Demokrasi
Itu Mendengar Suara Rakyat Budiman Tanuredjo ; Wartawan
Senior Kompas |
KOMPAS, 05 Juni 2021
"Demokrasi
adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya. Demokrasi adalah datang ke
pelelangan ikan, datang ke bantaran sungai, karena kami ingin mendengar suara
rakyat… Setiap masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan dan
mengajak bicara….” Joko
Widodo, 9 Juni 2014 Joko Widodo tampil memukau
dalam debat calon presiden di Balai Sarbini, Jakarta, malam itu. Definisi
demokrasi yang rumit disederhanakan oleh mantan Wali Kota Solo dan Gubernur
Jakarta itu. ”Demokrasi itu mendengar suara rakyat dan melaksanakan kehendak
rakyat.” Hadirin debat capres dan pemirsa televisi berdecak kagum atas
kemampuan Jokowi dalam membumikan konsep demokrasi. Pemahaman demokrasi dan
kekuasaan yang dilakoni Jokowi muncul dalam pengalaman politiknya saat
menjadi Wali Kota Solo. Dia tekun dan sabar berunding hingga puluhan kali
dengan pedagang pasar yang akan direlokasi tanpa kekerasan. Karena itulah,
Jokowi menjelaskan laku demokrasi berdasar pengalaman empirisnya. ”Setiap
masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan, mengajak bicara,”
kata Jokowi dalam debat capres untuk masa jabatan 2014-2019. Jokowi dan Jusuf Kalla
terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Kepercayaan rakyat
masih diberikan untuk periode kedua. Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin
hingga 20 Oktober 2024. Jokowi terpilih sebagai
presiden karena dia menawarkan harapan baru. Kepemimpinan sipil yang berasal
dari rakyat biasa, dari Solo, bukan dari kawasan elite di Menteng, Jakarta.
Saat menjadi Wali Kota Solo, Jokowi bersama Wali Kota Yogyakarta Herry
Zuhdianto menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award tahun 2010. Prestasi Jokowi dan Herry
meraih Bung Hatta Anti Corruption Award 2010 dianalisis Sukardi Rinakit di
Kompas, 2 November 2010, dalam artikel berjudul ”Memimpin dengan Keluhuran”.
Sukardi menulis; ”Kepemimpinan yang ditunjukkan tokoh lokal itu, jika
ditambah dengan loyalitas dan kesetiaan Mbah Maridjan (juru kunci Gunung
Merapi) dalam melaksanakan tugas, terciptalah keluhuran kepemimpinan. Namun,
patut disayangkan di tingkat nasional yang terjadi justru kehancuran karakter
kepemimpinan. Sulit mencari sosok politisi, baik di eksekutif maupun
legislatif, yang setia memanggul kebajikan. Semua cenderung bersetia pada
pragmatisme politik. Keuangan ekonomi dan politik jangka pendek adalah muara
pada akhirnya.” Memang ada pepatah lama,
honores mutant mores, saat mulai berkuasa berubah pula tingkah lakunya.
Mengamati kinerja pemerintahan Presiden Jokowi, periode pertama, tampak masih
ada kesetiaan pada apa yang diyakininya. Presiden Jokowi masih sering bertemu
masyarakat sipil untuk mendiskusikan masalah bangsa. Saat ribut-ribut KPK dan
Polri, Presiden Jokowi mengundang tokoh sipil dan membentuk tim independen
untuk mengurai benang kusut kisruh KPK dan Polri pada 2015. Saat tekanan
politik meningkat jelang pengesahan revisi UU KPK, Presiden Jokowi mengundang
tokoh masyarakat sipil untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar. Keteguhan Presiden Jokowi
pada pemberantasan korupsi dan pembelaannya pada penyidik KPK berintegritas,
ditunjukkan saat merespons penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel
Baswedan, Selasa 11 April 2017. Presiden Jokowi menilai penyerangan terhadap
Novel adalah tindakan brutal dan tidak beradab. ”Jangan sampai orang-orang
yang memiliki prinsip teguh seperti itu dilukai dengan cara yang tidak
beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang lagi,” kata Presiden
Jokowi (Kompas, 12 April 2017). Waktu berlalu. Publik
meyakini Presiden Jokowi memahami demokrasi adalah mendengar rakyat dan
melaksanakan kehendak rakyat. Mendengar pimpinan partai politik, mendengar
pembantunya, seharusnya dilakukan, tetapi mendengarkan suara rakyat akan
makin menggenapkan pemahaman persoalan. Dalam kisruh KPK yang tak
kunjung rampung, kendati Presiden Jokowi sudah menyampaikan pesan agar
pegawai KPK jangan diberhentikan, perintah itu ditafsirkan berbeda. Tentu ada
masalah besar di sana. Di situlah mengapa 75 guru besar antikorupsi
menyuarakan keprihatinannya atas nasib bangsa. Di situlah mengapa, 75 pegawai
KPK yang dinonaktifkan Ketua KPK Firli Bahuri bergerak mencari perlindungan.
Bahkan, 51 pegawai KPK dicap ”merah” oleh Badan Kepegawaian Negara dan
Pimpinan KPK. Mereka disebut tidak bisa
dibina lagi. Padahal, mereka telah berbakti untuk negeri dalam memberantas
korupsi. Ada di antara mereka yang terlibat dalam operasi penangkapan
terdakwa kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin di
Bogota, Kolombia; penangkapan Nunun Nurbaeti, perantara pemberi cek
perjalanan DPR, di Bangkok, Thailand. Meminjam istilah Komisaris Jenderal
Firli Bahuri, perampok uang negara yang mengorupsi uang negara adalah
pengkhianat terhadap Pancasila. Rasanya, Presiden Jokowi
perlu mendengar mereka, mendengar guru besar yang risau dan galau. Mengundang
aktivis antikorupsi seperti Teten Masduki, kini Menteri Koperasi dan UKM,
mendengar mantan Juru Bicara Presiden Johan Budi SP yang pernah memimpin KPK
dan kini jadi anggota DPR. Agar informasi menjadi lengkap, termasuk membentuk
tim independen untuk menyelesaikan kisruh. Saatnya Presiden Jokowi
kembali pada keyakinan pribadinya soal demokrasi dan kekuasaan. ”Setiap
masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan, dan mengajak
bicara…”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar