Kemenangan
Hakiki Idul Fitri Abd A’la ; Guru Besar UIN Sunan
Ampel Surabaya; Abdi Pesantren Annuqayah Latee Sumenep |
KOMPAS, 12 Mei 2021
Umat Islam di Indonesia
dua kali merayakan Idul Fitri dalam suasana pandemi Covid-19. Hari raya di
tahun ini –sama seperti tahun lalu –umat Islam Indonesia niscaya tetap
merayakannya sesuai dengan protokol kesehatan. Misalnya, kita tetap dilarang
mudik. Bahkan sampai batas tertentu, larangan ini lebih ketat dibandingkan
tahun lalu. Kalau pun sebagian ada yang berhasil mudik, itu dilakukan secara
diam-diam atau dengan beragam alasan. Demi mencegah lonjakan
kasus Covid-19, seperti sekarang terjadi di India, pemerintah dengan dukungan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul
Ulama (NU) melarang keras masyarakat mudik. Sepi
yang bermakna Mungkin bisa dikatakan
umat Islam merayakan Idul Fitri relatif jauh dari suasana ingar-bingar. Hari
raya yang senyap dari kerumunan. Namun kesunyian dan hal-hal yang senada
dengan itu hanya sebatas permukaan, lahiriah dan fisik. Sedangkan di balik itu,
keheningan saat-saat hari raya merupakan suasana yang dapat dikonstruksi
sebagai kesesaatan yang memberi peluang lebih besar bagi umat Islam untuk
membuka pintu “langit”. Dalam suasana semacam itu,
manusia dapat lebih intens berdialog dengan sang Khalik. Hiruk-pikuk
keramaian, terkadang (atau bahkan sering) jadi sekat yang membuat manusia
lupa atau kurang sungguh-sungguh untuk “sowan” kepada sang Pencipta. Demikian pula, kesenyapan
akan mengantarkan manusia memiliki kesempatan lebih luas untuk melakukan
perenungan diri. Di ketenangan hari raya yang senyap ini umat Islam dihadiahi
antaran bonus waktu yang lebih kondusif untuk mempertanyakan eksistensi diri
dalam mengimplementasikan ibadah dan ajaran agama dan dampaknya dalam
kehidupan. Khususnya dampak puasa
yang baru dijalani. Sejauh mana puasa yang dilakukan mampu menumbuhkan dan
meneguhkan sikap pengendalian diri berkesinambungan, dan bukan sekadar
bersifat ad hoc karena bulan puasa. Penelanjangan diri sendiri diangkat ke
permukaan semaksimal mungkin yang akan berujung pada kesadaran tentang posisi
masing-masing di hadapan sang Pencipta, sesama dan alam semesta. Di saat jauh dari keluarga
dan kerabat di kampung, mereka memiliki peluang untuk mengembangkan spiritual
proximity; kedekatan dengan Ilahi, dan juga kedekatan emosi dengan sesama,
dan bukan hanya dengan kerabat. Karena di saat semacam itu, manusia dapat
merasakan keterbatasan diri dan kelemahan. Dalam keterbatasan,
masing-masing memiliki ruang lebih luas untuk berdialog dengan sang Khalik,
sebagaimana pula sangat mengharap kehadiran Ilahi untuk kehidupan yang akan
mereka jalani. Pada saat yang sama, dalam
kesenyapan tanpa kehadiran keluarga besar, ini juga akan menggerus sikap
pamer, membanggakan diri dan hal-hal sejenis yang bisa muncul saat bersama
manusia yang lain. Alih-alih, sikap yang berkembang adalah ketulusan dan
tanpa pamrih. Kemampuan membaca diri
sendiri sebagai makhluk Tuhan dan peneguhan kesadaran untuk meningkatkan
kualitas kedirian dari saat ke saat senyatanya merupakan kemenangan yang
hakiki. Suatu kemenangan melawan keliaran hawa nafsu dan impuls jahat
lainnya. Di sini makna sejati Idul Fitri menemukan titik labuh yang nyata. Modal
dasar, kesabaran Untuk meraih kemenangan
hakiki itu, manusia, khususnya umat Muslim dituntut untuk mengembangkan
kesabaran dalam menghadapi tantangan dan ujian kehidupan. Dalam konteks saat
ini, mereka hendaknya berlapang dada menerima cobaan akibat pandemi yang
sedang melanda Indonesia. Sabar di sini, kata al-Ghazali, selain lapang dada
menerima kenyataan yang tak sesuai harapan, juga berkomitmen tetap teguh
melaksanakan ibadah dan ajaran Tuhan. Demikian pula mereka
dituntut untuk menahan diri dari sikap dan tindakan yang dilarang agama atau
bertentangan dengan etik-moralitas luhur. Pada saat yang sama, kelapangdadaan
ini menuntut mereka dan kita tetap bersemangat menjalani kehidupan dengan
penuh kreativitas dan kearifan. Melalui kesabaran semacam
ini, seseorang akan terus berdialog dengan Tuhan tanpa harus menyalahkan
siapa dan apa pun, apalagi mencari-cari kesalahan siapa pun di tempat mana
pun, dan kapan pun. Demikian pula, kesabaran hakiki mengantarkan umat Islam
meneguhkan kepedulian dan akan berupaya berbagi dengan sesama sesuai dengan
kemampuan dan kondisi yang ada. Di saat yang sama,
kemampuan bersikap lapang mengantarkan seseorang untuk selalu merasakan
karunia Allah kapan dan di mana pun. Ia akan selalu bersyukur atas segala
yang diterimanya. Syukur tentu bukan sekadar diucapkan dengan kata-kata, tapi
diungkapkan melalui praksis nyata. Sebagai bukti benar-benar bersyukur, ia
mengaktualisasikannya ke dalam kehidupan yang menyejarah. Ia akan
mengembangkan ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Bagi kaum beriman, saatnya (terutama di
hari raya yang bersamaan dengan pandemi Covid-19 saat ini) untuk melabuhkan
kesabaran dan kesyukuran. Sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW, inti
keimanan adalah sabar dan syukur. Amalgamasi dua hal ini akan menjadikan kita
memiliki kematangan jiwa, keteguhan hati, dan sikap-sikap lain yang selalu
diaktualisasikan dalam keluhuran perilaku, baik yang individual maupun
sosial. Di sini keimanan menemukan titik labuh yang senyatanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar