Minggu, 06 Juni 2021

 

Demokrasi Itu Mendengar Suara Rakyat

Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 05 Juni 2021

 

 

                                                           

"Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya. Demokrasi adalah datang ke pelelangan ikan, datang ke bantaran sungai, karena kami ingin mendengar suara rakyat… Setiap masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan dan mengajak bicara….

 

Joko Widodo, 9 Juni 2014

 

Joko Widodo tampil memukau dalam debat calon presiden di Balai Sarbini, Jakarta, malam itu. Definisi demokrasi yang rumit disederhanakan oleh mantan Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta itu. ”Demokrasi itu mendengar suara rakyat dan melaksanakan kehendak rakyat.” Hadirin debat capres dan pemirsa televisi berdecak kagum atas kemampuan Jokowi dalam membumikan konsep demokrasi.

 

Pemahaman demokrasi dan kekuasaan yang dilakoni Jokowi muncul dalam pengalaman politiknya saat menjadi Wali Kota Solo. Dia tekun dan sabar berunding hingga puluhan kali dengan pedagang pasar yang akan direlokasi tanpa kekerasan. Karena itulah, Jokowi menjelaskan laku demokrasi berdasar pengalaman empirisnya. ”Setiap masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan, mengajak bicara,” kata Jokowi dalam debat capres untuk masa jabatan 2014-2019.

 

Jokowi dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Kepercayaan rakyat masih diberikan untuk periode kedua. Jokowi berpasangan dengan Ma’ruf Amin hingga 20 Oktober 2024.

 

Jokowi terpilih sebagai presiden karena dia menawarkan harapan baru. Kepemimpinan sipil yang berasal dari rakyat biasa, dari Solo, bukan dari kawasan elite di Menteng, Jakarta. Saat menjadi Wali Kota Solo, Jokowi bersama Wali Kota Yogyakarta Herry Zuhdianto menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award tahun 2010.

 

Prestasi Jokowi dan Herry meraih Bung Hatta Anti Corruption Award 2010 dianalisis Sukardi Rinakit di Kompas, 2 November 2010, dalam artikel berjudul ”Memimpin dengan Keluhuran”. Sukardi menulis; ”Kepemimpinan yang ditunjukkan tokoh lokal itu, jika ditambah dengan loyalitas dan kesetiaan Mbah Maridjan (juru kunci Gunung Merapi) dalam melaksanakan tugas, terciptalah keluhuran kepemimpinan. Namun, patut disayangkan di tingkat nasional yang terjadi justru kehancuran karakter kepemimpinan. Sulit mencari sosok politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, yang setia memanggul kebajikan. Semua cenderung bersetia pada pragmatisme politik. Keuangan ekonomi dan politik jangka pendek adalah muara pada akhirnya.”

 

Memang ada pepatah lama, honores mutant mores, saat mulai berkuasa berubah pula tingkah lakunya. Mengamati kinerja pemerintahan Presiden Jokowi, periode pertama, tampak masih ada kesetiaan pada apa yang diyakininya. Presiden Jokowi masih sering bertemu masyarakat sipil untuk mendiskusikan masalah bangsa. Saat ribut-ribut KPK dan Polri, Presiden Jokowi mengundang tokoh sipil dan membentuk tim independen untuk mengurai benang kusut kisruh KPK dan Polri pada 2015. Saat tekanan politik meningkat jelang pengesahan revisi UU KPK, Presiden Jokowi mengundang tokoh masyarakat sipil untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar.

 

Keteguhan Presiden Jokowi pada pemberantasan korupsi dan pembelaannya pada penyidik KPK berintegritas, ditunjukkan saat merespons penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Selasa 11 April 2017. Presiden Jokowi menilai penyerangan terhadap Novel adalah tindakan brutal dan tidak beradab. ”Jangan sampai orang-orang yang memiliki prinsip teguh seperti itu dilukai dengan cara yang tidak beradab. Kekerasan seperti itu tidak boleh terulang lagi,” kata Presiden Jokowi (Kompas, 12 April 2017).

 

Waktu berlalu. Publik meyakini Presiden Jokowi memahami demokrasi adalah mendengar rakyat dan melaksanakan kehendak rakyat. Mendengar pimpinan partai politik, mendengar pembantunya, seharusnya dilakukan, tetapi mendengarkan suara rakyat akan makin menggenapkan pemahaman persoalan.

 

Dalam kisruh KPK yang tak kunjung rampung, kendati Presiden Jokowi sudah menyampaikan pesan agar pegawai KPK jangan diberhentikan, perintah itu ditafsirkan berbeda. Tentu ada masalah besar di sana. Di situlah mengapa 75 guru besar antikorupsi menyuarakan keprihatinannya atas nasib bangsa. Di situlah mengapa, 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan Ketua KPK Firli Bahuri bergerak mencari perlindungan. Bahkan, 51 pegawai KPK dicap ”merah” oleh Badan Kepegawaian Negara dan Pimpinan KPK.

 

Mereka disebut tidak bisa dibina lagi. Padahal, mereka telah berbakti untuk negeri dalam memberantas korupsi. Ada di antara mereka yang terlibat dalam operasi penangkapan terdakwa kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin di Bogota, Kolombia; penangkapan Nunun Nurbaeti, perantara pemberi cek perjalanan DPR, di Bangkok, Thailand. Meminjam istilah Komisaris Jenderal Firli Bahuri, perampok uang negara yang mengorupsi uang negara adalah pengkhianat terhadap Pancasila.

 

Rasanya, Presiden Jokowi perlu mendengar mereka, mendengar guru besar yang risau dan galau. Mengundang aktivis antikorupsi seperti Teten Masduki, kini Menteri Koperasi dan UKM, mendengar mantan Juru Bicara Presiden Johan Budi SP yang pernah memimpin KPK dan kini jadi anggota DPR. Agar informasi menjadi lengkap, termasuk membentuk tim independen untuk menyelesaikan kisruh.

 

Saatnya Presiden Jokowi kembali pada keyakinan pribadinya soal demokrasi dan kekuasaan. ”Setiap masalah harus diselesaikan dengan dialog, mengundang makan, dan mengajak bicara…”. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar