Serangan
Balik Kenaikan PPN Enny Sri Hartati ; Peneliti Senior Institute for
Development of Economics and Finance |
KOMPAS, 08 Juni 2021
Pemerintah berencana
menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2022. Argumennya
tentu untuk kembali mengenjot penerimaan negara guna pembiayaan pemulihan
ekonomi pasca pandemi Covid-19. Apalagi realisasi penerimaan pajak 2020
terkontraksi 19,7 persen, hanya mencapai Rp 1.070 triliun. Sementara
pemerintah tidak mungkin terus melebarkan defisit dengan menambah utang.
Pasalnya, defisit anggaran 2020 sudah mencapai 6,09 persen atau Rp 956,3
triliun dengan tambahan utang Rp 1.227,8 triliun. Demikian juga defisit
anggaran 2021 diperkirakan 5,7 persen atau Rp 1.006,4 triliun, dengan
tambahan utang 1.177,4 triliun. Akibatnya posisi utang Pemerintah per April
2021 sudah mencapai Rp 6.527,29 triliun atau 41,18 persen terhadap produk
domestik bruto (PDB). Karenanya Pemerintah
berencana membatasi defisit APBN 2022 dikisaran 4,51-4,85 persen.
Konsekuensinya tentu harus mampu menaikkan penerimaan negara. Apalagi
pemerintah mendapatkan justifikasi, tarif PPN Indonesia masih 10 persen,
sementara rata-rata tarif PPN Asia 12 persen dan dunia 16 persen. Padahal, sistem dan konsep
pengenaan PPN antar negara berbeda-beda, sebagian dikenakan hanya pada produk
akhir atau pajak penjualan. Tentu juga diikuti oleh administrasi yang baik
dengan pola rantai pasok dan distribusi yang efisien. Sementara PPN di Indonesia
mengikuti sistem pertambahan nilai pada setiap rantai nilai produksi dan
rantai distribusi yang panjang. Alhasil sekalipun tarif PPN hanya 10 persen,
namun terkena PPN secara bertubi-tubi, sehingga konsumen atau pembeli
membayar jauh lebih mahal. Secara kalkulasi, kenaikan
PPN secara ad hoc dapat berpeluang menaikkan penerimaan negara. Namun belum
tentu akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Buktinya
kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap PDB selama 2020 hanya mentok di angka
9,29 persen. Juga dengan pangsa atau share terhadap pertumbuhan ekonomi hanya
0,15 persen. Padahal Pemerintah sudah melipatgandakan pengeluaran dengan
pembiayaan defisit lebih dari 6 persen. Namun sisa anggaran atau Silpa 2020
masih Rp 234,7 triliun. Apalagi, jika kenaikan
pengeluaran pemerintah yang tidak efektif sebagai stimulus fiskal justru
menambah beban pelaku usaha. Ibarat pepatah jawa “mburu uceng (ngejar ikan
kecil) tapi kelengan deleg (kehilangan ikan besar), yang menjadi determinan
utama pertumbuhan ekonomi. Kondisi
Terbalik Pemerintah berdalih akan
membuat kebijakan PPN multitarif, yaitu mengenakan perbedaan pajak untuk
jenis barang yang berbeda. Misalnya tarif PPN barang mewah yang dikonsumsi
orang kaya dikenakan PPN lebih tinggi. Sedangkan untuk barang kebutuhan pokok
dengan PPN lebih rendah. Terdapat beberapa persoalan yang membuat komitmen
tersebut menjadi tidak cukup realitis dan tidak mampu diimplementasikan. Pertama, kontribusi
terbesar dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga berasal dari kelompok
menengah atas. Itulah sebabnya Pemerintah justru memberikan relaksasi dengan
menurunkan PPnBm untuk kendaraan bermotor dan properti, bukan menurunkan
tarif PPN untuk berbagai barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Kedua, selama ini
kontributor utama penerimaan PPN berasal dari pengeluaran masyarakat kelas
menengah, yaitu sekitar 43 persen. Dengan sendirinya pemerintah pasti akan
menjaga agar konsumsi kelompok ini tidak menurun gara-gara kebijakan kenaikan
PPN. Apalagi kelompok kelas menengah di Indonesia sebagian besar berada pada
level menengah titik bawah, yaitu dengan kisaran penghasilan 5-6 dollar per
hari. Pengeluaran kelompok ini masih sangat elastis terhadap kenaikan harga
barang. Ketiga, penetrasi produk
impor murah. Peringkat daya saing Indonesia tahun 2020 melorot 8 peringkat
dari 32 menjadi 40. Hal ini terlihat jelas imbasnya dengan tersingkirnya
berbagai produk dalam negeri dari persaingan di pasar. Berbagai produk impor
murah telah menjadi predator dan membuat konsumen semakin jatuh cinta pada
produk impor. Pasalnya sebagai dampak dari perjanjian perdagangan bebas, maka
berbagai produk impor bebas bea masuk maupun PPN. Tentu jika PPN justru
dinaikkan maka akan semakin mempercepat kepunahan produk dalam negeri dari pasar. Keempat, menghambat
program reindustrialisasi. Berbagai program industri substitusi impor,
hilirisasi industri dan industri padat karya semakin terganggu. Kenaikan PPN
tentu membuat berbagai produk substitusi impor tidak akan menarik. Termasuk
investasi di sektor industri hilir dan padat karya semakin tidak efisien.
Jika hal ini yang terjadi, maka tambahan kenaikan PPN justru tidak mampu
mengompensasi hilangnya potensi penerimaan pajak karena adanya
deindustrialisasi. Walhasil penerimaan negara justru berpotensi mengalami kemerosotan. Kelima, menggerus daya
beli masyarakat. Kenaikan PPN sudah dapat dipastikan menyedot kantong
masyarakat. Berbagai kenaikan biaya produksi tentu langsung ditransfer
menjadi kenaikan berbagai harga produk. Di tengah lemahnya daya beli
masyarakat, kenaikan harga produk menjadi sangat rentan terhadap pemulihan
konsumsi rumah tangga. Kenaikan PPN dipastikan akan menggerus daya beli pada
semua lini kelompok pendapatan masyarakat. Beberapa studi
memperkirakan peningkatan 1 persen tarif PPN dapat menurunkan pertumbuhan
konsumsi rumah tangga sekitar 0,3 hingga 0,5 persen. Artinya berpotensi akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi lebih besar lagi mengingat konsumsi rumah
tangga merupakan determinan utama pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya dihitung
dari kontribusi langsung yang mencapai lebih 56 persen, namun efek lanjutan
penurunan konsumsi rumah tangga pasti juga memicu anjloknya investasi.
Pasalnya, sekitar 80 persen produksi memiliki orientasi pasar di dalam
negeri. Keenam, kenaikan tarif
pajak berpotensi menurunkan kepatuhan dari wajib pajak. Berbagai kasus moral
hazard perpajakan terjadi karena upaya penghindaran para wajib pajak dengan
berkolusi dengan petugas pajak. Apalagi jika Pemerintah sekaligus mewacanakan
akan ada lagi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Tentu kedisiplinan
wajib pajak semakin kendor. Langkah
Bijak Dengan terbatasnya
kontribusi stimulus fiskal pemerintah di dalam perekonomian, mestinya
pemerintah menempuh strategi yang lebih realistis. Upaya menekan defisit
anggaran, tidak selalu berarti harus menggenjot penerimaan negara. Apalagi
pada saat dunia usaha masih dalam kondisi pemulihan sebagai dampak tekanan
pandemi. Mestinya, justru memprioritaskan upaya optimalisasi anggaran melalui
efisiensi dan efektivitas anggaran. Utamanya fokus pada
alokasi anggaran yang produktif sehingga berdampak terhadap sektor-sektor
riil yang menciptakan lapangan kerja. Bukan justru mengalokasikan anggaran
yang fantastis untuk sektor ketertiban dan pertahanan. Disamping itu, sebagai
negara yang kaya raya sumber daya alam (SDA), mestinya peluang penerimaan
negara tidak hanya bergantung dari pajak. Sayangnya justru penerimaan bukan
pajak (PNPB), terutama yang berasal dari penerimaan SDA justru semakin
merosot. Total PNBP 2020 hanya mencapai Rp 343,9 triliun, antara lain dari
SDA non migas Rp 28,2 triliun, Minerba Rp 21,2 triliun, SDA kehutanan Rp 4,4
trilun, SDA perikanan Rp 0,6 triliun, SDA Panas bumi 2 triliun. Melihat
angka-angka tersebut tentu terasa kontras dibandingkan dengan dampak
kerusakan lingkungan dari berbagai eksploitasi SDA tersebut. Belum lagi jika
dibandingkan dengan luasnya hutan dan perikanan Indonesia. Disamping penerimaan SDA,
ratusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mestinya juga mampu menyumbang laba.
Apalagi, melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN), pemerintah telah
menyalurkan Rp 121,73 triliun. Nyatanya total deviden BUMN 2020 hanya sebesar
44,6 triliun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar