Desain
Puitik Glenn Hartanto di Republik Mauritius Bambang Asrini Widjanarko ; Penulis, Esais, dan Kurator Seni Rupa |
Kompas.com, 01 Juni 2021
SEBUAH
negara kepulauan mungil di Afrika, Mauritius, yang hari-hari ini menarik
minat banyak investor raksasa, terutama dari China dan India, menggebrak
dalam dunia desain. Sebuah rancang bangunan imajinatif diperkenalkan. Republik
Mauritius, menurut majalah Financial Times diramalkan pada 2021 menjadi pintu
gerbang penting para investor global di benua hitam. Republik yang secara
politis stabil, dengan pendapatan per kapita tertinggi seantero Afrika ini
bagian dari persemakmuran Inggris modern (sejak 1992). Eksistensinya
mengingatkan kita potensi luar biasa seperti perpaduan antara Bali dan
Singapura sekaligus, yakni: pusat bisnis dan wisata alam menyatu. Negara
dengan pantai indah pun mistis dan salah satunya “berpelangi’, dalam artian
sebenarnya, karena kualitas khusus pasirnya yang eksotis. Negara dengan
jumlah wisatawannya lebih dari populasi 1.500.000 penduduknya saat ini sedang
mengenalkan sebuah rancang bangunan ambisius sebagai pusat media global dan
industri kreatif pertama kali di benua Afrika, yang dijuluki Media City
Mauritius. Bangunan
itu lokasinya tepat di tengah-tengah Beau Plan Smart City, kompleks kota
mandiri di Mauritius Utara, yang membawa nama perancang utama bangunan, yakni
arsitek Indonesia Glenn Hartanto dan firmanya, MorphAsia. Keelokan
bangunan hadir tatkala desain pilihan arsitektural Glenn memberi impresi
kembali ke pola dan gaya desain modernis awal, yakni meneguhkan bentuk
simplisitas dan karakter alam yang kuat. “Kesederhanaan
rancang bangun modern yang berkarakter sebenarnya meniru pola-pola inti alam
dan materinya. Desain keseluruhan bangunan membentuk geometri huruf V, dari
amatan proyeksi mata burung (bird view). Rancangan Mediacity Mauritius
menggambarkan interkoneksi atas atmosfer iklim, budaya, dan psiko-geografi,”
Glenn memaparkan. “Saya
lebih suka menyatakan sebagai pernyataan desain yang puitis,” ujarnya dalam
wawancara dengan penulis. Tentunya
pernyataan Glenn tak sembarangan, menimbang ia membawa nama arsitek Indonesia
yang dipertaruhkan dengan nama-nama desainer global yang kuat berasal dari
lima puluh empat negara-negara di Afrika. Sebut
dua saja, misalkan starchitect spesialisasi bangunan kanonik Timur Tengah,
kelahiran Afrika Selatan yang merancang Museum of Future (2015-2021), Dubai,
yakni Shaun Killa. Yang lain, David Adjaye lahir di Tanzania dengan firma
Adjaye Associates-nya membangun Smithsonian National Museum of African
American History and Culture (2009). Mauritius
sebagai salah satu wakil negara di kontinen Afrika, dengan populasi benua
terbesar kedua setelah benua Asia sedang membangun proyek raksasa Media City
benar-benar menantang Glenn dan firma arsiteknya MophAsia mengeksplorasi
kemampuan maksimalnya. Sebagai
arsitek, master-planner kompleks mandiri kota urban, mantan pengajar di
sebuah universitas partikelir ternama di Jakarta dan juga kedekatannya dengan
seni yang mengenal secara karib salah seorang “avant gardis” seniman
kontemporer kita, FX Harsono, mengaku pada penulis tentang bagaimana visi
sejatinya di Mauritius serta kepekaan lokal desain tropis dari Indonesia. Karakter Pohon, Iklim Tropis dan Taman
Botani Glenn
mengaku tantangan pertama datang dari mitra teknisnya, yaitu broadcaster
besar Broadcast Center Europe (BCE) yang memiliki jaringan raksasa media
global di Eropa dan pengembang penting di Mauritius, Nova Terra. Selain
tentu saja, founder sekaligus General Manager Mediacity Mauritius, N Gouiaa,
sebagai mitra diskusinya paling setia. Glenn
menyampaikan pada para mitranya, berkali-kali bahwa desain utama layak
merujuk filosofi fundamen desain tentang relasi manusia, alam dan konsep
modernisme yang simpel. Tak perlu membangun bentuk-bentuk kanonik raksasa,
mempesona optis tapi nihil kedekatan pada lingkungan. Ia
menyebut bahwa karakter pohon adalah paling tepat untuk Mauritius. Menimbang
bahwa iklim tropis yang hangat dengan angin siklon berkecepatan 160 km perjam
di Mauritous, layak sebagai pertimbangan teknis pertama untuk membangun
desain. Maka,
bentuk desain menimbang tantangan alam ini secara detil dalam perspektif
materi, termasuk merancang struktur dengan kemiringan derajat keseluruhan
bangunan. Seperti pohon, rancangan bangunan semestinya tegak berdiri
menyetubuhi alam. Pohon
sebagai saripati kehidupan dari banyak sistem kepercayaan dan kultur di Asia
dan Afrika akan membawa akar desain membumi, sebagai narasi bertumbuh dewasa
dari tanah, dari bumi lokal. Mauritius
mengakrabi hampir seluruh kultur di bumi, seperti Asia dengan perayaan
tahunan Imlek, etnis Tionghoa dengan jumlah signifikan ada di sana. Selain
itu, Mauritius juga memiliki penganut Hindu terbanyak dari luar India serta
umat Muslim populasinya lumayan jumlahnya. Sementara
peradaban Barat dengan umat Kristiani tersebab masa lalu era kedatangan
Belanda, Inggris dan Perancis serta akulturasinya dengan kultur Creole Afrika
dan suku-suku asli menampak kuat di sana. Mauritius
dengan aset multikultural ini memiliki interdependensi politik, meski tak
harus seperti Afrika Selatan dengan mempertahankan secara dejure dengan
negara Inggris Raya. Kembali
ke pohon, sebagai pokok pangkal desain; bentuk visual berupa geometri huruf V
adalah proses stilisasi imej pohon yang beritikad memberi bagian visualisasi
runcing—sebagian bangunan-- yang mengarah pada lokasi Taman Botani besar di
kompleks Beau Plan kota mandiri itu. Pertimbangan
berikutnya, rancang desain akhirnya mengerucut pada pembuatan courtyard dan
segera “taman botani mini” seolah dipindahkan pada pusat bangunan Mediacity
Mauritius, tepat di tengah-tengah sebagai semacam “pusat semesta” bangunan
dengan atmosfir hijau pepohonan. Pohon
dan Taman Botani itu mengingatkan akan konsep keberlanjutan dalam desain
arsitektural yang segera menerbangkan benak pada kemajemukan hutan dan pohon
pun zat ekstraktifnya di Indonesia, yakni karet. “Karet
saya pilih sebagai simbol keberlanjutan, sebab usai disadap, selain benih
pohon yang ditanam ulang, maka batang-tubuhnya tentu telah menjadi sampah.
Prinsip keberlanjutan kemudian muncul, dan saya akan bawa materi khusus pohon
karet yang telah tersadap getahnya ini dari Indonesia ke Afrika," kata
Glenn. Sebab
selain secara artistik warnamya yang pucat, karet juga simbol iklim tropikal
yang keberlanjutan dengan alam yang wajib dijaga. Sisi komoditas pada karet
yang bermanfaat bagi manusia menjadi pertimbangan lain,” ujar Glenn
menambahkan. Arsitek
berusia 42 tahun ini juga yakin bahwa pohon karet adalah yang membawa
kepekaan cita rasa lokal Indonesia yang kuat di negara Mauritius. Refleksi Puitik, Kaca, dan Louis Kahn Dalam
wawancara yang intim dan terbuka, Glenn mengaku terus terang bahwa ide dasar
desain-desainnya selalu terinsprasi oleh mentor imajinatifnya, yakni Louis
Isadore Kahn. Sebagai
alumni Universitas di Philadelphia, AS, yang mana Kahn pernah mengajar, Glenn
terpikat pada kritikus dan arsitek sekaligus seorang profesor di departemen
arsitektur di the School of Design at the University of Pennsylvania yang
memberinya ide tak habis-habisnya tentang desain modern. “Kahn
memang memberi pendekatan sebuah gaya yang tak hanya monumental dan
monolitik, bak sebuah karya seni patung. Namun, ia memberi penekanan
bagaimana sebuah bangunan menimbang materi, beratnya, konstruksi detil dan
mengaitkannya secara elok dari sisi seni, seperti kita menikmati sebentuk
puisi bangunan” sergah Glenn. Ia
mencontohkan bagaimana desainer abad 20, dengan selera seperti Kahn ini lewat
pendekatan minimalisnya menjadi legenda arsitek Amerika. Pendekatan gaya Kahn
punya kecenderungan diulang kembali di abad ke-21 ini. Sebab,
menurut Glen, hari ini kita menyaksikan banyak bentuk-bentuk khaotik visual
dan terputus pada kultur utama pada alam, yakni: keseimbangan, kesetaraan dan
harmoni. Arsitektur
Asia, terutama Jepang sangat intim dengan pendekatan harmoni ini, seperti
Tadao Ando yang mengekspose materi dan kesederhanaan bentuk yang cenderung
monolitik. Kembali
perbincangan tentang pandangan Kahn, Glenn menyatakan salah satu bangunan
ikonik karya arsitek itu yang dianggap sublim, seperti semacam perenungan
tentang diri manusia dan lingkungannya. “Misalnya
Jatiya Sangsad Bhaban adalah kompleks gedung parlemen yang mungkin terbesar
di dunia, di Pakistan dan sering disebut salah satu ikon arsitektur abad
ke-20. Kahn mengekspose materi beton, selain bentuk sederhana dan esensial
pola seperti kubus, silinder dan geometri dasar," kata Glenn. "Hal
yang paling menarik ini: puitisasi dengan penggunaan reflektor air sebagai
semacam pantulan alamiah, cahaya dan bangunan yang menyatu. Saya bawa ide ini
dalam reflektor tentang desain khusus kaca-kaca di Mauritius,” ungkap Glenn
bersemangat. Refleksi
puitik dalam desain Mediacity Mauritius, menurut Glenn adalah penggunaan
sekaligus teknologi dan dasar desain praktis – panel tiga lapis kaca sebagai
reflektor: penahan panas, meredam cahaya berlebihan dan secara estetis
menciptakan pantulan-pantulan bayang-bayang balik ke ruang utama semesta
desain utama di tengah: pohon dan courtyard dari tranformasi “taman botani
mini” ke inti bangunan. “Saya
membayangkan bahwa esensi desain menyerupai pendekatan rancangan model kampus
yang terhubung satu dan lain bangunan. Seperti ruang-ruang perkantoran, area
bisnis, perpustakaaan, teater terbuka, laboratorium, kafetaria, ruang-ruang
broad casting dan digital creative; selain kelak dalam bangunan juga ada
sebuah universitas riil dengan ruang ajang-mengajar,” katanya. Tatkala
ditanya, apa yang menjadi substansi keterhubungan manusia yang alami di
rancang bangunan Mediacity Mauritius, Glenn menjawab singkat: ruang adalah
inti, jika nyawa bangunan itu sebenarnya adalah ruang penghantar kehadiran
manusia dengan alam yang saling menyapa. Bisa
jadi, Glenn mengamini prinsip dasar gerakan seni minimalis lebih dari seabad
lampau di Barat dan diyakini dalam filosofis Timur kuno tentang Zen dalam
tataran lain, tentang semesta diri: kesederhanaan adalah momen mendekap
kekinian dengan alam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar