Postur
dan Konsep Pencegahan Terorisme di Indonesia Robi Sugara ; Pemerhati Terorisme
dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta |
KOMPAS, 18 Mei 2021
Isi dua surat wasiat yang
ditinggalkan pelaku aksi teror di Makassar dan Mabes Polri Jakarta
menunjukkan program kontra radikalisasi belum berjalan secara maksimal. Salah
satu narasi dari surat itu adalah meyakini perbuatan mereka adalah sebagai
jihad. Postur dan konsep keterbukaan dan pelibatan sejumlah kelompok
masyarakat perlu segera dilakukan dalam pencegahan terorisme ke depan. Pencegahan terorisme
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dibagi dalam tiga model. Pertama, kesiapsiagaan nasional,
kedua kontra-radikalisasi, dan ketiga deradikalisasi. Kesiapsiagaan nasional
adalah suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana
terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan
berkesinambungan. Tugas ini dilakukan oleh kementerian/lembaga yang terkait
di bawah koordinasi badan yang menyelenggarakan urusan di bidang
penanggulangan terorisme. Kesiapsiagaan nasional juga dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, pelindungan dan
peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian terorisme, serta pemetaan
wilayah rawan paham radikal terorisme. Kemudian
kontraradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu,
sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau
kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme yang dimaksudkan
untuk menghentikan penyebaran paham radikal terorisme. Tugas ini diemban oleh
pemerintah yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait. Kontra-radikalisasi
dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontranarasi,
kontrapropaganda, atau kontra-ideologi. Kemudian deradikalisasi
merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, berkesinambungan yang
dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman
radikal terorisme yang telah terjadi. Program ini dilakukan kepada tersangka,
terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme, atau orang atau
kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme. Program ini
dilaksanakan oleh pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT dengan melibatkan
kementerian/lembaga terkait. Deradikalisasi terhadap
orang melalui tahapan identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi,
dan reintegrasi sosial. Kemudian deradikalisasi terhadap orang atau kelompok
orang dilaksanakan melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan
keagamaan, dan/atau kewirausahaan. Lebih detail dari pencegahan
terorisme ini telah diatur dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun
2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme melalui Kesiapsiagaan
Nasional, Kontra-Radikalisasi dan Deradikalisasi. Bahkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Rencana Aksi Nasional
Pencegahan Esktremisme Berbasis Kekerasan (RAN PE) bisa mengatur lebih
sinergis antara pemerintah pusat dan daerah. Postur
pencegahan terorisme Postur pencegahan dalam
tiga model tersebut belum terlihat secara maksimal. Atau jika merujuk
undang-undang harusnya bisa sampai pada proses yang terencana, terpadu,
sistematis, dan berkesinambungan. Pemerintah dalam hal ini BNPT sepertinya
belum menyediakan postur dari kesiapsiagaan nasional meski sekadar menyiapkan
data pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme berbasiskan teknologi.
Ini bisa meniru penanganan Covid-19 di mana masyarakat bisa secara terbuka
melihat beberapa wilayah yang masuk wilayah dengan penyebaran virus paling
tinggi yang kemudian ditandai dengan zona merah. Dengan begitu masyarakat
bisa terlibat meski tidak harus menunggu kehadiran negara dalam pencegahan
terorisme. Masyarakat sering diminta terlibat dalam penanganan terorisme
dalam bidang pencegahan, akan tetapi pemerintah tidak pernah memberikan data
awal dari pemetaan daerah-daerah rawan penyebaran paham radikal terorisme. Pemerintah juga belum
terlihat menggandeng kementerian atau lembaga terkait sebagaimana diamanatkan
oleh undang-undang. Tiga kementerian atau lembaga yang paling mungkin melakukan
kesiapsiagaan nasional adalah kementerian dalam negeri, kepolisian dan
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebab, penyebaran mereka sampai ke tingkat
desa atau kelurahan. Kemudian kontra
radikalisasi juga demikian. Narasi para pelaku teror masih sama dari mulai
orang atau kelompok yang berafiliasi dengan Jemaah Islamiyah (JI) sampai
Jamaah Ansharu Daulah (JAD). Bahkan, narasinya lebih berkembang. Itu artinya
bahwa narasi itu belum benar-benar mati. Dua surat wasiat peninggalan pelaku
teror di Makassar dan Mabes Polri adalah bukti dari narasi itu masih eksis. Pelaku teror di Makassar
pada 29 Maret 2021 dilakukan oleh pasangan suami-istri. Dalam surat wasiat
yang ditinggalkannya, pelaku meyakini bahwa aksi bom bunuh diri yang mereka
lakukan bisa mengantarkannya ke surga. Pelaku teror di Mabes Polri, Zakiya
Aini, juga mengatakan hal yang serupa. Dua kasus bom ini
memperlihatkan belum maksimalnya program kontra-radikalisasi yang dilakukan
BNPT. Pada pelaksanaannya bisa meniru penanganan Covid-19, bisa mengeluarkan
kata-kata sederhana dam melekat, seperti jaga jarak, pakai masker, cuci
tangan, hindari kerumunan, dan lain sebagainya. Kementerian yang bisa
diorong untuk bertanggung jawab sangat mungkin dari Kementerian Agama.
Kementerian ini juga memiliki unit kerjanya sampai ke tingkat kecamatan.
Dalam beberapa hal juga bisa dilibatkan pada kesiapsiagaan nasional dan
deradikalisasi. Bahwa kemudian melibatkan organisasi keagamaan dalam
pelaksanaannya adalah sesuatu yang juga diamanatkan undang-undang. Sementara deradikalisasi
secara singkat keberhasilannya bisa diukur dengan tidak kembalinya para
mantan teroris melakukan aksi terornya. Dari jaringan yang terkait dengan
teror di Makassar, ada pelaku di antaranya adalah mantan teroris. Institute
for Policy Analysis of Conflict (IPAC) melaporkan sejak tahun 2002-Mei 2020
ada 94 orang residivis kasus terorisme dari 825 orang. Itu artinya ada
sekitar 10-11 persen mantan teroris yang Kembali beraksi. Program deradikalisasi
memang memiliki tantangan tersendiri. Sebab, mereka berhadapan dengan para
pelaku teroris langsung. Tapi, kesempatan program ini ketika mereka berada di
dalam penjara. Pelaksana yang paling kompeten, tentunya adalah pihak Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) yang bisa juga dibantu oleh penyuluh agama, pekerja
sosial, dan penyuluh kesehatan. Ini tentu di bawah koordinasi langsung BNPT
sebagaimana diamanatkan undang-undang. Setelah lepas dari Lapas, amanat
pekerjaan bisa digarap oleh Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja. Konsep
pencegahan terorisme Dari tiga model
pencegahan, pada tataran konsepsi harus dilakukan dengan prinsip-prinsip
keterbukaan dan dorongan kerja sama yang kuat dari sejumlah kelompok
masyarakat sipil. Dimulai, pertama, dari membuka akses pemetaan daerah-daerah
yang rawan pada penyebaran paham-paham radikal terorisme. Ini sembari
dianalisis polanya karena tidak setiap wilayah yang rawan radikal
terorismenya kemudian ada aksi teroris di sana. Aksi terorisnya bisa di
wilayah lain. Akan tetapi, fakta yang tidak bisa disembunyikan adalah
masyarakat sekitar bisa direkrut secara langsung karena rawannya wilayah
tersebut. Data ini tentunya bisa digunakan oleh masyarakat atau aparat negara
yang paling bawah, yakni pejabat RT (rukun tetangga). Ini hanya bisa
dilakukan oleh kementerian dalam negeri. Kedua, posisi dalam
undang-undang, masyarakat mendapatkan pemberdayaan oleh pemerintah. Dari
sini, masyarakat akhirnya menunggu saja. Padahal, upaya pencegahan sangat
membutuhkan peran serta sejumlah organisasi keagamaan moderat dua di antaranya
adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah. Bahasa publik terkait
pelibatan mereka tentu tidak memungkinkan bahwa pemerintah melakukan
pemberdayaan atau penguatan kapasitas terhadap dua organisasi tersebut. Jalan
yang paling mungkin adalah menjembatani sejumlah organisasi keagamaan kepada
lembaga-lembaga amal untuk membantu program pencegahan terorisme sehingga
tercipta dorongan yang kuat dari sejumlah kelompok masyarakat sipil. Selain itu, masyarakat
sipil bisa dilibatkan dalam proyek penelitian dengan memperlihatkan bahwa
ancaman teroris itu nyata. Dia mencuri anak, saudara dan teman-teman kita
untuk kemudian dijadikan tumbal aksi teror yang bejat tersebut. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar