Ketidakadilan
Jender dan Kejahatan Terorisme Amira Paripurna ; Peneliti Pusat Studi
Hukum HAM (HRLS) FH Unair |
KOMPAS, 18 Mei 2021
Berdasar survei global
2016 tentang implementasi Resolusi PBB 1373 (2001), partisipasi perempuan
dalam aksi kekerasan politik dan terorisme bukanlah fenomena baru. Dalam
kenyataannya, perempuan memang selalu menjadi bagian dari gerakan terorisme.
Perempuan telah mengambil berbagai peran dalam serangan-serangan teror yang
terjadi di Pakistan, India, Sri Lanka, Chechnya, Afghanistan, Palestina,
Suriah, Irak, Yaman, dan Kenya (Gentry & Sjoberg, 2016: 49). Asumsi dominan dan
stereotip selama ini adalah pelaku teror pastilah laki-laki. Studi tentang
terorisme umumnya berfokus pada laki-laki. Perempuan dinilai secara inheren
kurang agresif dan tidak begitu kejam dibandingkan rekan laki-laki mereka,
mempengaruhi secara umum studi-studi tentang terorisme. Sehingga studi yang
berkembang tidak terlalu fokus mengkaji keterkaitan antara perempuan dan
terorisme. Peningkatan keterlibatan perempuan dalam terorisme belakangan
menggerakkan penelitian lintas disiplin, termasuk membahas terorisme melalui
kacamata jender (Banks, 2019: 181). Pembahasan terorisme dari
sudut pandang jender, telah memunculkan pertanyaan tentang bagaimana
perlakuan hukum pidana terhadap perempuan yang ada dalam lingkaran kejahatan
terorisme. Selama ini analisis dan pembahasan dimensi jender dalam kejahatan
telah terkonsentrasi pada kejahatan dimana terdakwa atau pun korbannya adalah
perempuan, misalnya pelacuran, kejahatan-kejahatan seksual (sexual offences)
yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Kejahatan-kejahatan
tersebut secara langsung telah menunjukkan adanya pemaksaan atas kekuasaan patriarki.
Perspektif laki-laki dalam mendefinisikan pemerkosaan, atau pun kekerasan
dalam rumah tangga dipandang sangat kuat sehingga menimbulkan ketidaksetaraan
jender dalam hukum pidana. Begitu pula sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap
perempuan-perempuan pelaku kejahatan. Area-area tersebut mencakup persoalan
perempuan sebagai saksi, terdakwa, dan narapidana. Kemudian meluas pada
situasi perempuan sebagai korban dan pelaku berbagai kejahatan. Feminisme berhubungan
dengan ketidaksetaraan seksual dan jender perempuan (Heywood, 2007: 64).
Feminis bertujuan untuk memberikan hak politik, ekonomi dan sosial yang
setara kepada perempuan. Feminisme mengklaim bahwa pengalaman perempuan
secara sistematis berbeda dari laki-laki dan bahwa semua hubungan sosial adalah
mengandung dimensi jender. Feminis mencoba mengubah segala bentuk
ketidaksetaraan, eksploitasi, atau penindasan wanita. Sementara itu ketentuan
hukum pidana yang terkait dengan kejahatan terorisme biasanya dirumuskan
secara gender-neutral. Sejumlah jenis perbuatan yang dikriminalisasi dalam
undang-undang anti terorisme tidak membedakan jenis kelamin dari tersangka.
Pun tidak membedakan dampak kriminalisasi perbuatan terhadap perempuan atau
pun laki-laki. Dalam konteks perempuan dan terorisme ini, apa keterkaitan
ketidakadilan jender dalam kejahatan terorisme? Apakah hukum dan pemidanaan
sebagaimana dalam Undang-Undang Anti-Terorisme (UUAT) pula lahirkan
ketidaksetaraan jender? Penentu
pelaku-korban Dalam kejahatan terorisme,
apakah perempuan melakukan secara sukarela ataukah dalam kondisi terpaksa?
Apakah pilihan itu terbatas, dikendalikan, atau dimanipulasi? Apakah
perempuan yang memilih jalan menjadi jihadis adalah mereka yang berada pada
semangat ‘pembebasan’ dari sistem patriarkal ataukah ‘ditundukkan’ oleh
sistem yang patriarkal? Apakah mereka direkrut karena dipandang setara dengan
laki-laki, direkrut untuk alasan pragmatis, atau kombinasi keduanya? Perempuan bisa menjadi
kolaborator, informan, perekrut, penggerak dukungan untuk kelompok teroris,
umpan seksual untuk memenuhi peran jender tradisional (menjadi istri pejuang
teroris asing) baik secara langsung atau melalui internet, sebagai pelaku
tindakan perusakan dan kekerasan secara langsung, memenuhi fungsi tempur,
serta pelaku bom bunuh diri (Berko, Erez, 2007). Tak heran, meningkatnya
partisipasi dan visibilitas perempuan dalam jaringan terorisme telah
menimbulkan perdebatan di kalangan feminisme mengenai alasan keterlibatan dan
peran perempuan (Yesevi, 2014). Sebagian berpandangan bahwa keterlibatan
perempuan dalam terorisme karena pengaruh peran jender tradisional. Masyarakat patriarkal
kerap menindas perempuan, karena keterlibatan perempuan dalam kejahatan
karena ketergantungan finansial, ketakutan, atau kepatuhan terhadap
pasangannya (ikatan perkawinan). Di sisi lain, perempuan juga diculik dan
dipaksa untuk berpartisipasi dalam aksi terorisme. Akibatnya, perempuan
sebagai korban telah mengalami viktimisasi secara budaya dan struktural. Ada pula fakta, perempuan
bergabung dengan kelompok teroris atas kemauan mereka sendiri. Mereka
membebaskan diri dari penindasan dan ketidakadilan di masyarakat dengan
berpartisipasi dalam kelompok teroris. Perempuan, seperti laki-laki, rela
berpartisipasi sebagai kelompok teroris seperti ISIS, dan memiliki motivasi
serupa dengan laki-laki untuk bergabung dengan kelompok teroris. Penentuan pelaku-korban
dengan asumsi, baik atas motivasi, keterlibatan dan tindakan perempuan dalam
serangan teror menyangkal eksistensi perempuan sebagai agen individu. Dimensi
ketidakadilan jender Pemaknaan kriminalisasi
dalam UUAT meluas. Hal ini termasuk keanggotaan dalam kelompok, partisipasi
dalam tindakan persiapan, dan bentuk dukungan lain pada kelompok teroris,
jauh dari unsur melakukan tindakan kekerasan terorisme. Pelakunya dapat
dihukum setara dengan tindakan kekerasan terorisme itu sendiri, seperti
pengemboman. Konsensus global mencegah
terorisme menegaskan upaya preventif. Kriminalisasi atas peran persiapan
(preparatory acts) dan peran dukungan (support roles) dipersyaratkan ketat
dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1373 (2001), 2178 (2014) dan 2396 (2017),
termasuk dalam Konvensi Internasional untuk Pemberantasan Pendanaan
Terorisme. Dalam UUAT, terdapat
aturan ambigu terkait bentuk atau sarana dukungan atau bantuan kepada pelaku
terorisme. Misalnya, ketika istri tidak melaporkan keberadaan suami dianggap
sebagai bentuk peran dukungan terhadap aksi terorisme. Padahal, faktanya bisa
jadi ia tidak memiliki informasi cukup untuk menilai tindakan suami. Kriminalisasi atas
perbuatan tanpa partisipasi langsung dalam aksi kekerasan, dapat menimbulkan
dampak yang berbeda antara perempuan dan laki-laki (UNODC 2019). Dampak
terkait dengan pejuang teroris asing (foreign terrorist fighters), pendanaan
terorisme serta dalam kerangka penentuan mens
rea. Itu sebab, perlu meninjau
kembali batasan tentang ‘paksaan’ dan ‘sukarela’ untuk mendekonstruksi sebuah
teori kesalahan dalam hukum pidana (principle or theory of guilt), yang dapat
menjelaskan pertanggungjawaban pidana perempuan yang terikat dengan laki-laki
yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan terorisme. Selain itu juga menguji
kembali penerapan teori penyertaan (complicity) dengan pertimbangan dimensi
jender sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi perempuan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar