”Quo
Vadis” Izin Penyadapan KPK Hendry Julian Noor ; Dosen
Departemem Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM |
KOMPAS, 05 Juni 2021
Mahkamah Konstitusi (MK)
akhirnya memutus pengujian UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Dalam Putusan No
70/PUU-XVII/2019, MK menolak tiga permohonan uji materi dan uji formil yang
diajukan. Namun, putusan a quo juga menerima sebagian uji materiil yang
diajukan. Di antaranya perihal kewenangan penyadapan oleh KPK yang
berdasarkan putusan a quo tak perlu lagi seizin Dewan Pengawas (Dewas). Pokok pertimbangan MK
adalah bahwa Dewas bukan aparat penegak hukum dan karenanya tak memiliki
kewenangan yang terkait dengan pro justitia. Izin tersebut menurut MK
menempatkan seolah pimpinan KPK sebagai subordinat Dewas, padahal keduanya
tidak bersifat hierarkis dan justru saling sinergi, di mana pimpinan KPK
tidak boleh diintervensi dan tidak boleh ada lembaga yang bersifat ekstra
yudisial, yang merupakan ancaman independensi penegak hukum. Mekanisme izin kemudian
diubah menjadi pemberitahuan semata terhadap Dewas paling lambat 14 hari
kerja sejak penyadapan dilakukan (halaman 332-334). Menarik dicermati, apakah
pengaturan demikian telah ideal? Article 12 Deklarasi HAM Universal
(Declaration of Human Rights/UDHR) 1948 dan Article 17 Kovenan Hak Politik
Sipil Internasional (International Covenant on Civil Political Rights/ICCPR)
1966 telah mengamanatkan bahwa negara wajib melindungi warga negara dari
segala gangguan dan pelanggaran atas hak privasi. Dari sini dapat dipahami
hak privasi dikualifikasikan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM).
Penyadapan pada prinsipnya merupakan penyimpangan atau pengesampingan privasi
sebagai bagian dari HAM. Hal tersebut dipertegas pula oleh MK dalam putusan
No 012-016-019/PUU-IV/2006 dan No 5/PUU-VIII/2010, bahwa penyadapan merupakan
perbuatan melawan hukum yang dapat melanggar hak privasi sebagai bagian HAM,
namun dapat dibenarkan jika diamanatkan oleh UU dan dalam rangka penegakan
hukum. Penyadapan memiliki
beberapa prinsip dalam pengaturannya (Manthovani, 2015: 59-64). Pertama,
legality (diatur dalam UU). Hal ini sekaligus guna memenuhi ”syarat” yang
diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 (”Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang”). Prinsip ini termasuk
menentukan izin penyadapan, yang idealnya dilakukan secara tertulis diajukan
ke lembaga di luar institusi yang melakukan penyadapan. Kedua, legitimate aim
(alasan obyektif). Ketiga, necessity and proportionality (untuk membuktikan
sesuatu dengan tujuan hukum yang sah, serta mempertimbangkan kemungkinan
terkecil menimbulkan benturan bagi HAM). Keempat, safeguards
terhadap illegitimate access dan due process (upaya perlindungan memadai
untuk mencegah penyalahgunaan negara melanggar hak individu, proses hukum
yang wajar, pencegahan kesalahan aparat penegak hukum). Fajrul Falaakh dalam
keterangannya sebagai ahli di putusan MK No 5/PUU-VIII/2010 juga memberikan
syarat: kelima, subyek hukum yang diberi wewenang, idealnya adalah penyidik,
bukan lembaganya. Keenam, pengawasan, dalam hal ini siapa yang diberikan
kewenangan untuk melakukan pengawasan, atau setidaknya yang diberikan
kewenangan untuk melakukan audit. Ketujuh, berdasarkan bukti
permulaan, yang artinya penyadapan dilakukan pada tahap penyidikan, yang
senada dengan ketentuan pada kejahatan terorisme dan narkotika yang juga
diberlakukan sebagai kejahatan luar biasa dalam politik hukum Indonesia
(Hiariej, Kompas, 17/9/2019). Izin
lembaga lain Dalam konteks hukum
administrasi, izin pada prinsipnya adalah membolehkan sesuatu (yang pada
dasarnya dilarang atau bahkan membahayakan) dengan pertimbangan tertentu. Sebagai sesuatu yang
sebenarnya dilarang dalam konteks HAM, tetapi dibolehkan secara hukum,
seharusnya pembolehan ini adalah melalui izin. Karenanya, izin merupakan
salah satu instrumen pengaturan penting dalam penyadapan, terutama dilihat
dari prinsip pengaturan penyadapan. Dengan pemahaman demikian,
”peniadaan” izin untuk melakukan penyadapan tersebut dapat dikatakan belum
sesuai dengan prinsip legality dan safeguards terhadap illegitimate access
dan due process, meskipun harus diakui akan sangat mungkin dapat meningkat
efektivitas dan efisiensi proses penyadapan oleh KPK. Ke depan, menurut penulis,
lebih baik jika kemudian perihal izin ini oleh pemegang kekuasaan eksekutif
dan legislatif dilakukan pengaturan yang dapat mengisi ”kekosongan” prosedur
izin dalam penyadapan. Pengaturan dan praktik di
beberapa negara berikut ini dapat menjadi contoh. Di AS, penyadapan dilakukan
dengan harus mendapatkan perintah pengadilan. Di Inggris, harus dengan izin
dari The Secretary of State atau The Home Secretary (organisasi yang
bertanggung jawab untuk hukum dan ketertiban). Di Belanda, harus mendapatkan
surat perintah yang dikeluarkan hakim. Di Perancis, diatur ketat
dan harus benar-benar seizin pengadilan, diawasi oleh sebuah komisi
independen, yang anggotanya ditunjuk oleh presiden Perancis atas usulan
wapres (Manthovani: 160-212). Dari beberapa contoh ini,
dapat dilihat bahwa penyadapan memang dilakukan dengan suatu izin dari suatu
lembaga lainnya (sebagaimana prinsip legality), meski tak seragam dari
keempat negara tersebut. Namun, perlu pula
diperhatikan pendapat Nijboer dengan mengutip Groenhuijsen (2015:14) yang
menyatakan bahwa fakta yang telah diterapkan di negara lain belum pasti
dengan sendirinya akan bermanfaat atau bersesuaian apabila hal tersebut
diterapkan di negara sendiri. Dalam konteks Indonesia, sepertinya akan sulit
untuk menerapkan izin penyadapan harus melalui pengadilan, dengan mengingat
cukup kerap terjadinya judicial corruption di Indonesia. Tegasnya, dibutuhkan
kajian dan riset mendalam untuk kemudian dapat menghasilkan mekanisme izin
penyadapan yang ideal bagi KPK dan memenuhi prinsip di atas. Kembali dalam hukum
administrasi, izin berfungsi sebagai salah satu bentuk pengawasan, untuk
menjamin pelaksanaan pemerintahan sesuai norma hukum dan melindungi rakyat
atas penguasa (Marbun, 2013:2). Pengawasan adalah sangat penting dan
merupakan hal vital dalam organisasi negara, terlebih bagi negara
kesejahteraan seperti Indonesia, di mana pemerintah, termasuk KPK sangat
mungkin melakukan perbuatan yang merugikan warga negara dalam menjalankan
tugas dan fungsinya. Tindak pidana korupsi di
Indonesia dianggap sebagai extraordinary crime sehingga pemberantasannya
harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula (penjelasan UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi). Namun, cara tersebut harus dilakukan setidaknya
dengan meminimalkan pelanggaran terhadap HAM. Perlu diingat, Pasal 5 huruf f
UU KPK menyebutkan bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
berasaskan pada penghormatan terhadap HAM. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar