Rabu, 12 Mei 2021

 

Cukup, Stigmatisasi Pekerja Migran

Wahyu Susilo ;  Direktur Eksekutif Migrant CARE

KOMPAS, 12 Mei 2021

 

 

                                                           

Dalam pekan ini bertaburan pernyataan pejabat pemerintah seputar kedatangan pekerja migran dan penyebaran Covid-19 di masa mudik Lebaran. Media massa pun mengutip pernyataan tersebut secara bombastis. Laman Sindonews.com dan Kompas.com menuliskan pernyataan Menko Perekonomian bahwa kedatangan pekerja migran menyebabkan Covid-19 naik tajam di 5 propinsi, sementara laman Tempo.co menuliskan bahwa varian terbaru Covid-19 kebanyakan datang dari pekerja migran.

 

Tak terhindarkan lagi bahwa pernyataan-pernyataan tersebut telah menimbulkan syak wasangka yang berlebih (stigma) terhadap para pekerja migran dan makin mengkonfirmasi bahwa pekerja migran menjadi kelompok masyarakat yang mengalami beban berlipat di masa pandemik Covid-19 ini.

 

Sebagai pekerja garda depan di sektor perawatan, pengasuhan dan pelayanan, mereka menghadapi kerentanan terpapar virus ganas ini. Sebagai pendatang, pekerja migran kerap didiskriminasi dan dikesampingkan dalam upaya pemulihan kesehatan publik di negara tujuan. Sebaliknya, sebagai pemudik atau perantau yang pulang ke kampung halaman pekerja migran dikambinghitamkan sebagai pembawa virus.

 

Sebagai warga negara, pekerja migran Indonesia yang pulang ke kampung halaman sebagian besar masih belum bisa mengakses skema jaring pengaman sosial dampak Covid-19 melalui program perlindungan sosial hanya karena tidak terdaftar dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) dan tidak diprioritaskan dalam program vaksinasi Covid-19.

 

Hendaknya para pejabat pemerintah Indonesia tidak membuat pernyataan-pernyataan stigmatisasi terhadap pekerja migran Indonesia dan merujuk kembali pada protokol penanganan Covid-19 yang dikeluarkan oleh WHO bahwa tidak boleh ada stigma kepada siapapun dalam penanganan pandemik Covid-19.

 

Jika stigmatisasi itu terus dinyatakan bahkan menjadi glorifikasi dalam pemberitaan media massa bukan tidak mungkin akan memunculkan kebijakan diskriminatif untuk mengucilkan mobilitas pekerja migran.

 

Berdasarkan pemantauan Migrant CARE di beberapa negara tujuan pekerja migran di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur, sudah muncul kecenderungan kebijakan yang diskriminatif menyangkut penanganan pandemik Covid-19.

 

Di Malaysia, ada pembedaan tarif layanan pemeriksaan kesehatan antara warga lokal dan pekerja migran. Di Singapura sudah muncul desakan untuk menyendirikan pemukiman pekerja migran terpisah dari penduduk. Sementara itu di Hongkong, atas nama pemulihan kesehatan, seluruh pekerja migran dipaksa untuk melakukan test PCR dan vaksinasi sementara bagi penduduk lokal tidak ada kebijakan pemaksaan.

 

Alih-alih mengkambinghitamkan pekerja migran, seharusnya pemerintah Indonesia menengok kembali pada inkonsistensi kebijakan penanganan Covid-19. Masih lekat dalam ingatan, euforia “new normal” selepas Lebaran tahun lalu yang kebablasan menyebabkan kendurnya kedisplinan pada protokol kesehatan atas nama pemulihan ekonomi.

 

Dalam euforia “new normal”, tanpa pertimbangan matang pemerintah Indonesia membuka kembali penempatan pekerja migran Indonesia “di masa adaptasi dan kenormalan baru”. Inilah yang membuat pekerja migran Indonesia menjadi kelinci percobaan.

 

Kita telah melalui dua periode mudik Lebaran di masa pandemik dan mengalami masa kerumitan dan dilema dalam penanganan para pekerja migran Indonesia yang harus mudik pulang ke tanah air. Mayoritas para pekerja migran Indonesia yang pulang ke tanah air adalah mereka yang sudah selesai masa kontrak dan mereka yang kehilangan pekerjaan karena pandemik Covid-19.

 

Mereka harus pulang karena visa kerja sudah habis dan dokumen keimigrasian juga mendekati masa akhir berlakunya. Sementara untuk pekerja migran Indonesia yang masih memiliki masa kontrak yang panjang, sebagian besar tidak mengambil cuti mudik Lebaran karena kemungkinan besar mereka akan mengalami kesulitan untuk masuk kembali ke negara tujuan bekerjanya.

 

Langkah pemerintah Indonesia yang telah memberi bantuan logistik pada ratusan ribu pekerja migran Indonesia yang terdampak pandemik Covid-19 (terutama di Malaysia) patut mendapat apresiasi.

 

Penerapan pembatasan mobilitas melalui kebijakan Movement Control Order di Malaysia sangat membatasi ruang gerak pekerja migran yang tidak berdokumen yang mayoritas berstatus sebagai pekerja harian lepas. Kelompok ini rentan dikriminalisasi oleh kebijakan penanganan Covid-19 pemerintah Malaysia yang mengedepankan pendekatan sekuritisasi.

 

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia seharusnya juga memaksimalkan diplomasi perlindungan warga negara dengan mendesak negara-negara tujuan bekerja untuk mengakhiri pendekatan sekuritisasi dalam penanganan Covid-19, merelaksasi kebijakan keimigrasian yang ketat dan memperjuangkan akses yang setara untuk vaksinasi bagi pekerja migran. Langkah ini bisa mengintegrasikan komunitas pekerja migran menjadi bagian pembentuk kekebalan komunitas global (global herd community). ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar