Minggu, 06 Juni 2021

 

”Quo Vadis” Izin Penyadapan KPK

Hendry Julian Noor ; Dosen Departemem Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM

KOMPAS, 05 Juni 2021

 

 

                                                           

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutus pengujian UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

 

Dalam Putusan No 70/PUU-XVII/2019, MK menolak tiga permohonan uji materi dan uji formil yang diajukan. Namun, putusan a quo juga menerima sebagian uji materiil yang diajukan. Di antaranya perihal kewenangan penyadapan oleh KPK yang berdasarkan putusan a quo tak perlu lagi seizin Dewan Pengawas (Dewas).

 

Pokok pertimbangan MK adalah bahwa Dewas bukan aparat penegak hukum dan karenanya tak memiliki kewenangan yang terkait dengan pro justitia. Izin tersebut menurut MK menempatkan seolah pimpinan KPK sebagai subordinat Dewas, padahal keduanya tidak bersifat hierarkis dan justru saling sinergi, di mana pimpinan KPK tidak boleh diintervensi dan tidak boleh ada lembaga yang bersifat ekstra yudisial, yang merupakan ancaman independensi penegak hukum.

 

Mekanisme izin kemudian diubah menjadi pemberitahuan semata terhadap Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan dilakukan (halaman 332-334).

 

Menarik dicermati, apakah pengaturan demikian telah ideal? Article 12 Deklarasi HAM Universal (Declaration of Human Rights/UDHR) 1948 dan Article 17 Kovenan Hak Politik Sipil Internasional (International Covenant on Civil Political Rights/ICCPR) 1966 telah mengamanatkan bahwa negara wajib melindungi warga negara dari segala gangguan dan pelanggaran atas hak privasi.

 

Dari sini dapat dipahami hak privasi dikualifikasikan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM). Penyadapan pada prinsipnya merupakan penyimpangan atau pengesampingan privasi sebagai bagian dari HAM. Hal tersebut dipertegas pula oleh MK dalam putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006 dan No 5/PUU-VIII/2010, bahwa penyadapan merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat melanggar hak privasi sebagai bagian HAM, namun dapat dibenarkan jika diamanatkan oleh UU dan dalam rangka penegakan hukum.

 

Penyadapan memiliki beberapa prinsip dalam pengaturannya (Manthovani, 2015: 59-64). Pertama, legality (diatur dalam UU). Hal ini sekaligus guna memenuhi ”syarat” yang diatur dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 (”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang”).

 

Prinsip ini termasuk menentukan izin penyadapan, yang idealnya dilakukan secara tertulis diajukan ke lembaga di luar institusi yang melakukan penyadapan. Kedua, legitimate aim (alasan obyektif). Ketiga, necessity and proportionality (untuk membuktikan sesuatu dengan tujuan hukum yang sah, serta mempertimbangkan kemungkinan terkecil menimbulkan benturan bagi HAM).

 

Keempat, safeguards terhadap illegitimate access dan due process (upaya perlindungan memadai untuk mencegah penyalahgunaan negara melanggar hak individu, proses hukum yang wajar, pencegahan kesalahan aparat penegak hukum).

 

Fajrul Falaakh dalam keterangannya sebagai ahli di putusan MK No 5/PUU-VIII/2010 juga memberikan syarat: kelima, subyek hukum yang diberi wewenang, idealnya adalah penyidik, bukan lembaganya. Keenam, pengawasan, dalam hal ini siapa yang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan, atau setidaknya yang diberikan kewenangan untuk melakukan audit.

 

Ketujuh, berdasarkan bukti permulaan, yang artinya penyadapan dilakukan pada tahap penyidikan, yang senada dengan ketentuan pada kejahatan terorisme dan narkotika yang juga diberlakukan sebagai kejahatan luar biasa dalam politik hukum Indonesia (Hiariej, Kompas, 17/9/2019).

 

Izin lembaga lain

 

Dalam konteks hukum administrasi, izin pada prinsipnya adalah membolehkan sesuatu (yang pada dasarnya dilarang atau bahkan membahayakan) dengan pertimbangan tertentu.

 

Sebagai sesuatu yang sebenarnya dilarang dalam konteks HAM, tetapi dibolehkan secara hukum, seharusnya pembolehan ini adalah melalui izin. Karenanya, izin merupakan salah satu instrumen pengaturan penting dalam penyadapan, terutama dilihat dari prinsip pengaturan penyadapan.

 

Dengan pemahaman demikian, ”peniadaan” izin untuk melakukan penyadapan tersebut dapat dikatakan belum sesuai dengan prinsip legality dan safeguards terhadap illegitimate access dan due process, meskipun harus diakui akan sangat mungkin dapat meningkat efektivitas dan efisiensi proses penyadapan oleh KPK.

 

Ke depan, menurut penulis, lebih baik jika kemudian perihal izin ini oleh pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif dilakukan pengaturan yang dapat mengisi ”kekosongan” prosedur izin dalam penyadapan.

 

Pengaturan dan praktik di beberapa negara berikut ini dapat menjadi contoh. Di AS, penyadapan dilakukan dengan harus mendapatkan perintah pengadilan. Di Inggris, harus dengan izin dari The Secretary of State atau The Home Secretary (organisasi yang bertanggung jawab untuk hukum dan ketertiban). Di Belanda, harus mendapatkan surat perintah yang dikeluarkan hakim.

 

Di Perancis, diatur ketat dan harus benar-benar seizin pengadilan, diawasi oleh sebuah komisi independen, yang anggotanya ditunjuk oleh presiden Perancis atas usulan wapres (Manthovani: 160-212).

 

Dari beberapa contoh ini, dapat dilihat bahwa penyadapan memang dilakukan dengan suatu izin dari suatu lembaga lainnya (sebagaimana prinsip legality), meski tak seragam dari keempat negara tersebut.

 

Namun, perlu pula diperhatikan pendapat Nijboer dengan mengutip Groenhuijsen (2015:14) yang menyatakan bahwa fakta yang telah diterapkan di negara lain belum pasti dengan sendirinya akan bermanfaat atau bersesuaian apabila hal tersebut diterapkan di negara sendiri. Dalam konteks Indonesia, sepertinya akan sulit untuk menerapkan izin penyadapan harus melalui pengadilan, dengan mengingat cukup kerap terjadinya judicial corruption di Indonesia.

 

Tegasnya, dibutuhkan kajian dan riset mendalam untuk kemudian dapat menghasilkan mekanisme izin penyadapan yang ideal bagi KPK dan memenuhi prinsip di atas.

 

Kembali dalam hukum administrasi, izin berfungsi sebagai salah satu bentuk pengawasan, untuk menjamin pelaksanaan pemerintahan sesuai norma hukum dan melindungi rakyat atas penguasa (Marbun, 2013:2). Pengawasan adalah sangat penting dan merupakan hal vital dalam organisasi negara, terlebih bagi negara kesejahteraan seperti Indonesia, di mana pemerintah, termasuk KPK sangat mungkin melakukan perbuatan yang merugikan warga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

 

Tindak pidana korupsi di Indonesia dianggap sebagai extraordinary crime sehingga pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula (penjelasan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Namun, cara tersebut harus dilakukan setidaknya dengan meminimalkan pelanggaran terhadap HAM. Perlu diingat, Pasal 5 huruf f UU KPK menyebutkan bahwa KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, berasaskan pada penghormatan terhadap HAM. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar