Divergensi
Pemulihan Ekonomi ; Rektor Unika Atma
Jaya |
KOMPAS, 18 Mei 2021
Lebaran, selain momen
kultural-keagamaan, juga fenomena ekonomi. Selama ini, Lebaran selalu menjadi
kesempatan mendistribusikan kemakmuran dari perkotaan ke perdesaan dalam
skala cukup besar. Sayangnya, sejak dua tahun terakhir fenomena tersebut
meredup seiring dengan pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Masalahnya,
tidak tersedia pilihan kebijakan selain melakukan pembatasan karena jika
tidak dilakukan, dampaknya akan jauh lebih besar. Pandemi Covid-19 telah
menjungkirbalikkan tatanan lama sekaligus membuka peluang baru yang selama
ini tak terpikirkan. Begitulah realitas ekonomi pascapandemi yang membutuhkan
terobosan baru. Apalagi, meskipun pemulihan ekonomi mulai terjadi, divergensi
sektoral juga meninggi. Akibatnya, ketimpangan ekonomi akan menjadi persoalan
serius pascapandemi. Badan Pusat Statistik pada
bulan lalu merilis data pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021, dengan
pertumbuhan tahunan masih terkontraksi sebesar 0,74 persen. Pertumbuhan
tahunan memang masih berada di zona negatif, tetapi pola pemulihan sudah
terlihat dari pertumbuhan triwulanan. Puncak kontraksi ekonomi
akibat pandemi terjadi pada triwulan II-2020 dengan pertumbuhan minus 5,32
persen. Pada triwulan III, kontraksi mulai mengecil menjadi minus 3,49 persen
dan triwulan IV kontraksi sebesar 2,19 persen. Pada triwulan I tahun ini,
kontraksi sudah mengecil dan harapannya triwulan II tahun ini pertumbuhan
akan berada pada kisaran 5-7 persen. Dengan catatan, pandemi bisa dimitigasi. Meski pemulihan mulai
terjadi, risiko ketimpangan ekonomi meningkat dan cenderung membahayakan.
Begitu peringatan Dana Moneter Internasional dalam laporan tiga bulanan World
Economic Outlook yang dirilis pada April lalu. Laporan berjudul ”Managing
Divergent Recoveries” itu memberi pesan lugas, pemulihan ekonomi global
diwarnai gejala ketimpangan yang membahayakan, baik dalam negeri maupun antarnegara. Tidak semua sektor ekonomi
mengalami prospek pemulihan serupa. Beberapa sektor diperkirakan akan terus
mengalami keterpurukan, sementara sektor lainnya meningkat terus dalam jangka
panjang. Pola pemulihan ekonomi menyerupai formasi huruf ”K” (K-Shape
recovery); ada sektor yang melejit dan ada (banyak) yang terpuruk. Ketimpangan Belajar dari pengalaman
India, Pemerintah Indonesia akhirnya memberlakukan larangan mudik selama
Lebaran tahun ini. Banyak pihak kecewa dengan keputusan ini, sayangnya tidak
tersedia pilihan lain. Dampaknya memang berat, khususnya bagi pelaku usaha
transportasi, perhotelan, makanan dan minuman, serta sektor ikutan lainnya. Larangan mudik juga telah
membuat fenomena mengalirnya likuiditas selama Lebaran ke daerah tak terjadi
secara optimal. Pada 2019, Bank Indonesia menyiapkan dana tunai menyambut
Lebaran sebesar Rp 217 triliun. Permintaan terbesar uang tunai tersebut
berasal dari daerah perkotaan di Pulau Jawa. Sebagian uang tunai ini mengalir
ke daerah seturut dengan mobilitas pemudik yang berjumlah sekitar 15 juta
orang. Pembatasan sosial memang
membuat pemulihan berbagai sektor ekonomi terhambat. Namun, esensi
persoalannya bukan pada kebijakan mudik itu sendiri, melainkan pandemi yang
menyandera berbagai sektor ekonomi. Pada triwulan I tahun ini,
sektor transportasi dan pergudangan mengalami kontraksi terbesar atau 13,12
persen. Sementara sektor akomodasi serta makanan dan minuman terkontraksi
7,26 persen atau sektor terpuruk kedua. Sepanjang triwulan I ini ada 11 sektor
yang masih tumbuh negatif dan hanya 6 sektor yang positif. Sektor informasi dan
komunikasi mengalami pertumbuhan tertinggi, sebesar 8,7 persen, diikuti
sektor kesehatan dengan pertumbuhan 3,6 persen, pertanian 2,5 persen, dan
sektor real estat 0,94 persen. Gejala divergensi ekonomi segera terlihat dari
pola pemulihan sektoral ini. Divergensi pemulihan ekonomi pada gilirannya
akan memicu ketimpangan sosial yang sudah terjadi selama ini. Pola pemulihan yang
timpang ini sungguh merisaukan. Jauh sebelum pandemi, data IMF menunjukkan,
Indonesia bersama China menjadi juara dalam hal memburuknya rasio gini atau
indeks yang mengukur ketimpangan dalam 30 tahun terakhir. Sementara pandemi
telah menambah jumlah penganggur serta kemiskinan yang akan memperburuk ketimpangan. Badan Kebijakan Fiskal
menyusun skenario, jika pandemi terjadi secara berat, jumlah penganggur akan
meningkat dari 5,18 persen menjadi 7,33 persen pada 2020. Dalam situasi
pandemi terjadi berat sekali, jumlah penganggur meningkat menjadi 9,02 persen.
Demikian pula dengan angka kemiskinan yang diperkirakan menjadi 9,88 persen
jika pandemi terjadi secara berat dan menjadi 10,98 persen dalam situasi
pandemi berat sekali. Pukulan akibat pandemi
begitu terasa, baik dalam hal pengangguran maupun kemiskinan. Sementara
divergensi pemulihan ekonomi akan menciptakan perbedaan peluang kesempatan
kerja. Sektor yang menyerap tenaga kerja banyak, seperti industri pengolahan,
perdagangan, konstruksi, dan pertambangan, masih akan terpuruk pada masa
depan. Sektor yang padat modal, seperti informasi dan telekomunikasi, akan
terus melejit pertumbuhannya. Menghadapi fakta ini,
paling tidak ada dua hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama,
mengalokasikan dana pemulihan ekonomi secara proporsional bagi sektor padat
karya dengan pertumbuhan negatif. Tujuannya, menghindari pemutusan hubungan
kerja secara masif. Kedua, merancang
transformasi ekonomi agar sektor yang masih mengandalkan kerumunan tenaga
kerja, baik dalam proses produksi maupun distribusinya, mengalami perubahan.
Adopsi teknologi jadi salah satu pilihan meski perlu investasi, termasuk
dalam hal keterampilan dengan modal tinggi. Di situlah relevansi peran
pemerintah. Divergensi pemulihan
ekonomi memerlukan peran pemerintah lebih besar sebagai penyangga siklus
ekonomi, baik melalui regulasi maupun kebijakan fiskal. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar