Utamakan
Kepentingan Umat dalam Penentuan Kalender Islam Muchamad Zaid Wahyudi ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 12 Mei 2021
Terbiasa hidup dalam
perdebatan penentuan awal bulan hijriah membuat masyarakat selalu gamang
setiap menjelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Ketidakjelasan otoritas
yang bertanggung jawab dalam menentukan hal itu membuat masyarakat bingung
harus merujuk pada ketetapan siapa dalam menentukan awal bulan hijriah. Sejak pertengahan Ramadhan
1442 Hijriah, masyarakat sudah bimbang soal kapan perayaan Idul Fitri 1442 H.
Meski kalender yang disusun sejumlah organisasi massa Islam dan pemerintah
sudah menyebut Idul Fitri jatuh Kamis (13/5/2021), banyak isu beredar menyebut
Idul Fitri maju satu hari menjadi Rabu (12/5). Sidang isbat Selasa (11/5)
petang pun akhirnya menetapkan Idul Fitiri tahun ini jatuh pada Kamis. Tidak jelas dari mana
sumber isu tersebut. Padahal, ijtimak atau konjungsi yang jadi awal bulan
Syawal baru terjadi Rabu (12/5) pukul 01.59 WIB. Artinya, Selasa petang saat
Matahari terbenam dipastikan tidak akan terlihat hilal karena konjungsi belum
terjadi. Kalaupun ada laporan melihat hilal pada Selasa petang, bisa
dipastikan itu sabit Bulan tua, bukan hilal. Sistem penetapan awal
bulan hijriah khusus untuk Ramadhan, Syawal dan Zulhijah yang ditetapkan
melalui sidang isbat menambah kegalauan masyarakat. Putusan sidang isbat itu
biasanya baru diperoleh sekitar pukul 19.00 WIB, menunggu laporan pengamatan
hilal ͥ dari seluruh Indonesia. Padahal saat itu diumumkan, di Indonesia
timur sudah pukul 21.00 WIT dan awal hari dalam kalender Islam dimulai
setelah Matahari terbenam. Meski digunakan dalam
penentuan waktu ibadah, pengetahuan masyarakat tentang kalender Islam relatif
terbatas. Pemahamannya pun beragam, bergantung sumber informasi yang mereka
peroleh. Kalender Islam juga jarang digunakan untuk keperluan sehari-hari
hingga perhatian serius masyarakat terhadap kalender juga sangat kurang. Kalender Islam adalah
kalender astronomis. Artinya, awal bulannya (month) ditentukan berdasar
terlihatnya hilal atau Bulan (moon) sabit tipis yang terbentuk selepas
konjungsi dan terlihat setelah Matahari terbenam. Karakter itu yang
membedakan kalender Islam dengan sistem kalender Bulan lain yang umumnya awal
bulannya ditentukan berdasar waktu konjungsi saja. Perdebatan yang muncul di
masyarakat terkait perbedaan penentuan awal bulan hijirah umumnya selalu
mengerucut pada dua metode, yaitu hisab (perhitungan) atau rukyat (pengamatan).
Padahal, persoalan mendasar dari perdebatan itu adalah belum ada kriteria
tunggal penentuan awal bulan hijriah. Masing-masing ormas dan
pemerintah memiliki kriteria awal bulan sendiri. Ada kriteria wujudul hilal
yang digunakan Muhammadiyah, kriteria Menteri Agama Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) yang diacu Nahdlatul Ulama dan
pemerintah, dan ada kriteria Rekomendasi Jakarta 2017 yang disusun sejumlah
astronom. Meski demikian, apa pun
perdebatannya, perbedaan kriteria dan metode penentuan awal bulannya, atau
mekanisme penetapannya, masyarakat hanya butuh kepastian kapan Ramadhan, Idul
Fitri dan Idul Ada dirayakan. Mereka juga ingin perayaan hari-hari besar
agama itu dilaksanakan bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia, apapun
afiliasi ormasnya. Adanya kepastian itu pula
akan membuat kalender hijriah bisa digunakan untuk keperluan administrasi
sipil dan perencanaan jangka panjang. Persepsi masyarakat atas ketidakpastian
dalam kalender Islam itulah yang membuat kalender ini ditinggalkan. Sains
dan agama Penentuan awal bulan
hijriah menjadi satu kasus rumitnya memadukan sains dan agama. Selama puluhan
tahun, awal bulan hijriah menjadi domain ormas Islam dengan beragam keahlian
di dalamnya, termasuk ahli falak maupun tafsir. Pada tahun 1980-an,
Kementerian Agama mulai melibatkan astronom dalam penentuan awal bulan
hijriah. Sejumlah metode hisab modern dikenalkan, begitu pula dengan
penggunaan teleskop untuk pengamatan hilal. Pengenalan metode baru itu memang
tidak mulus, banyak tentangan. Namun kini berbagai piranti modern itu bisa
diterima dan dimanfaatkan oleh ormas. Meski demikian, penyatuan
kriteria awal bulan hijriah bukan semata persoalan sains modern dan
teknologi. Aspek sosial politiknya cukup kuat. Beberapa tahun lalu saat
pemerintah berupaya menyatukan sistem penanggalan hijriah dengan mengenalkan
kriteria tunggal, beberapa ormas menunjukkan resistensinya dengan alasan
ormas lebih dulu lahir dibanding berdirinya negara. Jika penentuan awal bulan
hijriah sepenuhnya diserahkan ke pemerintah, maka sebagian kendali ormas atas
umatnya akan berkurang. Penyatuan kriteria awal
bulan hijriah itu juga masih dipandang sebagai persaingan antarormas dengan
pemerintah. Walau demikian, semua ormas Islam sejatinya ingin ada kesatuan
kalender Islam, namun masing-masing ormas ingin memaksakan penggunaan
kriteria yang mereka gunakan sebagai acuan. Selama kriteria tunggal awal
bulan hijriah itu belum dicapai, maka penyatuan kalender Islam tetap akan
jadi ilusi. Pemerintah sebagai
otoritas tertinggi di negara ini seharusnya mengambil inisiatif besar dan
terus menerus untuk merangkul semua ormas dalam penyatuan kalender Islam. Apa
pun metode yang digunakan, baik hisab atau rukyat, sebenarnya tidak akan
memberikan hasil yang berbeda sepanjang kriteria yang digunakan dalam
penentuan awal bulan hijriah sama. Selain itu, pemerintah
perlu merangkul astronom yang ada di berbagai perguruan tinggi dan lembaga
negara serta ahli ilmu falak yang ada di pesantren, ormas Islam, dan berbagai
perguruan tinggi Islam. Ahli tafsir atau hukum
agama juga perlu dilibatkan khususnya untuk mengadopsi metode atau teknologi
baru dalam penentuan awal bulan hijriah, seperti hukum hilal yang terlihat
pada siang hari atau penggunaan detektor CCD (charge-coupled device) yang
jamak dipakai dalam pengamatan astronomi namun masih diperdebatkan guna
pengamatan hilal. Pertukaran pengetahuan
secara setara di antara ahli lintas bidang dan keilmuan perlu dilakukan
hingga mereka bisa saling belajar dan memahami tanpa ada ada dikotomi
tradisional versus modern. Dengan diperolehnya pemahaman yang sama, maka bisa
segera disusun sistem kalender Islam yang bisa diterima semua kalangan, mampu
mengakomodasi perkembangan sains dan teknologi, namun tetap sesuai kaidah agama. Edukasi umat tentang
berbagai sistem penentuan kalender Islam juga perlu terus dilakukan. Dengan
pengetahuan yang benar, maka saling pemahaman bisa ditumbuhkan dan mau
terbuka dengan ide-ide baru, tanpa perlu saling menghujat atau merendahkan
pemahaman kelompok lain. Berbagai upaya penyatuan
kalender Islam itu bisa dilakukan jika pemerintah memiliki itikad kuat dan
mampu bersikap tegas dalam penentuan awal bulan hijriah. Pemerintah tidak
bisa terus bersikap mengambang dan enggan mengambil risiko seperti selama ini
karena hanya akan membuat perbedaan hari raya menjadi abadi. Jika kesatuan penentuan
awal bulan hijriah itu tidak segera terjadi, maka umat Islam Indonesia harus
bersiap menghadapi perbedaan hari raya. Potensi perbedaan itu akan terjadi
mulai tahun depan yaitu pada penentuan awal Ramadhan 1443/2022 dan berlanjut
pada penetapan Idul Fitri dan Idul Adha 1444/2023. Selain itu, jika persoalan kalender Islam
ini bisa segera diselesaikan, maka umat Islam bisa fokus untuk menyelesaikan
persoalan keumatan lain yang juga menantang, baik soal kemiskinan maupun
ketertinggalan. Indonesia akan menjadi negara yang maju jika umat Islamnya
juga maju. Namun, kemajuan itu hanya bisa diperoleh jika umat Islam Indonesia
mau dan mampu mengupayakan kemajuan tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar