Selasa, 01 Juni 2021

 

Tembakau, Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat

Lisda Sundari ; Ketua Lentera Anak, Pegiat Pengendalian Tembakau

KOMPAS, 31 Mei 2021

 

 

                                                           

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan tembakau menghilangkan nyawa setengah dari seluruh penggunanya. Setiap tahun, enam juta orang meninggal akibat mengisap rokok secara aktif dan 900.000 orang lainnya meninggal karena menjadi perokok pasif. Di Indonesia, setiap tahun sekitar 225.700 orang meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.

 

Laporan US Surgeon General (2010) menegaskan bahwa asap tembakau menimbulkan kecanduan, dan bahwa rokok memang dirancang untuk menimbulkan kecanduan. Salah satu senyawa kimia utama yang menimbulkan efek kecanduan rokok yang kuat adalah nikotin.

 

Kondisi kecanduan nikotin membuat penderitanya tidak bisa lagi lepas dari pengaruh nikotin meskipun hal tersebut bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatannya. Studi Surgeon juga menyebutkan rokok mengandung 7.000 zat kimia dan 69 karsinogenik penyebab kanker.

 

Namun, seolah abai dengan dampak rokok bagi kesehatan, jumlah perokok di Indonesia justru sangat tinggi. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi merokok di Indonesia sekitar 75 juta orang atau 33 persen dari jumlah penduduk Indonesia, dengan angka tertinggi terjadi pada kelompok usia 10-49 tahun. Angka ini merupakan urutan ketiga tertinggi di dunia.

 

Data peningkatan jumlah perokok anak juga sangat mencengangkan. Pada 2018, berdasarkan data Riskesdas, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1 persen atau sekitar 3,2 juta dari sebelumnya 7,2 persen pada tahun 2013. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada 2019.

 

Tingginya jumlah perokok anak sangat mengkhawatirkan karena dampak merokok pada anak selain menimbulkan kecanduan juga berpotensi merusak perkembangan otak mereka. Hal ini sangat berbahaya karena tumbuh kembang anak dan perkembangan otak manusia dimulai sejak anak masih di dalam kandungan dan berlangsung hingga berusia 18 tahun.

 

Perkembangan paling lambat terjadi pada otak bagian depan atau prefrontal cortex (PFC), tepat di belakang dahi, yang berlangsung hingga anak berusia 20 tahun. PFC bertanggung jawab terhadap kemampuan kognitif, yaitu fungsi kecerdasan, kemampuan analisis, stabilitas emosi, dan pengambilan keputusan, tetapi ia sangat rentan dipengaruhi oleh sesuatu yang membuat adiksi, termasuk konsumsi nikotin.

 

Anak-anak yang terpapar asap rokok dari para perokok juga sangat berisiko terkena penyakit serius hingga kematian. Berdasarkan data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) pada 2018, sebanyak 40 juta anak di Indonesia menjadi perokok pasif.

 

Anak-anak juga berpotensi menjadi third-hand smoker (perokok pihak ketiga) apabila terpapar residu dari asap rokok yang menempel pada permukaan benda-benda yang terpajan asap rokok. Jika orangtua dan dewasa di rumah merokok, residu rokok akan melekat di seluruh rumah, seperti di rambut, kulit, baju, sofa, tirai, dan tempat tidur, dan anak-anak menjadi pihak yang paling berpotensi menghirup racun residu rokok yang berdampak meningkatkan risiko masalah pernapasan, termasuk pneumonia.

 

Hal yang tak kalah menyedihkan, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru tentang pengeluaran konsumsi per kapita dalam sebulan penduduk Indonesia sepanjang tahun 2020 mencatat pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau lainnya lebih besar dari belanja makanan pokok (beras). BPS mencatat, pengeluaran rokok dan tembakau sebesar 5,99 persen dari seluruh pengeluaran bulanan, sedangkan belanja beras hanya 5,45 persen.

 

Hal tersebut sangat memprihatinkan karena besarnya pengeluaran untuk membeli rokok akan mengurangi alokasi untuk membeli makanan bergizi, pendidikan, dan layanan kesehatan. Ini berpotensi mengancam hak-hak dasar anak, yaitu hidup, tumbuh kembang, kesehatan, dan pendidikan, di mana anak-anak berpotensi kekurangan gizi, putus sekolah, dan tidak mendapat layanan kesehatan ketika sakit.

 

Pengendalian lemah

 

Peningkatan prevalensi perokok anak di Indonesia menjadi bukti lemahnya pengendalian tembakau. Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Namun, implementasi regulasi ini gagal melindungi anak dari adiksi rokok dan menurunkan prevalensi perokok anak. Ini karena iklan, promosi, dan sponsor rokok  masih dibolehkan; akses rokok sangat mudah karena murah dan dapat dibeli di mana-mana; serta perilaku merokok dianggap hal yang biasa.

 

Berbagai studi menunjukkan terpaan iklan dan promosi rokok sejak usia dini meningkatkan persepsi positif dan keinginan untuk merokok. Studi Uhamka (2007) menunjukkan, 46,3 persen remaja mengaku iklan rokok memengaruhi untuk mulai merokok. Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak-anak mencoba merokok serta menganggap rokok adalah hal yang wajar (WHO, 2009).

 

Laporan WHO pada 2013 juga menyebutkan iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi bentuk terdepan industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan konsumen mereka dengan menormalisasikan produk rokok. Berbagai aktivitas promosi dilakukan menggunakan strategi subliminal advertising untuk menjadikan rokok terlihat sebagai produk normal dan mengaburkan bahaya rokok.

 

Subliminal advertising adalah teknik yang mengekspos individu pada suatu gambaran produk, nama dagang, atau rangsangan lainnya yang terasosiasi dengan kebiasaan targetnya, di mana individu tidak menyadari bahwa dirinya sedang terekspos (Liza Djaprie, 2017). Anak yang terpapar iklan rokok terus-menerus dengan citra positif, akan tertanam di alam bawah sadarnya bahwa rokok produk yang normal dan baik. Apalagi hampir semua iklan rokok menggambarkan gaya hidup remaja yang keren, macho, kreatif, dan hebat.

 

Setiap hari, iklan dan promosi rokok mengepung anak dan remaja dari segala sisi, mulai dari iklan rokok di televisi dan internet hingga paparan reklame dan promosi rokok di warung-warung dekat rumah dan sekolah. Hasil Survei Yayasan Lentera Anak bersama SFA dan YPMA pada 2015 menunjukkan 85 persen sekolah, mulai TK hingga SMA, di lima kota dikepung iklan rokok.

 

Data Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan sebanyak 19,20 persen pelajar adalah perokok aktif dan 65,2 persen pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan. Ada 60,9 persen pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, 56,8 persen pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan 36,2 persen pelajar melihat iklan rokok di internet.

 

Memang di sisi lain kita bersyukur pemerintah sudah memiliki komitmen yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, untuk menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 melalui revisi PP No 109/2012. Namun, hingga kini penyelesaian revisi PP No 109/2012 untuk mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia terus tertunda.

 

Hari ini, tanggal 31 Mei 2021, yang merupakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, WHO menetapkan tema commit to quit atau berkomitmen untuk berhenti. Ini seharusnya dapat menjadi momentum bagi semua pihak untuk berhenti melakukan hal negatif yang berdampak pada kesehatan anak.

 

Orangtua harus berhenti merokok di dekat anak agar anak tidak menjadi perokok pasif dan third-hand smoker. Industri rokok harus berhenti memasarkan rokok kepada anak dengan strategi manipulatif yang menjadikan rokok terlihat seperti produk normal. Pemerintah harus berhenti menolak segala intervensi yang dapat melemahkan regulasi pengendalian tembakau, sehingga jangan sampai pemerintah dan DPR terkesan abai mendesakkan pengendalian konsumsi rokok di Indonesia.

 

Meskipun saat ini Kementerian Kesehatan fokus pada upaya penanganan Covid-19, jangan menafikan program kesehatan yang bertujuan melindungi kesehatan anak. Sebab, tidak cukup menyelesaikan pandemi melalui penguatan 3T (testing, tracing, treatment), vaksinasi, dan protokol kesehatan yang ketat, tetapi juga dibutuhkan sosialisasi bahaya rokok yang masif serta urgensi merevisi PP No 109/2012 agar regulasi ini memiliki kekuatan untuk mengatur secara ketat peredaran semua jenis produk tembakau dan iklan/promosi produk rokok.

 

Apalagi di masa pandemi Covid-19 anak-anak menjadi kaum yang paling rentan karena berpotensi menjadi perokok pasif akibat terpapar asap rokok dari orangtua dan orang dewasa lainnya yang merokok di rumah. Dampak serius lainnya adalah anak-anak yang di masa pandemi Covid-19 banyak melakukan aktivitas belajar dari rumah berpotensi terpapar iklan dan promosi rokok yang masif di media sosial.

 

Dalam UUD 1945 Pasal 28 B Ayat (2) disebutkan bahwa ”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam Pasal 28 H Ayat (1) disebutkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

 

Hak setiap anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan juga didukung UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang ini menyebutkan upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak dalam kandungan, bayi, balita, hingga remaja; termasuk upaya pemeliharaan kesehatan anak cacat dan anak yang memerlukan perlindungan.

 

Selain itu, dalam PP No 59/2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, Pasal 6 Huruf (c), disebutkan bahwa pemantauan pelaksanaan pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Huruf (a) dilakukan terhadap pemenuhan hak kesehatan dasar dan kesejahteraan.

 

Masyarakat sangat mendukung upaya pemerintah untuk mengejar target Indonesia bebas dari Covid-19, tetapi tentu tidak dengan mengabaikan regulasi dan program kesehatan untuk melindungi anak. Sangat mustahil menurunkan prevalensi perokok anak apabila tidak ada komitmen pemerintah membuat regulasi tembakau yang kuat dan tegas.

 

Bappenas sudah memproyeksikan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 16 persen pada 2030 apabila tidak ada upaya dan komitmen yang kuat dari seluruh sektor. Inilah urgensi pentingnya regulasi yang kuat seperti revisi PP No 109/2012 untuk melindungi anak Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar