Pudarnya
Senyum Bahagia Anak-anak Metropolitan Neli Triana ; Wartawan (Penulis kolom “Catatan Urban”)
Kompas |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Celoteh anak-anak yang
sulit dihentikan, tawa berderai diselingi pertikaian kecil, rumah tak pernah
sepi dan susah rapi. Suasana ini mengakrabi orangtua sekaligus pekerja yang
satu tahun terakhir mengalami masa bekerja dari rumah. Ribut dan ribet.
Menyenangkan sekaligus merepotkan. Namun, percayalah suasana
itu menandakan anak-anak kita sehat jiwa raga dan bahagia. Kebahagiaan masa
anak-anak menjadi amanat suci untuk terus dijaga agar ada dan berkembang
menjangkiti anak-anak lain. Alasannya, perasaan bahagia makin menjauh dari
anak-anak urban di masa pandemi ini. Laporan hasil riset global
yang diterbitkan Save The Children International berjudul ”The Hidden Impact
of Covid-19 on Children in Urban Contexts: A Global Research Series”
menunjukkan, hanya 22 persen anak-anak di kawasan perkotaan menyatakan
dirinya bahagia dan 16 persen yang merasa santai. Angka ini berkorelasi
dengan banyaknya anak yang merasa tegang, yaitu 53 persen, dan yang takut
jatuh sakit mencapai 49 persen. Di perdesaan, anak-anak merasa lebih baik
walau hanya beda tipis, yaitu lebih tinggi 4-10 persen untuk tiap kategori. Penelitian ini
dilaksanakan di 46 negara dengan pengambilan sampel pada 26 Mei-17 Juli 2020.
Mereka yang berpartisipasi dalam riset ini adalah 31.683 orangtua dan
pengasuh, serta 13.477 anak berusia 11-17 tahun. Sebanyak 55 persen dari
responden dewasa dan 42 persen responden anak-anak berada atau tinggal di
kawasan perkotaan. Sisa responden dari perdesaan. Sebagian responden
sebelumnya telah terlibat dalam program Save the Children yang umumnya
berfokus pada kawasan kumuh dan miskin. Anak-anak yang terjebak
dalam kondisi tidak nyaman berkorelasi dengan kondisi orangtua ataupun
pengasuh mereka. Save the Children menjabarkan, ada 77 persen responden
dewasa perkotaan merasa kurang bahagia. Di perdesaan, 64 responden merasakan
hal sama. Selain itu, 46 persen
responden dewasa di kota merasa tidak berharga dan 50 persennya merasa kurang
mampu dibandingkan saat sebelum pandemi. Di perdesaan, responden yang merasa
tidak berharga hanya 27 dan yang tidak mampu 29 persen. Serba merasa jauh dari
bahagia dan kurang berkecukupan ini pun buntut cobaan lain yang menimpa para
orangtua dan pengasuh di masa pandemi. Ada 82 responden di perkotaan yang
kehilangan pendapatan dan 70 persennya mengalami pemotongan separuh dari
pendapatan sebelum pandemi. Di kawasan urban, 49 responden bahkan kehilangan
pekerjaannya. Responden perdesaan dengan situasi yang sama persentasenya
lebih kecil. Pendapatan yang berkurang
maupun hilang membuat responden perkotaan makin sulit mengakses makanan yang
bergizi seimbang, membiayai pendidikan, dan peralatan yang dibutuhkan.
Sebagian responden dibayangi kekhawatiran terdepak dari tempat tinggalnya
karena ketiadaan uang membayar sewa
atau cicilan rumah. Akibatnya, asupan makanan yang lebih sedikit dibandingkan
sebelum pandemi dialami 39 persen responden anak-anak di kawasan urban. Temuan kurang lebih sama
ditunjukkan pula dari hasil riset Santi Kusumaningrum dan dua rekannya yang
berjudul ”Children during the Covid-19 pandemic: children and young people’s vulnerability
and wellbeing in Indonesia” (2021). Peneliti di Pusat Kajian dan Advokasi
Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia tersebut
menyatakan, meskipun anak-anak usia 0-18 tahun kurang berisiko tertular
Covid-19 dibandingkan orang dewasa dan lanjut usia, anak-anak berisiko tinggi
terganggu kehidupannya akibat pandemi. Mereka sangat terpengaruh oleh situasi
dan kondisi di tempat mereka tumbuh dan berkembang. Saat ini, jumlah populasi
anak-anak mencapai sepertiga dari 270,2 juta jiwa penduduk di Indonesia.
Dengan lebih dari 56 persen penduduk tinggal di wilayah urban, anak-anak pun
kini lebih banyak menyesaki kota-kota di negeri ini. Sebagian dari anak-anak
ini menjadi bagian dari keluarga miskin perkotaan. Dari data hasil riset
terdahulu yang dikutip Santi, sedikitnya 22 persen penduduk perkotaan masuk
kategori miskin yang setara dengan sekitar 29 juta jiwa. Di Jakarta, 35
persen rumah tangga tinggal di daerah padat penduduk, dengan kondisi kurang
akses terhadap air bersih dan sanitasi, perumahan tidak layak atau tanpa
ruang publik terbuka. Sebanyak 28 persen penduduk Jakarta juga tinggal di
hunian seluas kurang dari 7,2 meter persegi. Dalam gambaran sebuah
diagram, mereka yang tinggal di ruang-ruang sempit di kawasan padat selama
ini beririsan cukup tebal dengan kelompok masyarakat miskin. Di luar itu, secara umum
masyarakat perkotaan yang miskin maupun tidak, juga banyak bekerja di sektor
informal atau sektor usaha yang tidak berbadan hukum. Saat pandemi menerjang,
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) gantungan hidup banyak keluarga
banyak yang rontok. Padahal, mereka tidak memiliki jaringan pengaman sosial
seperti yang mudah diakses oleh pekerja di perusahaan berbadan hukum. Hal ini
menjauhkan tidak hanya orang dewasa yang kehilangan sumber rezeki, tetapi
juga anak-anak tanggungan mereka, dari layanan kesehatan dan bantuan sosial
yang diperlukan. ”Dalam skenario terburuk,
tingkat kemiskinan akan meningkat menjadi 16,6 persen dengan tambahan 19,7
juta orang menjadi miskin (di Indonesia) dan 20 persen lagi terancam jatuh di
bawah garis kemiskinan. Peningkatan kemiskinan ekstrem dapat menyebabkan
risiko parah lainnya, termasuk kelaparan, kekerasan, eksploitasi, tunawisma,
dan penyakit mental di antara anak-anak,” tulis Santi dalam jurnalnya. Anak-anak yang tidak
terjaga asupan gizi dan tertekan oleh situasi di sekitarnya amat mungkin
terganggu pula kondisi fisiknya yang memudahkan berbagai penyakit menyerang
mereka. Dalam kondisi demikian, anggapan bahwa anak-anak lebih tangguh
menghadapi serbuan virus korona jenis baru pun bisa berangsur gugur. Pada
Kamis (17/4/2021), kasus positif Covid-19 pada anak-anak di DKI saja mencapai
16 persen dari 4.144 kasus positif baru hari itu. Di sisi lain, jika masih
mampu menghalau Covid-19 pun, berbagai hal buruk lain masih menghantui
anak-anak yang seharusnya menjadi tumpuan penerus bangsa. Ancaman nyata terhadap
anak-anak ini menandakan berbagai program penanggulangan dampak pandemi, baik
yang resmi dari pemerintah maupun bantuan swasta atau dari sesama masyarakat,
belum mampu mengatasi masalah yang terkait dengan orangtua, pengasuh, maupun
anak-anak itu secara langsung. Save the Children maupun Santi dan rekan
penelitinya menyatakan, ada indikasi program bantuan yang tidak tepat sasaran
atau tidak menyentuh akar masalah, terutama di perkotaan. Akhir Juni ini, kasus
positif Covid-19 di Indonesia dan khususnya di perkotaan seperti di Jakarta
dan sekitarnya serta kawasan urban lain di Jawa meningkat tajam. Kondisi ini
hampir menyamai titik kritis di akhir 2020 hingga awal 2021, saat kasus naik
diikuti tingginya jumlah kematian dan fasilitas kesehatan nyaris kolaps.
Pemerintah dan masyarakat didorong melihat kembali perjalanan setahun
terakhir serta bagaimana seharusnya sikap yang tepat agar korban tak terus
berjatuhan. Fokus penanganan pandemi
secara serius dengan menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat ketat yang
diikuti pengetesan, pelacakan kontak erat, dan menggelembungkan ketersediaan
fasilitas kesehatan beserta tenaga kesehatannya, menjadi amanat yang tidak
bisa dihindari. Tidak bisa lagi plinplan dan terlambat menyikapi kegentingan
yang terjadi. Di sisi lain, perlu segera
evaluasi serius untuk memperbaiki data sasaran bantuan, bentuk bantuan, serta
sistem distribusi bantuan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Bagaimana agar orangtua atau orang dewasa terdampak pandemi mendapat bantuan
memadai, baik dari sisi fisik maupun psikis. Bukan masanya lagi bantuan
terbatas paket sembako, uang tunai, atau pelatihan. Perlu ada pusat konseling
dan program perawatan kesehatan mental yang mudah diakses akar rumput.
Intervensi wajib dilakukan demi menyelamatkan anak-anak korban situasi buruk
ini dengan melibatkan semua pihak, termasuk lembaga swasta serta para
orangtua maupun orang dewasa di setiap lingkungan dengan anak-anak di
dalamnya. Riset berbasis hak
anak-anak menjadi kunci untuk memastikan kebijakan dan respons terhadap
pagebluk ini tidak akan melanggar pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam jangka
panjang, ini tak lain memastikan pembangunan sesuai arah yang selama ini
dianut, yaitu mengatasi kesenjangan struktural dan sosial-spasial. Pemerintah pusat dan
daerah perlu ditagih untuk menerapkan penataan ruang yang menjamin kesetaraan
akses bagi semua lapisan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat, khususnya
anak-anak, menjadi fokus kebijakan pembangunan, termasuk saat merencanakan
dan mengimplementasikan mitigasi hingga pemulihan dari bencana. Wabah global ini memang
secara telak telah mencederai negara dan kota-kota kita. Menjadi orangtua,
menjadi pemimpin, membuat kita wajib mengatasi kepanikan dan secara tepat
melangkah mengatasi cedera. Langkah yang bisa menjamin senyum bahagia tetap
berkembang sempurna di wajah anak-anak harapan bangsa, seperti celoteh riang
mereka selama orangtuanya bekerja dari rumah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar