Berjalan
Bersama Pengungsi pada Masa Pandemi Adrianus Suyadi ; Sekretaris Karya Sosial-Kemanusiaan
Konferensi Jesuit Asia-Pasifik, Anggota Konsultan Jesuit Refugee Service
Asia-Pasifik |
KOMPAS, 21 Juni 2021
Hari Pengungsi Sedunia
diperingati setiap tanggal 20 Juni. Tahun ini UNHCR, Badan Tinggi PBB urusan
pengungsi, mengambil tema Together we heal, learn, and shine. Tema ini tidak
lepas dari konteks yang kini sedang dihadapi masyarakat global, yakni pandemi
Covid-19. Kita semua terdampak oleh
adanya pandemi ini. Tingkat dampak yang kita alami berbeda-beda, ada yang
berat, sedang dan ringan. Bahkan, ada juga yang menikmati dampak positifnya,
misalnya keuntungan besar dari bisnis daring dan alat-alat kesehatan. Para
pengungsi (refugees) dan pencari suaka juga terdampak, bahkan dampak
negatifnya sangat berat dibandingkan dengan warga masyarakat pada umumnya.
Mereka adalah yang paling rentan dari antara kelompok rentan yang lain. Untuk mencegah penularan
Covid-19, diterapkan protokol kesehatan 5-M, yaitu memakai masker, mencuci
tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan
membatasi mobilitas dan interaksi. Para pengungsi dan pencari suaka hampir tidak
mungkin memenuhi protokol kesehatan seperti ini karena keterbatasan akses
kebutuhan dasar kesehatan dan bahaya keselamatan jiwa mereka. Terkait dengan pembatasan
mobilitas dan kebutuhan pemenuhan hak-hak dasar, para pengungsi dan pencari
suaka mempunyai tiga tantangan besar. Pertama datang dari negara asal mereka.
Karena adanya pembatasan perjalanan antar negara, para pengungsi tidak bisa
mencari perlindungan keselamatan mereka ke negara lain. Sementara jika mereka
tetap tinggal di negaranya, keselamatan jiwa mereka terancam. Contohnya
adalah warga Myanmar yang mengalami kekerasan militer di negaranya. Dengan
adanya pembatasan perjalanan lintas negara, mereka sulit untuk secara legal
dan aman lari dari negaranya untuk mencari perlindungan. Kedua, pembatasan
perjalanan antarnegara menyebabkan pengungsi yang mencari suaka di
negara-negara transit, seperti di Indonesia, tertunda proses penentuan status
pengungsi dan penempatan mereka ke negara-negara ketiga (resettlement).
Karena pandemi, negara-negara penerima tersebut menerapkan pembatasan orang
asing masuk ke negara mereka. Ketiga, ada keterbatasan
akses untuk mendapatkan kebutuhan dasar termasuk pelayanan kesehatan untuk
mencegah mereka dari penularan Covid-19. Para pengungsi dan pencari suaka
yang menunggu proses penentuan status kepengungsian mereka dan yang sudah
mempunyai status pengungsi namun masih mengantre ditempatkan ke negara
penerima biasanya ditempatkan di rumah-rumah tahanan imigrasi. Situasi rumah tahanan
kadangkala penuh dan kumuh sehingga hampir tidak mungkin mereka bisa
menerapkan protokol kesehatan tersebut. Bagi mereka yang boleh tinggal di
luar tahanan pun karena keterbatasan akses untuk pemenuhan dasar mereka
kondisinya tidak layak. Untuk kasus pengungsi di
Indonesia, mereka yang diizinkan tinggal di luar rumah tahanan mengandalkan
bantuan dari UNHCR, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang jumlahnya
semakin terbatas dengan krisis ekonomi global ini. Mereka tidak mempunyai hak
untuk bekerja dan mendapatkan pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Mereka
juga tidak bisa mendapatkan akses bantuan pemerintah, termasuk bantuan
kebutuhan kesehatan dasar, misalnya masker atau cairan penyanitasi tangan,
untuk mencegah penularan Covid-19 karena mereka tidak mempunyai kartu
identitas pribadi atau surat keterangan tinggal sementara di Indonesia,
selain status sebagai pengungsi atau pencari suaka. Di Indonesia memang juga
masih banyak warga miskin yang tidak bisa memenuhi semua kebutuhan dasar
mereka. Namun, dibandingkan mereka ini, para pengungsi dan pencari suaka yang
sementara mengungsi di Indonesia lebih menderita lagi karena berbagai
keterbatasan akses kebutuhan dasar tersebut. Pandemi ini membuat para
pengungsi dan pencari suaka semakin menderita lagi. Bukan hanya secara fisik,
tetapi juga secara mental. Keterbatasan akses, mulai dari kebutuhan-kebutuhan
dasar hingga kebutuhan legal, membuat mereka tidak mungkin bisa mendapatkan
perlindungan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak dasar dan martabat
sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Solidaritas
dengan pengungsi Paus Fransiskus, pemimpin
Gereja Katolik sedunia, tak henti-hentinya menyerukan kepedulian kita bagi
para pengungsi dan orang yang berpindah paksa karena alasan keselamatan jiwa
dan alasan lainnya. Ia menawarkan empat bentuk perlindungan terhadap hak-hak
dasar mereka, yakni welcoming (hospitalitas), protecting (melindungi),
promoting (mempromosikan), dan integrating (melibatkan). Welcoming berarti
memberikan pilihan yang lebih luas bagi para pengungsi dan migran untuk masuk
ke negara tujuan secara aman dan legal. Protecting merupakan langkah-langkah
untuk melindungi hak-hak dan martabat pengungsi dan migran mulai dari negara
asal sampai ke negara tujuan, termasuk upaya menghindari bahaya terperangkap
dalam perdagangan manusia. Setelah sampai di negara
tujuan, perlu dipromosikan pentingnya pemberdayaan baik bagi pengungsi maupun
masyarakat penerima untuk menumbuh-kembangkan potensi-potensi mereka sebagai
manusia. Akhirnya baik para pengungsi maupun masyarakat penerima bisa
berintegrasi, dalam arti saling memperkaya satu sama lain. Integrasi bukan
berarti bahwa para pengungsi harus meninggalkan dan melupakan kekayaan
identitas budaya mereka di tempat yang baru, melainkan saling berbagi harta
karun kekayaan budaya masing-masing sebagai anugerah berharga yang diberikan
Tuhan kepada umat manusia. Komisioner Badan PBB
urusan pengungsi, Filippo Grandi, dalam kunjungannya kepada Paus Fransiskus
bulan April yang lalu memuji pendekatan holistik Paus dalam menghadapi
masalah-masalah pengungsi dan migran. Setelah pertemuan dengan Paus, Grandi
menulis status Twitter-nya demikian: ”Paus Fransiskus adalah pejuang tergigih
untuk masalah pengungsi dan migran. Di dunia yang berisiko menelantarkan
begitu banyak orang, saya pergi dan menemuinya hari ini untuk mencari
kekuatan dan visi, dan saya meninggalkannya dengan tekad dan inspirasi untuk
melanjutkan pekerjaan saya bagi mereka yang membutuhkan (pengungsi dan migran)”. Pandemi Covid-19 menyerang
semua orang tanpa pandang bulu, apa pun status dan latar belakang hidup
mereka. Pun bagi mereka yang mempunyai akses perlindungan terhindar dari
serangan wabah ini, tetap berisiko tertular kalau orang di sekitarnya tidak
bisa mencegah penularan karena keterbatasan akses kebutuhan dasar mereka. Sebagai makhluk sosial,
tidak akan selamanya manusia bisa mengisolasikan diri dari yang lain.
Kekebalan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 hanya bisa diwujudkan dengan
memberikan akses bagi semua, termasuk para pengungsi, migran, dan pencari
suaka. Pemberian akses bagi mereka ini bukan semata-mata didasari oleh alasan
etis dan kemanusiaan, tetapi juga sebuah keniscayaan ilmiah yang ”dipaksakan”
oleh pandemi Covid-19 ini. Selain pemberian akses
kebutuhan dasar bagi para pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di negara
transit seperti di Indonesia ini, pemerintah juga perlu mengantisipasi akan
adanya penundaan pemindahan pengungsi ke negara ketiga untuk resettlement
(pindah permanen). Artinya bahwa perlindungan sementara bagi para pengungsi
dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia kemungkinan akan semakin panjang,
seraya memperjuangkan agar negara-negara ketiga tujuan resettlement mau
membuka pintu untuk menerima para pengungsi ini. Bagi masyarakat penerima
pengungsi, kita hendaknya melihat mereka sebagai sesama manusia, sesama
saudara sehingga sekurang-kurangnya tidak menambah beban mereka dengan cap
negatif. Adalah melukai naluri kemanusiaan kita, memberikan lebel mereka
sebagai ”virus” seperti virus korona sebagaimana yang dikemukakan oleh segelintir
orang. Akhirnya, kita juga perlu
bersyukur bahwa masih tetap ada juga kelompok-kelompok masyarakat dan
individu di Indonesia yang mempunyai kepedulian kepada mereka. Dalam situasi
pandemi ini, ketika para pengungsi dan pencari suaka tidak bisa mendapatkan
akses bantuan kebutuhan kesehatan dasar seperti masker, sabun cuci tangan,
dan kebutuhan dasar lainnya dari pemerintah, tetap saja ada masyarakat yang
membantu mereka. Pandemi Covid-19
mengajarkan kita bahwa kita tidak dapat selamat sendirian. Hanya ada pilihan,
kita bersama-sama sehat atau bersama-sama sakit. Bersama kita menyembuhkan,
belajar dan membuka cahaya harapan untuk masa depan kemanusiaan yang lebih
baik dan lebih manusiawi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar