ini. Namun, ketersediaan obat, oksigen, dan juga
tenaga kesehatan juga harus jadi perhatian. Kegentingan di hilir harus
menjadi perhatian utama. Membaca tren kurva Jakarta yang terlihat melandai,
bisa saja karena kapasitasnya sudah mentok. Pemerintah telah berbuat dan
membangun rumah sakit dan tempat isolasi baru, seperti Rumah Sakit Pusat
Pertamina Extention Modular Simprug, dan rumah sakit lapangan. Duet Menteri
Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin
berdiplomasi mengamankan stok vaksin untuk Tanah Air. Namun, kecepatan
penularan Covid-19 Delta seperti melebihi itu semua. Karena itulah langkah
cepat dan darurat perlu segera diambil. Penanganan di bidang hilir
butuh perbaikan, sementara pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau
PPKM darurat di hulu harus dikerjakan. Penegakan aturan PPKM itu perlu
dilakukan dengan empati dan humanis. Mereka yang terpaksa keluar rumah untuk
hidup hari itu tak bisa disamakan dengan kegiatan masyarakat yang tak terlalu
terkait dengan hidup-matinya ekonomi. Komunikasi dilakukan dengan empati dan
memahami kesulitan orang. Sebuah video viral yang
mempertontonkan bagaimana satpol PP memperingatkan pedagang makanan untuk
tidak melayani makan di tempat, disertai pemberian bantuan terasa lebih
mengena. Ketegasan diperlukan terhadap kelompok yang lebih mengutamakan
keuntungan ekonomi dari nyawa manusia. Namun, kearifan dibutuhkan terhadap
mereka yang terpaksa berada di luar untuk urusan perut. PPKM darurat layaknya
sama dengan UU karantina wilayah. Karena itu, bantuan sosial pada kelompok
terdampak adalah keniscayaan hukum. Korban terus berjatuhan.
Prof Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur WHO Asia Tenggara, pernah
mengirimkan catatan pendek kepada saya berjudul ”Yatim Piatu Covid-19”. Prof
Tjandra merujuk pada data di India, 5 Juni 2021, ada 3.632 anak terpaksa
menjadi yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal dan ada 26.176 anak
yang kehilangan salah satu orangtuanya karena Covid-19. ”Beberapa pihak
menyebut ini adalah tragic legacy of India’s pandemic.” Pandemi Covid-19 bukan
hanya masalah kesehatan masyarakat, bukan hanya soal pandemi itu sendiri,
bukan hanya soal dampak sosial ekonomi, melainkan masalah kemanusiaan. Karena
itu sangat tepat dan bijak imbauan Prof Dr Azyumardi Azra CBE, ”Masyarakat
wajib mendukung PPKM darurat yang diberlakukan pemerintah. Sejak awal Juli
korban terinfeksi dan meninggal terus meningkat dan menjurus ke arah bencana
kemanusiaan. Hindarkan diri dari pertikaian berlarut, semua harus menjaga
solidaritas sosial untuk menjaga kohesi sosial dan integrasi bangsa.” Melihat situasi
kegentingan yang ada, saya tidak sependapat dengan usulan wakil rakyat yang
menghendaki jaminan ICU untuk pejabat dan rumah sakit untuk pejabat! Usulan
itu keblinger, seharusnya jaminan akses kesehatan untuk rakyat bukan hanya
untuk pejabat yang terhormat! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar