Rasa
Budaya ”daripada” Presiden Soeharto Agus Dermawan T ; Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden
Republik Indonesia |
KOMPAS, 27 Juni 2021
Presiden ke-2 RI Soeharto
(1921- 2008), 8 Juni 2021, genap ”berusia” 100 tahun. Atas usia keramat
pemimpin sekelas Pak Harto, begitu saya selanjutnya memanggil, seharusnya
diperingati secara seremonial. Apalagi ketika dirujuk kepada lamanya ia
memerintah, 32 tahun. Namun, mungkin karena pandemi
Covid-19 masih melanda, atau lantaran memori politik yang diwariskan (masih)
dianggap kontroversial dan menciutkan jiwa, atau tersebab keluarga Pak Harto
sekarang menerapkan pola hidup darurat, seremoni besar itu tidak ada.
Sehingga, yang terselenggara adalah seremoni internal keluarga yang diisi
dengan doa-doa dan secercah testimoni sosial politik. Satu-satunya seremoni
seni yang saya catat adalah peragaan melukis sosok Pak Harto oleh Ki Joko
Wasis di Yogyakarta, yang dilakukan sambil berjalan menyusuri jalan raya. Sementara bersamaan dengan
itu di Yogyakarta diselenggarakan pameran Akara yang mengisi ”Juni-Bulan Bung
Karno”. Pameran karya 78 perupa ternama ini dibuka oleh Megawati
Soekarnoputri dan dihibur nyanyian Krisdayanti. Timbunan gelora Bung Karno
atas keheningan seremoni 100 Tahun Pak Harto ini bertambah ketika kantor
Kementerian Pertahanan di Jakarta meresmikan monumen Bung Karno berkuda, yang
dibikin oleh pematung Dunadi. Ingatan juga mencatat,
kadar seremoni 100 Tahun Pak Harto memang sangat berbeda dengan ketika Bung
Karno (1901-1970) ”berusia” 100 tahun pada 2001. Kala itu buku-buku baru
mengenai Bung Karno diterbitkan, sementara buku lama dicetak kembali.
Kompetisi dan pameran seni mengenai Bung Karno tergelar di mana-mana. Baliho
dan spanduk kultus Bung Karno terpampang di berbagai kota dan desa. Pemaparan
ulang riwayatnya menggelora di puluhan media massa. Tapi dalam keheningan
seremoni itu kitab kenangan yang menulis hubungan non politik Pak Harto dan
Bung Karno justru dengan serta merta terbuka. Seleret kejadian yang agaknya
tidak banyak diketahui orang. Lantaran semua itu berkait dengan khazanah
eksklusif: warisan benda seni Bung Karno di Istana Kepresidenan. Pak
Harto takut kualat Pak Harto menguasai
istana-istana kepresidenan yang ditebari benda seni warisan Bung Karno sejak
1967 hingga 1998. Seperti diakui Pak Harto, sebagai anak petani yang jadi
tentara, kesenian relatif jauh dari kehidupannya. Lalu, dengan kenihilan itu,
apa yang ia lakukan atas ribuan benda seni di Istana? Jawaban atas itu
didapat dari Lim Wasim, pelukis Istana Presiden Sukarno (yang mendampingi Lee
Man Fong) sejak 1962. ”Pak Harto hanya
mewanti-wanti agar Kepala Rumah Tangga Istana Kepresidenan tidak mengubah
sebagian besar pajangan di semua Istana. Karena Pak Harto percaya bahwa
peletakan benda seni yang dilakukan Bung Karno itu ada perhitungan mistiknya.
Pak Harto takut kualat!” Namun, sambung Wasim, di
sisi lain Pak Harto malah tidak mempedulikan karya seni yang tidak terpajang.
Sehingga ia harus sekuat tenaga menjaga karya-karya seni itu di dalam gudang,
sampai dirinya keluar dari Istana pada 1968. Eh, setelah dia keluar, ada
laporan bahwa lukisan dan keramik koleksi Bung Karno banyak yang rusak atau
bahkan hilang. Tapi Pak Harto tidak
seterusnya lengah. Ketika sadar bahwa di Istana ada maling, Pak Harto
menganjurkan terbentuknya Sanggar Lukisan Istana Presiden. Institusi ini
bertanggungjawab atas semua benda seni di situ. Bila ada yang rusak dan
hilang lagi, sanggar itu yang ”digebuk”. Di kemudian hari,
menyadari bahwa dirinya masih saja kurang faham seni, Pak Harto lantas
memberdayakan potensi Joop Ave untuk mengatur seluruh aspek artistik kompleks
Istana Kepresidenan. Dari situ muncul sebuah
pertanyaan, jika Pak Harto tidak ingin menaruh selera seninya di dalam
Istana, adakah Ibu Negara Tien Soeharto mau menggantikannya? Banyak orang
yang berharap ihwal itu, mengingat pada tahun 1943 Ibu Tien pernah menjadi
pengurus Keimin Bunka Sidhoso (Lembaga Kebudayaan Jepang) di Solo. Harapan
itu ternyata tidak pernah terjawab. Walaupun tidak berarti Ibu Tien tak punya
peran. Misalnya, pada suatu kurun
sang Ibu Negara menginstruksikan agar aneka lukisan dan patung bertema
telanjang warisan Bung Karno diturunkan dari pajangan di semua Istana. Jurus
wacana etis ini mengalahkan wacana mistis Bung Karno yang konon dipercayai
Pak Harto. Itu sebabnya, selama hampir separuh pemerintahan Presiden
Soeharto, puluhan lukisan dan patung nude itu oleh Sanggar Lukisan Istana
Presiden ”disekap” dalam ruang tertutup di Istana Bogor. Meskipun penyekapan atau
alienasi lukisan-lukisan nude ini pada akhirnya menjadi bagian menarik dari
program ”wisata istana”. Petugas istana kadang menawari untuk menonton
lukisan-lukisan yang itu. Kadang, para pengunjung, yang mendengar adanya lukisan-lukisan
indah itu, yang meminta digiring ke sana. Di dalam ruangan tersebut
terpajang puluhan lukisan perempuan cantik, dalam ukuran sedang. Hampir
semuanya terbuat dari cat minyak, dan terkemas dengan pigura yang apik dan
cocok, dalam gaya realis fotografis. Di situ nampak buah tangan Basoeki
Abdullah, Antonio Blanco, Giovanetti, Joan Talwinski, serta sejumlah pelukis
potret manca negara, yang semua menunjukkan keahlian yang luar biasa. Yang
menyenangkan, lukisan-lukisan ”seronok” itu selalu terpelihara. Keberanian Ibu Tien itu
mendorong Pak Harto ikut memindahkan satu (ya, satu saja) lukisan dari tempat
asalnya. Lukisan tersebut adalah ”Jenderal Sudirman” karya Yoes Soepadyo,
yang dulu sangat disenangi Bung Karno. Lukisan ini lantas dipajang di Ruang
Jepara, ruang besar untuk menerima tamu-tamu negara. Konon hasrat Pak Harto
memindahkan lukisan tersebut berangkat dari penghormatan yang sifatnya
historikal. Jenderal Sudirman adalah komandannya pada era revolusi di Jawa
Tengah. Lalu, ingat enggak, setiap kali televisi menyiarkan pertemuan Pak
Harto dan tamunya, ”Jenderal Sudirman” selalu tampak menemaninya. Dua
museum warisan Pak Harto Warisan lain dari Pak
Harto yang layak diperhatikan adalah Museum Graha Lukisan dan Museum Purna
Bhakti Pertiwi, yang semua terletak di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Pada April 1997 keluarga
Pak Harto membuka Museum Graha Lukisan. Dinamakan demikian lantaran yang
dipajang di situ hampir semua lukisan. Graha Lukisan yang memiliki luas ruang
pamer 6.580 meter persegi memajang lukisan Affandi, Bagong Kussudiardja, But
Muchtar, Antonio Blanco, Huang Fong, Wayan Asta, sampai Lucia Hartini.
Lukisan Srihadi Soedarsono dalam beberapa tema ada di situ. Lukisan WG Hofker
dari Belanda, Berber dari Bosnia, Li Shuji dari Tiongkok, sampai Siew Hock
Meng dari Singapura juga ter-display dengan mentereng. Sebagian dari ratusan
lukisan itu tentulah dibeli sendiri oleh keluarga “daripada” Pak Harto. Namun
tidak sedikit yang merupakan pemberian dari famili, sahabat, dan handai taulan. Yang mengejutkan, di
antara jajaran lukisan muncul seri litografi karya Pablo Picasso yang
menggambarkan faset-faset lukisan ”Guernica” yang mashur itu. Serenteng karya
limited edition tersebut merupakan hadiah Raja Spanyol Juan Carlos kepada Ibu
Tien Soeharto. Syahdan, litografi ini pernah ketlingsut bertahun-tahun dalam
kopor di rumah Pak Harto di Jalan Cendana, Jakarta, sampai kemudian
diketemukan oleh Mbak Titiek (Siti Hediati Hariyadi). Maka begitu
diketemukan, litografi ”Guernica” pun dieman-eman betul, dan dijadikan ikon
Graha Lukisan. Museum Purna Bhakti
Pertiwi yang diresmikan pada 1993, luasnya tiga kali lebih besar dari Museum
Graha Lukisan. Museum ini memajang ratusan cenderamata koleksi Pak Harto,
dari yang berkualitas biasa sampai yang luar biasa, yang didapat pada kala
Pak Harto menjadi pemimpin rakyat sejak 1967. Dalam kelindan 100 Tahun
Pak Harto, saya lantas teringat apa yang dikatakan oleh Sampurno, Direktur
Taman Mini Indonesia Indah yang pernah menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan.
”Dua museum ini, Purna Bhakti Pertiwi dan Graha Lukisan, adalah buah dari
kerja diplomatik yang semestinya dihibahkan kepada rakyat sebagai warisan
nonpolitik.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar