Pendidikan,
Penelitian, dan Kebangsaan Al Makin ; Rektor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta |
KOMPAS, 08 Juni 2021
Kesadaran kebangsaan
kenyataannya tidak berdiri sendiri dan tidak bisa dipisahkan dari faktor lain
dalam kehidupan bermasyarakat dari bidang ekonomi, budaya, hingga agama. Jiwa
patriotisme terutama saat ini erat kaitannya dengan pendidikan dan
penelitian. Bagaimana pendidikan, baik
formal maupun informal, dilaksanakan akan memengaruhi bagaimana cinta Tanah
Air itu diwujudkan dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Pendidikan itu
sendiri pada era global yang penuh persaingan ini bergantung pada bagaimana
penelitian itu digalakkan. Kita sering mendengar
teguran dari para pengamat dan visi pemimpin negeri ini bahwa pendidikan
kita, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, membutuhkan banyak jurus
pemecah kebuntuan. Jujur saja, materi pendidikan formal kita kadang kala
terasa terpisah dari dunia nyata yang kita hadapi sehari-hari. Target dan
goal pendidikan kita sering terdengar terlalu muluk, dan karena itu
membutuhkan upaya pembumian. Metode kelas terasa formal dan kurang dinamis. Tidaklah sulit
membayangkan, betapa berlebihnya beban mata pelajaran di kelas, bahkan
setelah tingkat perguruan tinggi dengan sistem satuan kredit semester (SKS).
Ini terasa benar jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di Singapura atau
Australia yang memilih jumlah pelajaran sedikit, tetapi lebih fokus dan
mendalam. Tentu universitas-universitas
di Indonesia di semua kementerian tidak bisa mengurangi tugas-tugas itu
secara mandiri karena regulasi dan peraturan yang ada berlaku secara nasional
dan jelas. Jika kita impikan sebuah reformasi, strategi ini membutuhkan
kearifan yang penuh tantangan, taktik yang bijak, dan langkah yang hati-hati
sehingga tidak menimbulkan efek guncangan. Salah satu yang kiranya
perlu menjadi perhatian para pengambil kebijakan, pendidik, dan pemimpin
lembaga semua lini adalah kecenderungan metode hafalan, doktriner, dan
dogmatis. Porsi berpikir kritis, jiwa penelitian, petualangan, dan
kemandirian masih perlu digenjot. Perguruan tinggi menerima
mahasiswa baru yang sudah terlatih dengan menghafal materi. Menanamkan jiwa
berpikir logis, mandiri, merdeka, dan semangat untuk penelitian dan penemuan
secara mendadak pada saat mahasiswa yang sudah selesai masa remajanya adalah
beban yang terlalu berat. Maka kearifan dalam memilih strategi untuk
reformasi pendidikan perlu pemikiran yang mendalam. Para mahasiswa, bahkan
yang sudah menjadi sarjana, kurang suka membaca. Rata-rata mereka tidak
berusaha untuk memperluas bahan bacaan, dengan lemahnya minat untuk mencari
hal-hal baru, tidak bersemangat untuk mengamati, dan maka mempunyai daya
juang penelitian dan inovasi tidak tinggi. Banyak survei membuktikan bahwa
minat baca bangsa Indonesia di titik bawah. Benar bahwa penerbit di
Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung terus memproduksi buku-buku populer. Namun,
penulis baru tidak banyak tumbuh. Kita mudah menghafal di luar kepala para penulis
lama dalam bidang tertentu, tetapi angkanya juga terus tergerus. Jika
produksi tulisan tidak melimpah, dan kualitasnya juga mengulang-ulang, yang
lebih memprihatinkan lagi adalah minat membaca. Buku-buku kita kekurangan
pembaca. Etika
dan etos akademik Penelitian kita belum
ditopang oleh jiwa pencarian yang haus dengan penemuan dan inovasi.
Penelitian kita masih sebatas formal dan mengarah pada langkah administrasi.
Pada dasawarsa terakhir kabar baik memang nyata, meningkatnya kuantitas
jurnal bereputasi di dalam negeri dan penerbitan artikel ilmiah di tingkat
dunia dari para dosen di perguruan tinggi kita. Situs web seperti Sinta,
Google, Scimago, dan Scival menunjukkan itu. Namun, perbaikan lebih lanjut
membutuhkan perubahan etika dan etos akademik. Jiwa nasionalisme kita
dalam dunia pendidikan hendaknya ditunjukkan lewat karya nyata yang akan
mengangkat bangsa ini di mata dunia. Cinta Tanah Air perlu dibuktikan dengan
pemberdayaan sumber manusia yang sesungguhnya dalam dunia pendidikan melalui
produksi pengetahuan, penelitian, dan inovasi yang bersaing dengan
bangsa-bangsa lain. Patriotisme ditumbuhkan
tidak hanya dengan slogan dan doktrin. Kita saksikan sudah terlalu banyak
dogma menghinggapi kehidupan masyarakat dan keagamaan kita. Budaya oral yang
berlebihan banyak menutupi pengembangan potensi dan mengalahkan rasionalitas. Cara berpikir kritis dan
mandiri tempatnya terlalu sedikit di ruang publik. Semua perdebatan di media
sosial didasari emosi dan semangat kelompok berlebihan serta tidak ada cek
dan kontrol dengan pola pikir sehat. Yang berkembang bukan pengetahuan,
tetapi pengetahuan yang semu (baca: pseudo-sains). Para cendekiawan dan
pendidik Tanah Air kiranya bisa menangkap peluang dan menyiasati tantangan
dalam kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 33
Tahun 2021, berupa peleburan empat lembaga dalam Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN), yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional
(Batan), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Bagaimana kita bisa
menanamkan nilai-nilai kebangsaan kembali dalam pendidikan dan penelitian
dengan strategi baru? Tentu saja sekadar metode hafalan lima sila dan tafsir
butir-butir yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru secara doktriner,
dogmatis, dan ideologis ada akhirnya, dan kita semua sudah belajar
kelemahan-kelemahannya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar