Minggu, 06 Juni 2021

 

Tekan Emisi, Pulihkan Ekonomi

Mohammad Faisal ; Direktur CORE (Center of Reform on Economics) Indonesia

KOMPAS, 05 Juni 2021

 

 

                                                           

Salah satu tantangan dalam membangkitkan perekonomian dari kondisi resesi adalah menentukan langkah-langkah prioritas pemulihan yang tepat di tengah keterbatasan sumber pendanaan. Sejalan dengan anjloknya tingkat permintaan, melemahnya daya beli dan meluasnya pengangguran akibat resesi, prioritas utama di banyak negara di dunia saat ini sudah barang tentu harus menyasar pada program-program bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, dan insentif untuk dunia usaha.

 

Namun yang sangat disayangkan, hal tersebut dilakukan seringkali dengan mengesampingkan perhatian pada daya dukung lingkungan yang justru dapat mengancam keberlanjutan pemulihan ekonomi itu sendiri. Program-program pembangunan yang bertujuan menekan emisi karbon umumnya dianggap sebagai kebutuhan jangka panjang dengan tingkat urgensi rendah dalam situasi resesi.

 

Padahal, resesi yang dipicu oleh pandemi yang kita hadapi saat ini semestinya menyadarkan akan pentingnya membangun ekonomi yang lebih kokoh terhadap guncangan krisis. Oleh karena itu, di luar pertimbangan-pertimbangan ekonomi, dimensi pembangunan yang lain seperti kesehatan, lingkungan, sosial, semestinya mendapat perhatian yang tidak kalah penting.

 

Memang, peningkatan aktivitas ekonomi tak jarang membawa eksternalitas negatif terhadap lingkungan dalam bentuk meningkatnya emisi karbon. Namun demikian, bukan berarti tidak ada jalan tengah yang dapat ditempuh yang dapat menyeimbangkan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menekan emisi karbon. Cukup banyak program yang menyasar penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas yang sekaligus juga dapat mencegah peningkatan emisi karbon. Salah satunya adalah program peremajaan di sektor perkebunan.

 

Sejalan dengan meningkatnya permintaan terhadap komoditas, pembukaan hutan untuk lahan perkebunan juga semakin marak terjadi dalam lebih dari satu dekade terakhir. Hal ini tampak jelas misalnya dengan maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit selama lebih dari satu dekade terakhir. Akibatnya, sektor perkebunan pun menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap emisi karbon, selain sektor pertambangan.

 

Namun di sisi lain, membatasi aktivitas di sektor perkebunan juga bukan merupakan pilihan yang tepat mengingat besarnya kontribusi sektor ini dalam penciptaan lapangan kerja, penerimaan devisa, dan pertumbuhan ekonomi. Khususnya, dalam situasi dimana sangat dibutuhkan penciptaan lapangan kerja yang luas untuk meredam lonjakan pengangguran akibat pandemi seperti saat ini.

 

Untuk menahan laju deforestasi akibat aktivitas perkebunan, jalan keluar yang perlu ditempuh adalah menggalakkan program peremajaan yang bersifat padat karya untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan. Pasalnya, salah satu penyebab merebaknya pembukaan lahan untuk perkebunan di Indonesia selama ini adalah rendahnya produktivitas lahan perkebunan. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada tanaman kelapa sawit yang merupakan komoditas primadona di pasar ekspor, tetapi juga tanaman perkebunan lainnya termasuk kopi, kakao, karet, dan kelapa.

 

Untuk komoditas karet, lahan yang tidak menghasilkan (rusak) mencapai 5 persen dari total luas lahan perkebunan karet di Indonesia. Sedangkan komoditas lainnya, persentase lahan rusak bahkan jauh lebih besar, yakni 10 persen untuk kopi, 12 persen untuk kelapa, dan 15 persen untuk kakao. Ini berarti ada sekitar 5 hingga 15 persen kesempatan yang hilang (opportunity loss) dari lahan perkebunan untuk menambah penghasilan petani dan mendorong perekonomian secara nasional, termasuk menyerap emisi karbon.

 

Sebagai salah satu konsekwensinya dari sisi ekonomi, tingkat produksi di Indonesia menjadi tertinggal dibandingkan negara-negara produsen komoditas perkebunan yang lain. Untuk kakao, misalnya, tingkat produksi Indonesia terus berkurang pada saat negara-negara produsen kakao yang lain rata-rata justru mampu meningkatkan produksinya.

 

Pada tahun 2018 Indonesia hanya memproduksi 240.000 ton biji kakao per tahun, kurang separuh dari tingkat produksi pada tahun 2008 yang mencapai 485 ribu ton. Dalam kurun waktu yang sama, Pantai Gading mampu meningkatkan produksi kakao dari 1,38 juta ton pada tahun 2008 menjadi 1,96 juta ton pada tahun 2018, Ghana dari 729.000 ton menjadi 905.000 ton, sementara Kamerun dari 185.000 ton menjadi 250.000 ton.

 

Selama ini peremajaan lahan perkebunan bukannya tidak pernah dilakukan. Hanya saja, peremajaan yang diterapkan selama ini sangat terfokus pada perkebunan kelapa sawit, yang banyak dikelola oleh korporasi. Sementara peremajaan lahan perkebunan di luar sawit yang umumnya didominasi oleh perkebunan rakyat masih sangat terbatas.

 

Kalaupun ada, peremajaan yang dilakukan umumnya terfokus pada pengadaan bibit saja, tanpa disertai program pendampingan yang memadai untuk para petani, termasuk untuk penerapan good farming practices. Tak heran jika kemudian produktivitas lahan perkebunan, khususnya non-sawit, menjadi sangat rendah.

 

Kelemahan lainnya dalam program peremajaan perkebunan selama ini adalah tidak tersedianya insentif dalam bentuk upah untuk petani yang berperan kunci dalam kegiatan penanaman. Insentif upah ini sangat penting untuk mengkompensasi hilangnya pendapatan dari waktu yang mereka luangkan untuk melakukan aktivitas peremajaan. Apalagi para petani umumnya amat bergantung pada upah harian untuk menopang kebutuhan mereka dan keluarga mereka sehari-hari.

 

Jika program peremajaan perkebunan digalakkan sehingga mencakup berbagai komoditas dan dikemas dalam bentuk padat karya tunai, maka setidaknya ada tiga potensi manfaat yang dapat diperoleh. Pertama, menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah secara langsung di sisi hulu. Kedua, meningkatkan pasokan bahan baku bagi industri hilir yang mengolah komoditas perkebunan. Ketiga, mengurangi potensi deforestasi akibat perluasan lahan perkebunan yang dapat menahan laju peningkatan emisi karbon.

 

Artinya, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebenarnya dapat berjalan beriringan dengan upaya menekan emisi karbon dan mewujudkan pembangunan yang lebih berkelanjutan.

 

Dengan anggaran untuk Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang relatif besar, semestinya langkah terobosan semacam ini tidak sukar untuk dijalankan. Apalagi prioritas program PEN selama ini juga diharapkan dapat mendorong daya beli masyarakat dan meningkatkan permintaan domestik.

 

Terlepas dari peran penting program bantuan sosial dalam membantu kehidupan masyarakat miskin khususnya dalam kondisi resesi, langkah-langkah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja merupakan cara terbaik dan lebih sustainable untuk mendongkrak daya beli dan kesejahteraan masyarakat.

 

Selain inisiatif di sektor perkebunan tersebut, masih banyak lagi langkah terobosan lain yang dapat ditempuh untuk mendorong proses pemulihan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan. Termasuk di antaranya pemberdayaan UMKM dalam bisnis daur ulang sampah dan pengembangan energi baru terbarukan, dan lain-lain. Kesemuanya tentu membutuhkan political will dan koordinasi antar kelembagaan yang kuat agar dapat berjalan efektif.

 

Melalui langkah-langkah terobosan semacam ini, tidak hanya target-target pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja dalam jangka pendek yang dapat dicapai. Namun yang tak kalah penting juga adalah terbangunnya struktur ekonomi yang lebih kuat dan lebih tahan terhadap guncangan krisis yang sangat mungkin terjadi bukan semata dipicu oleh faktor ekonomi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar