Tangkislah
Serangan Covid Jean Couteau ; Penulis kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu |
KOMPAS, 27 Juni 2021
Tidak mudah bertatap muka
dengan orang lain semasa pandemi Covid-19. Kalau bertemu, mukanya harus
tertutup. Bermasker. Tak boleh ada lagi yang namanya cipika-cipiki. Bisa kena
Covid. Meski kita memakai masker, tak berani ngomong, terutama kalau tak ada
angin. Takut si Covid memanfaatkan kesempatan itu untuk meloncat nempel, lalu
merambat entah ke mana, di pojok hidung, di langit-langit, atau di ujung
lidah. Bahaya! Pokoknya si Covid
mutlak kudu dilawan, dihadang, dan dikalahkan sebelum dia menyelusup masuk ke
tenggorokan, dan lebih-lebih bercokol di paru-paru. Kalau ditelan saja, tidak
terlalu parah. Sesampai di lambung, ia akan diserang asamnya dan mampus
sebelum sempat berbiak-biak. Paling-paling akan menyebabkan mules dan
mencret, keluar entah bagaimana dan merampungkan sisa pengalaman hidupnya
sebagai pupuk di kebun kecil belakang rumah, atau sebagai santapan favorit di
lorong tikus dan kecoa. Namun, seandainya dia salah jalan dan sampai masuk ke
paru-paru, lain ceritanya. Di situ, anginnya segar untuk berkembang biak.
Maka, begitu si Covid dihirup, langsung masuk dan bercokol. Ideal untuk si virus
bandel ini. Dia keenakan, bisa berfoya-foya sebagai mahkota protein. Apalagi
dia tak sendiri. Ada betinanya. Maka, tanpa disadari oleh yang empunya
paru-paru, si Covid sudah kasmaran dan beranak-pinak tanpa menghiraukan
pendapat siapa pun. Pokoknya bikin anak! Banyak! Mungil-mungil semuanya. Tak
mengherankan tanpa makan waktu lama paru-paru tak bisa bernapas. Kehabisan
udara. Si empunya paru sampai megap-megap! Kewalahan menghadapi serangan
massal anak-anak Covid! Si empunya paru-paru bisa mati. Kecuali…. Ya, kecuali kalau ada bala
bantuan. Karena selama ini, yang melawan si Covid ini hanya tentara pribadi
si empunya paru-paru. Antibodi, namanya. Cukup hebat sebenarnya si antibodi
itu! Kalau satu lawan satu, serdadu antibodi satu, Covid satu, antibodi pasti
menang. Memang, banyak jagoannya di antaranya! Tetapi, antibodi mempunyai
masalah: betapa hebatnya di dalam pertarungan satu lawan satu, dia kalah soal
beranak pinak. Minatnya kurang, hampir
impoten! Meski ada betinanya, dia tak mampu beranak pinak di dalam jumlah
yang cukup banyak untuk menangkis serangan barisan Covid yang terus
berdatangan tak takut mati. Apalagi, celakanya! mayat-mayat Covid yang
bergelimpangan itu memblokir kanal-kanal oksigen menuju vena-vena yang
empunya tubuh. Di situ, menunggu sang maut penjemput kematian, yang empunya
paru-paru itu! Ampun deh! Satu-satunya jalan keluar
agar sang empunya paru-paru bisa hidup ialah mencari bantuan luar. Vaksin,
namanya! Begitu disuntik, bak viagra, para antibodi terpicu menjadi perkasa.
Gilirannya beranak pinak. Membeludak jumlahnya. Jutaan banyaknya. Dampaknya
langsung terasa. Baru si Covid masuki tubuh, belum dia sampai di paru-paru,
sudah ketahuan niat jahatnya. Lalu dihadang. Dibidik panah antibodi. Byur,
celetak! Kena! Babak belur. Tentara Covid jahanam lari tunggang langgang.
Kecut. Itulah kesaktian si vaksin. Memicu antibodi yang mengenyahkan Covid. Sekarang, ibaratkan kalian
adalah serdadu antibodi di atas. Akan bereaksi bagaimana apabila mendengar
bahwa komandan Anda, yang bermarkas nun jauh di atas sana, menolak bala
bantuan vaksin gara-gara vaksin disebut-sebut terkontaminasi babi atau
menjadikan Bill Gates lebih kaya. Pasti kalian akan nuntut komandan itu
disepak dan bala bantuan diterima. Kini, bolehkah saya lebih
serius? Kalian telah membaca dan memahami cerita metaforik ini, kan? Maka,
jangan ragu-ragu, teman-teman. Jangan membiarkan si Covid mengantar Anda dan
orang di sekitar anda—siapa tahu?—ke ambang maut. Siapa pun Anda, petani dan
tuan tanah, buruh dan eksekutif, orang kaya dan orang miskin, beragama Islam,
Hindu, Kristen, Buddha, Konghucu, atau aliran kepercayaan; jangan kalian
perhatikan suara sumbang orang yang tidak bertanggung jawab. Bersedialah
kalian untuk divaksin. Semua. Demi keselamatan kita bersama. Amin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar