Pemulihan
dan Keberpihakan Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar FEB UB; Deputi Pembangunan
Ekonomi Setwapres |
KOMPAS, 09 Juni 2021
Pandemi telah berusia
lebih dari setahun sejak Maret 2020. Aneka daya dikerahkan untuk memastikan
agar urusan kesehatan, sosial, dan ekonomi bisa dipulihkan secara layak. Data kesehatan menunjukkan
jumlah harian kasus baru kian menurun (meski masih labil), antara lain
disebabkan pengelolaan pembatasan skala mikro mulai efektif berjalan dan
vaksinasi sebagian warga telah dimulai. Situasi sosial masyarakat
masih mencemaskan akibat kehilangan pekerjaan, usaha tutup, dan akses
terhadap sumber pokok kehidupan (pangan, pendidikan, kesehatan) belum
sepenuhnya merata. Kinerja ekonomi menunjukkan gejala perbaikan sejak
triwulan III-2020. Secara perlahan
pertumbuhan ekonomi terungkit meski jauh dari situasi normal (seperti sebelum
pandemi). Penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 yang
diduga akan terhambat dengan ragam rintangan ternyata bekerja lumayan gegas.
Perkara inti yang ada di depan mata ialah perubahan pola pekerjaan dan
penurunan kualitas kehidupan. Arena
ekonomi Pada aras ekonomi terdapat
tiga panggung yang laik dicermati agar arah penyegaran ekonomi dapat
dikerjakan dengan level presisi yang tinggi. Pada tingkat internasional, AS
kemungkinan akan pulih lebih awal. Sebagai produsen vaksin, setiap penduduk
akan dikejar untuk memperoleh suntikan lebih cepat. Implikasinya, kebijakan pelonggaran
kebijakan fiskal dan moneter akan sedikit diketatkan. Guyuran modal ke luar
negeri (termasuk ke Indonesia) tak lagi sebesar sebelumnya. Eropa belum akan pulih
segera sebab masih tertekan dengan masalah lama (jebakan fiskal) akibat utang
yang terlalu banyak. Situasi makin buruk karena pada masa pandemi ini mereka
harus menambah kembali utang sehingga rasio terhadap PDB kian besar. Rasanya pada 2021
perekonomian dunia akan lebih banyak ditentukan oleh AS, China, dan India;
tiga pasar terbesar yang pemulihan ekonominya telah menunjukkan tanda kuat
(tapi India sekarang bermasalah lagi). Bahkan, China pada 2020 pertumbuhan
ekonominya sudah positif. Pada level nasional,
situasi dihantui oleh tiga perkara. Derajat digitalisasi masih sangat rendah
sehingga kapasitas beradaptasi dengan kondisi baru tidak bisa berjalan sigap.
Produksi mengalami kendala oleh daya beli yang masih lemah sehingga pabrik
mengurangi atau berhenti produksi. Perdagangan sulit
didongkrak karena logistik masih terganggu, sementara digitalisasi belum bisa
diakses oleh sebagian besar produsen maupun konsumen. Angka kemiskinan dan
pengangguran melonjak sehingga alokasi fiskal akan lebih banyak dipakai untuk
bantalan sosial memitigasi soal tersebut. Akibatnya, kapasitas
fiskal untuk mendorong pemulihan ekonomi jadi sangat terbatas. Selebihnya,
Indonesia punya modal berupa kebijakan deregulasi yang dilakukan konsisten
sehingga iklim usaha secara teoretis makin bagus. Namun, wajah deregulasi ini
mesti dicermati terus jangan sampai mengorbankan kepentingan usaha kecil
dalam mata rantai ekonomi nasional maupun global. Selanjutnya, pada level
lokal (regional/daerah) situasi yang menguntungkan ialah pembangunan
infrastruktur yang dikerjakan beberapa tahun terakhir memicu investasi dan
pergerakan ekonomi, baik di perkotaan maupun perdesaan (melalui Dana Desa).
Masing-masing daerah tinggal membuat stimulasi di wilayah yang telah dibangun
infrastruktur, misalnya jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara, dan yang
lain. Problem laten yang belum
banyak mengalami perbaikan adalah ketimpangan pembangunan antarpulau.
Sumbangan ekonomi Kalimantan, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku
masih sangat kecil. Kelima pulau ini mesti bergegas agar kontribusinya ke
perekonomian bisa dua kali lipat dari sekarang (sekitar 40 persen terhadap
PDB). Pemindahan ibukota ke
Kalimantan Timur dapat menjadi salah satu pemicu gerakan ekonomi di Indonesia
Bagian Timur. Di wilayah ini transformasi ekonomi menuju usaha bernilai
tambah merupakan papan luncur yang harus dikendarai. Proteksi
sosial Jika dilihat data setahun
ini, terdapat tiga isu pokok yang layak menjadi peta sumber pengenalan
ekonomi. Pertama, sektor ekonomi strategis yang kokoh adalah pertanian.
Pertumbuhannya tetap positif meskipun rendah. Di luar itu memang terdapat
sektor komunikasi dan kesehatan yang juga tumbuh positif, namun ini karena
terkait langsung dengan karakteristik pandemi. Sektor kesehatan tumbuh
sebab permintaan obat-obatan, vitamin, masker, vaksin, dan seterusnya melesat
pesat. Sektor komunikasi membubung akibat model kerja dan aktivitas yang
berubah total dari pertemuan/tatap muka langsung menjadi pemanfaatan
komputer, aplikasi, dan internet. Hal ini nyaris terjadi pada semua bidang,
seperti perekonomian, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya. Sebaliknya,
sektor pertanian terus bertahan meski dihajar pandemi, khususnya dari sisi
logistik. Pada sisi produksi,
kegiatan tetap tumbuh sebab episentrum pandemi lebih banyak di wilayah
perkotaan. Kedua, pulau-pulau yang
level kepadatan penduduk masih rendah, seperti Papua dan Nusa Tenggara,
pertumbuhannya masih positif (tentu dalam level rendah). Ini memberikan bukti
terang bahwa distribusi penduduk menjadi isu yang sangat relevan
diperjuangkan karena akan memengaruhi interaksi antarwarga (dan tentu saja
daya dukung lingkungan). Kepadatan wilayah yang
bertumpu pada lokasi spesifik mengancam kehidupan dari beberapa sisi: (i)
jika episentrum perkara terjadi di wilayah tertentu saja (seperti pandemi
sekarang), keseluruhan aktivitas lumpuh; (ii) kepadatan wilayah membuat sulit
penanganan karena konsentrasi manusia menumpuk, seperti sulitnya mengatur
interaksi manusia dengan jaga jarak yang dipersyaratkan; dan (iii) memudahkan
terjadinya percikan persoalan, misalnya penyakit dan gejolak sosial, karena
daya dukung lingkungan tak memadai. Jadi, pemerataan penyebaran penduduk
bagian dari solusi integral peningkatan kualitas pembangunan. Ketiga, pemerintah masih
menjadi aktor vital dalam pembangunan (sosial-ekonomi). Saat ekonomi lumpuh
akibat pandemi, intervensi kebijakan dan belanja pemerintah jadi satu-satunya
titik tumpu kehidupan, termasuk pemulihan sosial-ekonomi. Namun, di sini
perlu dijernihkan isu krusial setelah wabah selesai, di mana pemerintah oleh
beberapa pihak diminta kembali masuk ke dalam “rumah”. Pemerintah didesain hanya
hadir ketika terjadi krisis, resesi, atau pandemi. Padahal, pemerintah mesti
terus aktif masuk ke arena ekonomi lewat perencanaan pembangunan yang
presisi, kebijakan anggaran yang memandu visi jangka panjang negeri, dan membangun
stabilisasi/distribusi ekonomi yang menjadi mandat konstitusi. Situasi yang
dihadapi saat ini perlu pula dipantulkan untuk menggeser struktur ekonomi
agar lebih mencerminkan tujuan keadilan sosial. Usai pandemi teratasi, watak
kebijakan dilanggengkan bekerja bagi kepentingan distribusi sesuai maklumat
proklamasi. Tungku
literasi Setelah berlangsung
reformasi ekonomi dan politik 1998, beberapa perkembangan ekonomi dan politik
mengalami kemajuan berarti. Indonesia berjalan tertatih menegakkan harga
dirinya berdampingan dengan negara lain. Isu ketimpangan pendapatan
sempat mengalami pemburukan dan seperti sulit dijinakkan. Tetapi, sejak 2015
perlahan disparitas kesejahteraan itu bisa diturunkan (berbarengan dengan
agenda penurunan angka kemiskinan dan pengangguran). Serangkaian kebijakan
proteksi sosial, akses permodalan, dan reforma agraria dieksekusi. Namun,
ketika terjadi pandemi, rasio Gini (perkakas pengukur ketimpangan) meningkat
lagi. Artinya, resesi ekonomi lebih memukul kelompok menengah-bawah. Mereka tercerabut dari
akar gerakan ekonomi. Ini adalah sinyal serius yang harus bisa ditangkap agar
paket kebijakan dan program pemulihan ekonomi lebih tajam mengurus kelompok
rentan tersebut. Kebijakan ini sekaligus paket pemerataan kesejahteraan yang
wajib diperjuangkan. Saat pandemi, bangsa ini
dipertontonkan orkestrasi sosial yang luar biasa. Sebelum pemerintah
bertindak eksesif seluruh warga telah bahu-membahu saling membantu,
gotong-royong saling menolong, turun tangan saling meringankan. Beban sosial
jadi lebih mudah karena perasaan sepenanggungan. Rakyat memberikan subsidi
tenaga, pikiran, dan perhatian ke negara/pemerintah. Krisis kesehatan, ekonomi,
dan sosial justru kian merekatkan, bukan merontokkan. Tetapi, di sisi lain
terdapat sikap tercela dari sebagian penyelenggara negara, baik di pusat
maupun daerah, yang menyunat program bantuan sosial (ataupun sumber daya
lain) bagi perayaan nafsu angkara. Perilaku koruptif ini sulit dipahami nalar
karena merampas hak orang yang sedang ditindih cobaan. Surau moral roboh.
Penegakan hukum mesti bekerja tajam untuk memusnahkan tindakan tak terpuji
ini. Peristiwa ini juga membawa pesan: gerakan antikorupsi mesti terus
didengungkan. Soal yang sering diabaikan
dari peristiwa pandemi adalah kemerosotan derajat pengetahuan tunas bangsa
akibat sistem pendidikan (pengajaran) yang berubah total. Digitalisasi jadi
titik tumpu pengajaran. Masalahnya, aset dan akses tiap warga (juga wilayah)
untuk menjalani model pembelajaran ini berbeda-beda sehingga menuai
ketimpangan literasi. Di kota-kota besar proses pengajaran berlangsung
relatif optimal, tapi di sebagian (besar) daerah dijumpai problem sistemik
yang luar biasa. Pemerintah telah melakukan
segala upaya memitigasi perkara ini, tetapi nampaknya belum sepenuhnya
berhasil. Pengetahuan merupakan tungku api kemajuan, sehingga seluruh ikhtiar
perlu dilipatgandakan agar literasi tak mundur ke belakang. Informasi dan
inovasi merupakan baju peradaban masa sekarang dan mendatang. Keduanya hanya
bisa disangga oleh pengetahuan. Jika pengetahuan macet di tengah jalan,
inovasi dan kemajuan hanya jadi bayang-bayang. Trilogi
penopang ekonomi Tajuk pemulihan ekonomi
barangkali idaman semua negara. Namun, di tengah ketidakpastian pandemi
harapan itu sebagian merupakan kemewahan. Jika hasrat pemulihan ekonomi
hendak disegerakan, maka yang paling fundamental adalah memperbaiki tiga
sendi dasar (trilogi) penopang ekonomi. Hanya dengan cara ini, mengawinkan
mitigasi kesehatan dan pemulihan ekonomi dapat diagendakan dengan saksama. Pertama, digitalisasi dan
perombakan kebijakan pendidikan tak bisa ditawar lagi, bahkan juga cara
kerja. Selepas pandemi, model dan kebiasaan baru kehidupan tak bisa ditarik
mundur kembali. Pelaku ekonomi dan siswa wajib dibekali akses teknologi dan
pengetahuan digitalisasi. Tanpa pendalaman teknologi susah aktivitas ekonomi
mengikuti semangat perubahan zaman. Kurikulum pendidikan digeser menuju
penguatan literasi teknologi, apapun bidang ilmu yang ditekuni. Perlu
keputusan segera untuk mendesain dan eksekusi gerakan digitalisasi. Kedua, pada abad perubahan
sekarang ini salah satu yang diincar adalah keamanan kehidupan. Salah satu
penyangganya pekerjaan (job security). Di sini terdapat dua gugus tugas inti:
(i) memastikan keterampilan tenaga kerja kompatibel dengan kebutuhan pasar
kerja. Jika gerakan digitalisasi
dan kurikulum pendidikan sudah digeser menuju perubahan itu, maka separuh
pekerjaan ini telah terselesaikan. Sisanya hanya penguatan etos kerja dan
semangat inovasi yang terus ditumbuhkan sebagai proses tak kenal kata usai. Dan (ii) formula proteksi
sosial komprehensif yang bisa menutup celah kerentanan (insecurity) warga
negara. Proteksi sosial ini menyentuh dimensi pendidikan, kesehatan,
perumahan, dan kebutuhan dasar lain (sandang dan pangan). Selama ini
pemerintah telah melakukan investasi luar biasa pada area ini, yang
dibutuhkan sekarang penyelarasan dan perluasan. Jika pelayanan wajib publik
itu diperbaiki secara menyeluruh, produktivitas warga/tenaga kerja akan
terdongkrak tinggi. Ketiga, pada saat resesi
semacam ini amat wajar bila pemerintah memberikan relaksasi kebijakan fiskal
dan moneter, seperti pemberian aneka insentif (penurunan) pajak dan suku
bunga. Namun, peta keseluruhan struktur ekonomi perlu dilihat secara masak
agar tak mengganggu isu yang amat vital: ketimpangan. Benalu ekonomi yang rumit
dipangkas adalah disparitas kesejahteraan. Saat ini momentum yang bagus
menyasar kebijakan fiskal dan moneter yang memungkinkan era pasca-pandemi
merupakan paras baru ekonomi nasional: maju dan merata. Kemajuan disangga oleh
identitas transformasi ekonomi dan ragam inovasi berkat pengetahuan dan
teknologi. Sementara itu, kemerataan ekonomi ditopang oleh kebijakan fiskal
dan moneter yang membela kaum yang selama ini berada di luar pagar ekonomi.
Pajak progresif beberapa hak kepemilikan perlu dipikirkan, demikian pula
akses yang luas terhadap permodalan. Krisis memang meredupkan kehidupan, tapi
dilarang menggelapkan keberpihakan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar