Tekan
Emisi, Pulihkan Ekonomi Mohammad Faisal ; Direktur CORE (Center of Reform
on Economics) Indonesia |
KOMPAS, 05 Juni 2021
Salah satu tantangan dalam
membangkitkan perekonomian dari kondisi resesi adalah menentukan
langkah-langkah prioritas pemulihan yang tepat di tengah keterbatasan sumber
pendanaan. Sejalan dengan anjloknya tingkat permintaan, melemahnya daya beli
dan meluasnya pengangguran akibat resesi, prioritas utama di banyak negara di
dunia saat ini sudah barang tentu harus menyasar pada program-program bantuan
sosial, penciptaan lapangan kerja, dan insentif untuk dunia usaha. Namun yang sangat
disayangkan, hal tersebut dilakukan seringkali dengan mengesampingkan
perhatian pada daya dukung lingkungan yang justru dapat mengancam
keberlanjutan pemulihan ekonomi itu sendiri. Program-program pembangunan yang
bertujuan menekan emisi karbon umumnya dianggap sebagai kebutuhan jangka
panjang dengan tingkat urgensi rendah dalam situasi resesi. Padahal, resesi yang
dipicu oleh pandemi yang kita hadapi saat ini semestinya menyadarkan akan
pentingnya membangun ekonomi yang lebih kokoh terhadap guncangan krisis. Oleh
karena itu, di luar pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dimensi pembangunan
yang lain seperti kesehatan, lingkungan, sosial, semestinya mendapat
perhatian yang tidak kalah penting. Memang, peningkatan
aktivitas ekonomi tak jarang membawa eksternalitas negatif terhadap
lingkungan dalam bentuk meningkatnya emisi karbon. Namun demikian, bukan
berarti tidak ada jalan tengah yang dapat ditempuh yang dapat menyeimbangkan
antara mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menekan emisi karbon. Cukup
banyak program yang menyasar penciptaan lapangan kerja dan peningkatan
produktivitas yang sekaligus juga dapat mencegah peningkatan emisi karbon.
Salah satunya adalah program peremajaan di sektor perkebunan. Sejalan dengan
meningkatnya permintaan terhadap komoditas, pembukaan hutan untuk lahan
perkebunan juga semakin marak terjadi dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Hal ini tampak jelas misalnya dengan maraknya pembukaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit selama lebih dari satu dekade terakhir. Akibatnya,
sektor perkebunan pun menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap emisi
karbon, selain sektor pertambangan. Namun di sisi lain,
membatasi aktivitas di sektor perkebunan juga bukan merupakan pilihan yang
tepat mengingat besarnya kontribusi sektor ini dalam penciptaan lapangan
kerja, penerimaan devisa, dan pertumbuhan ekonomi. Khususnya, dalam situasi
dimana sangat dibutuhkan penciptaan lapangan kerja yang luas untuk meredam
lonjakan pengangguran akibat pandemi seperti saat ini. Untuk menahan laju
deforestasi akibat aktivitas perkebunan, jalan keluar yang perlu ditempuh
adalah menggalakkan program peremajaan yang bersifat padat karya untuk
meningkatkan produktivitas lahan perkebunan. Pasalnya, salah satu penyebab
merebaknya pembukaan lahan untuk perkebunan di Indonesia selama ini adalah
rendahnya produktivitas lahan perkebunan. Kondisi ini tidak hanya terjadi
pada tanaman kelapa sawit yang merupakan komoditas primadona di pasar ekspor,
tetapi juga tanaman perkebunan lainnya termasuk kopi, kakao, karet, dan
kelapa. Untuk komoditas karet,
lahan yang tidak menghasilkan (rusak) mencapai 5 persen dari total luas lahan
perkebunan karet di Indonesia. Sedangkan komoditas lainnya, persentase lahan
rusak bahkan jauh lebih besar, yakni 10 persen untuk kopi, 12 persen untuk
kelapa, dan 15 persen untuk kakao. Ini berarti ada sekitar 5 hingga 15 persen
kesempatan yang hilang (opportunity loss) dari lahan perkebunan untuk
menambah penghasilan petani dan mendorong perekonomian secara nasional,
termasuk menyerap emisi karbon. Sebagai salah satu
konsekwensinya dari sisi ekonomi, tingkat produksi di Indonesia menjadi
tertinggal dibandingkan negara-negara produsen komoditas perkebunan yang
lain. Untuk kakao, misalnya, tingkat produksi Indonesia terus berkurang pada
saat negara-negara produsen kakao yang lain rata-rata justru mampu
meningkatkan produksinya. Pada tahun 2018 Indonesia
hanya memproduksi 240.000 ton biji kakao per tahun, kurang separuh dari
tingkat produksi pada tahun 2008 yang mencapai 485 ribu ton. Dalam kurun
waktu yang sama, Pantai Gading mampu meningkatkan produksi kakao dari 1,38
juta ton pada tahun 2008 menjadi 1,96 juta ton pada tahun 2018, Ghana dari
729.000 ton menjadi 905.000 ton, sementara Kamerun dari 185.000 ton menjadi
250.000 ton. Selama ini peremajaan
lahan perkebunan bukannya tidak pernah dilakukan. Hanya saja, peremajaan yang
diterapkan selama ini sangat terfokus pada perkebunan kelapa sawit, yang
banyak dikelola oleh korporasi. Sementara peremajaan lahan perkebunan di luar
sawit yang umumnya didominasi oleh perkebunan rakyat masih sangat terbatas. Kalaupun ada, peremajaan
yang dilakukan umumnya terfokus pada pengadaan bibit saja, tanpa disertai
program pendampingan yang memadai untuk para petani, termasuk untuk penerapan
good farming practices. Tak heran jika kemudian produktivitas lahan
perkebunan, khususnya non-sawit, menjadi sangat rendah. Kelemahan lainnya dalam
program peremajaan perkebunan selama ini adalah tidak tersedianya insentif
dalam bentuk upah untuk petani yang berperan kunci dalam kegiatan penanaman.
Insentif upah ini sangat penting untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan
dari waktu yang mereka luangkan untuk melakukan aktivitas peremajaan. Apalagi
para petani umumnya amat bergantung pada upah harian untuk menopang kebutuhan
mereka dan keluarga mereka sehari-hari. Jika program peremajaan
perkebunan digalakkan sehingga mencakup berbagai komoditas dan dikemas dalam
bentuk padat karya tunai, maka setidaknya ada tiga potensi manfaat yang dapat
diperoleh. Pertama, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan
masyarakat berpendapatan rendah secara langsung di sisi hulu. Kedua,
meningkatkan pasokan bahan baku bagi industri hilir yang mengolah komoditas
perkebunan. Ketiga, mengurangi potensi deforestasi akibat perluasan lahan
perkebunan yang dapat menahan laju peningkatan emisi karbon. Artinya, upaya mendorong
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebenarnya
dapat berjalan beriringan dengan upaya menekan emisi karbon dan mewujudkan
pembangunan yang lebih berkelanjutan. Dengan anggaran untuk
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang relatif besar, semestinya
langkah terobosan semacam ini tidak sukar untuk dijalankan. Apalagi prioritas
program PEN selama ini juga diharapkan dapat mendorong daya beli masyarakat
dan meningkatkan permintaan domestik. Terlepas dari peran
penting program bantuan sosial dalam membantu kehidupan masyarakat miskin
khususnya dalam kondisi resesi, langkah-langkah untuk mendorong penciptaan
lapangan kerja merupakan cara terbaik dan lebih sustainable untuk mendongkrak
daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Selain inisiatif di sektor
perkebunan tersebut, masih banyak lagi langkah terobosan lain yang dapat
ditempuh untuk mendorong proses pemulihan ekonomi yang lebih kuat dan
berkelanjutan. Termasuk di antaranya pemberdayaan UMKM dalam bisnis daur
ulang sampah dan pengembangan energi baru terbarukan, dan lain-lain.
Kesemuanya tentu membutuhkan political will dan koordinasi antar kelembagaan
yang kuat agar dapat berjalan efektif. Melalui langkah-langkah
terobosan semacam ini, tidak hanya target-target pemulihan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja dalam jangka pendek yang dapat dicapai. Namun yang tak kalah
penting juga adalah terbangunnya struktur ekonomi yang lebih kuat dan lebih
tahan terhadap guncangan krisis yang sangat mungkin terjadi bukan semata
dipicu oleh faktor ekonomi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar