Perspektif
Feminis Puisi Toeti Heraty S Prasetyo Utomo ; Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa
Unnes, Semarang |
KOMPAS, 19 Juni 2021
Saya tulis esai singkat
ini setelah mendengar kabar Toeti Heraty meninggal. Lahir dari keluarga
bertradisi serba eksakta, Toeti Heraty belajar kedokteran, pikologi, dan
filsafat. Ia menemukan ekspresi pribadi dalam bentuk puisi dan esai di
majalah Sastra, Horison, dan Budaya Jaya. Ia mulai menulis puisi
pada usia 33 tahun, pada saat ia sangat matang dalam mempertimbangkan
kehidupan yang menjadi obsesi ide-ide kepenyairannya. Puisi-puisinya
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jepang.
Puisi-puisi doktor filsafat ini terdapat dalam Antropologie Biligue de la
Poesie Indonesienne Contemporaine (1972) dan Contemporary Indonesian Poetry
(1976). Sebagai penyair
kontemporer, betapa penting puisi-puisi Toeti Heraty dalam sejarah sastra
Indonesia. Saya dapat melacak karya-karyanya dalam Laut Biru Langit Biru
(1977) susunan Ajib Rosidi, Tonggak (1987) editor Linus Suryadi AG, dan
Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Puisi (2002) editor Taufiq Ismail. Dalam Leksikon Susastra
Indonesia (2000), Korrie Layun Rampan mencatat bahwa karya-karyanya meliputi
Sajak-Sajak 33 (1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979), Mimpi dan
Pretensi (1982), Aku dan Budaya (1984), Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda
(1986), Wanita Multidimensional (1980), Nostalgi=Transendensi (1990),
Antologi Puisi Indonesia (1997), dan Sembilan Kerlip Cermin (2000). Buku-buku yang lahir lebih
kemudian di antaranya Pencarian Belum Selesai (2002), A Time, A Season
(2003), Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2006), Rainha Boki
Raja: Ratu Ternate Abad 16 (2010), Encounters: The Poetry (2018), Poems
(2018), dan Transendensi Feminin: Kesetaraan Gender Menurut Simone de
Beauvoir (2019). Dalam pandangan Subagio
Sastrowardoyo, Toeti Heraty dikelompokkan pada penyair yang berani berdiri di
luar mainstream persajakan modern Indonesia. Puisi-puisinya tidak memunculkan
kelembutan suasana. Hal yang menjadi inspirasi sajak-sajak Toeti Heraty
adalah kesadaran-kesadaran dan pengertian-pengertian, bukan
peristiwa-peristiwa sesaat. Puisi-puisinya penuh dengan pengendapan pemikiran
mengenai kearifan hidup, termasuk ideologi feminisme. Penyair
feminis Membaca puisi Toeti Heraty
yang berjudul Musim Gugur, saya dapat merasakan betapa kaum laki-laki
menyubordinasikan perempuan. Saya merasakan penindasan seksual terhadap kaum
perempuan, yang menuntut kesadaran akan kemuliaan tubuh, dan melakukan
pembebasan terhadap dominasi laki-laki: ”tapi kehausan buas mencabik,
mengerat/payudara, rambut dan selaput/peganglah erat/...”. Sebagai penyair feminis,
Toeti Heraty menampakkan perjuangan kaum perempuan dengan kata-kata lugas
saat menyampaikan ideologi pembebasan terhadap kebuasan nafsu seksualitas
lelaki, yang menuntut kaum perempuan untuk mempertahankan moralitas
reproduksi: ”mestinya aku cukup tabah/untuk memotong kemabukan nafas,
mencekik/kesintingan malam yang mengerang/rintihan karena badik yang
mencabik-cabik/merah-jingga keseimbangan darah dan serat/ syaraf dan
syahwat/...”. Kesadaran akan dominasi
kekuasaan patriarki dalam ruang sosial dan kekuasaan, serta kepemimpinan,
telah memberinya sugesti untuk mencipta puisi Manifesto: ”aku tuntut
kalian/ke pengadilan, tanpa fihak yang menghakimi/siapa tahu, suap-menyuap
telah meluas/menjulang sampai ke Hakim Tertinggi/siapa jamin, ia tak berfihak
sejak semula/karena dunia, pula semesta, pria yang punya//...”. Masih dengan kata-kata
lugas, bahasa sederhana, ia melancarkan pembebasannya pada dominasi kekuasaan
patriarki yang membelenggu hukum, kehidupan dunia, bahkan semesta. Ideologi
perlawanan terhadap kekuatan hukum dan kekuasaan patriarki itulah yang
menyebabkan ia lebih memilih kata-kata lugas, bernas, tajam serupa anak panah
yang menghunjam pada sasaran. Ia tak bersembunyi di balik stilistika dan
imaji kepenyairannya. Ia menggugat pandangan
kaum patriarki terhadap dunia wanita atas stigma sosial, religiusitas,
pelecehan dan pemujaan dalam seks, seni tradisi, dan norma: kemudian kau
dekritkan: ”wanita itu pangkal dosa/sebungkah daging, segumpal emosi/
sekaligus imbesil dan bidadari/dilipat jari kaki, dikunci pangkal
paha/dicadari, gerak-gerik dibebani menjadi/tari lemah-gemulai/ia tertunduk
karena salah, gentar, patuh/mengecam diri//...”. Dalam penciptaan Toeti
Heraty, bahasa lebih tajam dari sekadar menyuarakan sugesti, tetapi kadang
menjelma provokasi. Ia mengemas tuntutan-tuntutan pembebasannya terhadap
dominasi patriarki hampir-hampir tanpa simbol. Bahkan mitos-mitos mengenai
keluhuran dan kecantikan kaum perempuan pun dibongkar, didekonstruksi dalam
puisi ”Wanita”. Ia telah menggugat
mitos-mitos yang melingkupi keluhuran kaum wanita dengan bahasa tanpa majas:
”wanita/berapalah kemesraan sepanjang umur/tiada berlimpah tiada mencukupi/
karena kau dengan tak acuh, tidak peduli/membawa pilu yang tak tersembuhkan
dan/tak kausadari, tak kausadari//...”. Lugas
dan tajam Puisi-puisi Toeti Heraty yang
menyuarakan ideologi feminisme memang terasa lebih dominan memanfaatkan
kata-kata lugas yang tajam. Ia memandang persoalan reproduksi sebagai sumber
penindasan kaum perempuan. Ia juga bisa memandang bahwa reproduksi
menunjukkan kekuasaan perempuan. Dalam puisi ”Manifesto” ia
menulis: ”dalam bencana akhirnya panggil ibu juga/tapi/demi anakku
laki-laki/tuntutan aku tarik kembali/dan jadi penghianat– atau/memang karena
sudah terlambat//...”. Dalam larik-larik puisi
itu, sebagai seorang feminis, Toeti Heraty dipengaruhi pandangan Simone de
Beauvor, yang melihat penindasan perempuan dimulai dari reproduksi. Beban
reproduksi yang ditanggung perempuan dan tanggung jawab membesarkan anak
membuat perempuan mempunyai posisi tawar yang lemah terhadap laki-laki. Ia melihat kaum wanita
belum menanggalkan topeng, kedok, sandiwara yang diperankan dalam hidupnya.
Dalam puisi ”Dua Wanita”, ia menyingkap kedok itu dengan satire: ”ah,
sandiwara ini pun/sudah terlalu lama, bila/dua wanita bicara//...”. Sebagai penyair feminis,
Toeti Heraty tidak selalu melakukan pembebasan ideologi secara keras. Dalam
catatan Ewith Bahar dikatakan, ia memiliki kelembutannya sendiri saat bersama
keluarga. Ia sering memainkan piano di waktu senggang dan bercengkerama
bersama cucu. Keromantisan tetap
terpancar dalam diri dan juga dalam puisinya, seperti ”Genewa Bulan Juli”.
Dalam puisi ini, ia menciptakan empati, menyusupkan imaji, dan menghidupkan
suasana batin pembaca. Ia juga bisa menyingkap hal-hal yang transenden, yang
berkaitan dengan kematian dalam puisi ”Selesai”: ”suatu saat toh harus
ditinggalkan/dunia yang itu-itu juga/api petualangan cinta telah
pudar/bayang-bayang dalam mimpi, senyum tanpa/penyesalan kini/...”. ● |
Mohon rujukannya, Toeti Heraty digolongkan Penyair Angkatan berapa ya?
BalasHapus