Celah
Ketimpangan Vaksin Gotong Royong Rusli Abdulah ; Peneliti Institute for
Development of Economics and Finance (INDEF) |
KOMPAS, 31 Mei 2021
Bagai oase di padang
gersang, keberadaan vaksin gotong royong yang digagas dunia usaha mengurangi
letih pemerintah dalam mewujudkan kekebalan kelompok. Vaksin gotong-royong
memungkinkan percepatan pertambahan laju cakupan vaksinasi nasional.
Hasilnya, pencapaian kekebalan masyarakat bisa lebih cepat tercapai. Melalui Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 10 Tahun 2021, vaksinasi gotong royong resmi
dilaksanakan per 18 Mei 2021. Vaksinasi jalur mandiri ini diberikan kepada
karyawan/karyawati, keluarga, dan individu lain terkait dalam keluarga yang
pendanaannya ditanggung atau dibebankan kepada badan hukum atau badan usaha. Pada titik optimal,
vaksinasi gotong royong bisa melingkupi 60 juta orang atau 30 persen syarat
pencapaian kekebalan kelompok. Angka ini diperoleh dari 15 juta peserta vaksin
gotong royong yang terdaftar di BPJS ditambah 45 juta anggota keluarga
pekerja. Angka 45 juta diperoleh dari rata-rata satu pekerja peserta
vaksinasi gotong royong mengikutsertakan satu istri atau suami dan dua orang
anak. Perlu diketahui, dibutuhkan
setidaknya 180 juta vaksinasi agar bisa mencapai 70 persen penduduk
Indonesia. Meski demikian, kondisi ideal tersebut sulit terealisasi. Ada tiga
alasan, yakni suplai vaksin, perbedaan kemampuan antar perusahaan, dan sifat
vaksin sebagai barang publik. Pasokan vaksin global
terbatas dan setiap negara memiliki perbedaan kemampuan akses. Keterbatasan
suplai global diperparah dengan dengan adanya kebijakan penutupan ekspor
vaksin dari India akibat tsunami Covid-19 di negara asal film Bollywood
tersebut. Keterbatasan pasokan vaksin diperparah dengan perbedaan akses
terhadap vaksin. The Economist Intelligence
Unit dalam laporannya bertajuk Coronavirus vaccines: expect delays, Q1 global
forecast 2021 menginformasikan bahwa ada ketimpangan akses vaksin antara negara
kaya dan miskin. Dalam laporan tersebut, Indonesia diestimasikan baru akan
mendapatkan vaksin Covid-19 dalam jumlah besar pada awal 2023. Proyeksi ini
bisa lebih panjang lagi apabila tsunami Covid-19 di India tidak kunjung
berakhir dan terjadi gelombang besar lanjutan di negara-negara produsen
vaksin. Ketimpangan
akses Meski sudah ada 22.000
lebih perusahaan yang mendaftar vaksin gotong royong per 18 Mei 2021,
ketimpangan akses tidak bisa dihindari. Ketimpangan akses ini muncul karena
setiap perusahaan memiliki kemampuan akses yang berbeda-beda terhadap vaksin
gotong royong. Perbedaan ini mencakup perbedaan kemampuan keuangan dan lokasi
perusahaan. Alhasil, kondisi ideal untuk mencapai setidaknya angka 60 juta
atau setidaknya 15 juta vaksin sulit tercapai. Terkait dengan kemampuan
keuangan, perusahaan yang memiliki kemampuan dana kuat akan lebih cepat
mendapatkan akses vaksin. Selanjutnya lokasi usaha. Perusahaan yang berlokasi
yang jauh dari Jakarta, terutama yang berada di luar Jawa, akan memiliki
kecenderungan keterlambatan akses vaksin gotong royong dibandingkan dengan
perusahaan yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Vaksin gotong royong lebih
mahal dibandingkan dengan vaksin pemerintah. Total biaya vaksin Rp 879.140,
terdiri dari harga tertinggi vaksin Rp 321.660 dan tarif layanan vaksinasi
tertinggi Rp 117.910 untuk setiap satu dosis vaksin. Angka tersebut belum
belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara vaksinasi yang
digadang oleh pemerintah menggunakan vaksin Sinovac, Novavax, dan
Astrazeneca. Di antara ketiga vaksin tersebut, Sinovac memiliki harga
tertinggi, yakni 13,3 dollar AS (Rp 194.921) per dosis atau Rp 389.842 untuk
dua kali suntik. Apabila sebuah perusahaan
mempunyai 10.000 pekerja, dibutuhkan biaya setidaknya Rp 87,9 miliar. Angka
tersebut belum termasuk keluarga pekerja apabila hendak ingin divaksinasi
bersama perusahaan. Meski dibayarkan oleh pekerja, ketika pekerja tidak
memiliki kemampuan finansial cukup, bisa jadi ada opsi pekerja berutang
kepada perusahaan untuk memenuhi kebutuhan vaksin keluarganya. Meski ada ketentuan bahwa
biaya vaksin tidak boleh dibebankan kepada pekerja, pertanyaannya adalah dari
mana biaya vaksinasi yang dikeluarkan perusahaan? Apakah dari pemotongan
modal disetor para pemilik modal, pemotongan keuntungan bersih, atau
dibebankan kepada ongkos produksi? Dalam perspektif ilmu ekonomi dimana
people respond to incentive, probabilitas terbesar biaya vaksin akan
dibebankan kepada ongkos produksi. Toh, hal ini tidak dilarang dalam permenkes. Vaksin gotong royong
menimbulkan ekses positif dan negatif. Vaksin gotong royong mendorong
percepatan cakupan vaksin dan, kedua, mendorong peningkatan utilisasi
kapasitas produksi pabrik atau unit usaha. Pabrik atau perusahaan yang telah
melakukan vaksinasi setidaknya bisa menjadikan pabrik atau unit usahanya
terutilisasi di atas level 50 persen, di atas batas ketentuan PSBB atau PPKM
mikro. Dampak negatif vaksinasi
gotong royong tidak bisa diremehkan, yakni potensi kecemburuan di masyarakat.
Bisa dipastikan, pekerja (dan keluarganya) yang akan mendapatkan vaksin
pertama kali adalah mereka yang bekerja di perusahaan yang telah mendaftar
program dan memiliki kemampuan keuangan memadai. Selain itu, potensi
kecemburuan antara pekerja formal dan informal juga bisa terjadi. Pada akhirnya, hal ini
bisa memicu gaduh yang memperlambat proses pengendalian pandemi Covid-19.
Celah akses vaksinasi tersebut bertolak belakang dengan anjuran Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan vaksinasi sebaiknya ditujukan untuk
kelompok rentan atau usia lanjut. Selain itu, vaksin gotong
royong bisa mendorong ongkos produksi. Hal ini terjadi apabila biaya vaksin
perusahaan dibebankan kepada ongkos produksi barang atau jasa. Pada titik
ekstrem, apabila 15 juta pekerja yang masuk dalam kategori pekerja formal dan
terdaftar BPJS mengikuti vaksinasi perusahaan, akan ada tambahan biaya ongkos
barang dan jasa dalam perekonomian Rp 13,19 triliun. Angka ini diperolah dari
biaya vaksin gotong royong dikalikan dengan 15 juta pekerja. Vaksin
gratis Tujuan utama yang harus
diperhatikan dalam program vaksinasi gotong royong adalah mempercepat
pencapaian kekebalan komunitas (herd immunity) di tengah keterbatasan
infrastruktur kesehatan pemerintah. Agar pencapaian kekebalan komunitas tidak
menimbulkan riak yang tidak diinginkan, semua vaksin Covid-19 yang
disuntikkan di wilayah Indonesia didorong supaya gratis, tak terkecuali
vaksin gotong royong. Meski bernama gotong
royong, keberadaan vaksin ini berpotensi menegasikan vaksin sebagai barang
publik dalam rangka pencapaian kekebalan masyarakat. Keterbatasan suplai
global menjadikan sifat non-rivalrous menjadi tidak eksis dalam vaksin
covid-19 saat ini. Non-rivalrous berarti konsumsi atas barang tersebut tidak
mengurangi jumlah barang yang tersedia. Konsumsi atas vaksin di
dalam kondisi suplai terbatas akan mengurangi jumlah barang yang tersedia,
tetapi tidak menghilangkan sifat nonexludable. Alasannya adalah semakin
banyak orang yang divaksin, manfaat yang dipetik publik akan semakin besar.
Manfaat ini antara lain mendekatkan pada kekebalan komunitas dan mengurangi
lonjakan kasus Covid-19. Non-excludable berarti tidak terkecuali tersedia
serta bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Ketersediaan vaksin
Covid-19 secara gratis atau sebagai publik adalah hal paling esensial di masa
pandemi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh pemerintah mengenai
gratisnya vaksin Covid-19 bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, hal ini
sejalan dengan WHO yang menyerukan bahwa vaksin Covid-19 harus menjadi barang
publik secara global. Vaksin sebagai barang
publik akan mempercepat distribusi dan memperluas akses terhadap vaksin.
Selain itu juga menegasikan beragam ekses vaksinasi Covid-19 yang tidak
mendahulukan kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan usaha pencapaian
kekebalan komunitas yang berkejaran dengan penyebaran pandemi. Sebagai barang
publik, vaksin harus bersifat non-rivalrous dan nonexludable. Urun
rembuk Pemerintah dan pengusaha
harus duduk bersama setidaknya untuk membahas akses vaksin antarpengusaha,
memastikan vaksinasi gotong royong menjadi vaksin gratis dan menjadikannya
sebagai barang publik. Dalam hal ini, perlu diperhatikan funding (pendanaan)
dan financing (pembiayaan). Selama pendanaan dari uang
pajak, barang tersebut bisa dikategorikan publik, yang penyediaannya
dilaksanakan pemerintah. Oleh karena itu, vaksin gotong royong bisa diambil
alih pemerintah dengan penggunaan dana pajak. Apabila pembiayaan vaksin
100 persen dana APBN. Maka, setidaknya, diperlukan Rp 97,7 triliun. Angka ini
diperolah dari biaya vaksin Rp 539.842 (harga vaksin Sinovac dosis komplet
ditambah Rp 150 biaya lainnya) dikali 181 juta orang sebagai syarat 70 persen
populasi tervaksinasi. Anggaran Rp 97,7 triliun
hanya sekira 5,6 persen dari APBN 2021 yang senilai Rp 1.743,6 triliun. Angka
tersebut jauh dari angka kebocoran APBN 30 persen di masa Orde Baru yang
pernah didengungkan salah satu begawan ekonomi Indonesia, Soemitro
Djojohadikoesoemo. Terlebih, KKN saat ini lebih parah dibandingkan dengan
zaman Orde Baru. Manfaat pembiayaan vaksin
dari dana pajak adalah memastikan akses vaksin berdiri di atas asas
kesetaraan. Hal ini untuk menjaga agar tidak ada narasi superioritas sebuah
entitas bisnis atas bisnis lainnya dalam program vaksinasi. Selain itu juga agar
tidak ada rasa utang budi pemerintah terhadap entitas bisnis tertentu yang
pada akhirnya bisa memunculkan konflik kepentingan di masa mendatang. Selain
itu, hal ini untuk mengantisipasi adanya pemburu rente vaksin gotong royong. Selain itu, hal lain yang
perlu menjadi perhatian implementasinya adalah prioritas berdasarkan sektor
usaha dan lokasi usaha. Sektor usaha padat karya, padat modal, dan atau usaha
yang berada di zona merah bisa menjadi yang pertama. Misalnya usaha di
industri tekstil masuk skala prioritas karena padat karya dan menjadi salah
satu komoditas unggulan ekspor Indonesia. Skala prioritas akan meminimalkan
potensi ketimpangan akses antarunit usaha. Beberapa poin prioritas sudah
termaktub dalam Permenkes Nomor 10 Tahun 2021. Selanjutnya, swasta
berpartisipasi dalam rangka membantu penyediaan infrastruktur pendukung
vaksinasi. Hal ini penting agar distribusi vaksin semakin lancar dan dan
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Swasta bisa memperoleh kompensasi
insentif pajak atas partisipasinya tersebut. Penulis kira, tidak akan menjadi
kendala apabila skema ini diterapkan mengingat kegentingan dalam rangka
pencapaian kekebalan komunitas. Semoga pandemi segera berlalu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar